Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Kilas

Biennale Jogja XVI: Melihat Lebih Dekat Diaspora di Kawasan Oseania

Biennale Jogja kali ini mempertemukan praktik seni rupa Indonesia dengan Oseania

Purnawan Setyo Adi oleh Purnawan Setyo Adi
12 Oktober 2021
A A
biennale jogja
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Biennale Jogja XVI Equator #6 berlangsung dari 6 Oktober hingga 14 November 2021. Pameran seni rupa dua tahunan ini mengambil tema Root <> Routes.

Biennale Jogja kali ini mempertemukan praktik seni rupa Indonesia dengan Oseania. Kegiatan ini melibatkan 34 seniman dan komunitas dari berbagai daerah dan negara, seperti Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Tangerang, Ambon, Jayapura, Maluku Utara, Kaledonia Baru, Auckland, New Zealand, Australia, Timor Leste, Belanda, Jepang, Hongkong, Taiwan, dan Korea.

“Mempertimbangkan banyaknya seniman dan kegiatan yang dihelat, kami membagi kegiatan pameran di 4 lokasi, yaitu Jogja National Museum sebagai venue pameran utama, yang mengangkat tema Roots<>Routes, kemudian Pameran Arsip Biennale Jogja di Taman Budaya Yogyakarta, yang merangkum gagasan dan dinamika sepanjang 10 tahun penyelenggaraan Biennale Jogja seri Khatulistiwa serta dengan apik menghadirkan Museum Khatulistiwa. Pameran lainnya adalah Bilik Negara Korea dan Taiwan di Museum dan Tanah Liat dan Indie Art House,” ujar Gintani Nur Apresia Swastika.

 

Karya lukisan damar kurung Sriwati. Foto Purnawan S. Adi.

Di sela-sela kesibukannya sebagai Direktur Biennale Jogja, Gintani berbincang dengan Mojok, Jumat (8/10) perihal Biennale Jogja Equator. Ia menjelaskan bahwa semenjak lahirnya Yayasan biennale Jogja arah biennale memang jadi lebih terfokus pada kawasan equator untuk mempertemukan praktik-praktik seni yang ada di kawasan tersebut.

Tercatat pada tahun 2011 Biennale Jogja XI diselengarakan bekerja sama dengan India, lalu Biennale Jogja XII 2013 bersama Arab, Biennale Jogja XIII 2015 bersama negara-negara di benua Afrika, Biennale Jogja XIV 2017 bersama Brazil (Amerika latin), dan Biennale Jogja XV 2019 bersama negara-negara Asia Tenggara. Nah untuk tahun 2021 ini dibayangkan akan merangkum putaran equator dan yang tersisa tinggal Asia Pasifik.

“Awalnya kan kita menggunakan term pasifik. Setelah kita ketemu dengan teman-teman yang ada di New Zealand dan Australia, meskipun mereka berada dalam kawasan itu tapi sebagian besar yang kita temui adalah teman-teman pribumi/first nation, hampir sebagian besar mengkonfirmasi bahwa mereka lebih nyaman diidentifikasi sebagai Oseania,” ungkap Gintani.

Perihal Oseania sendiri secara kultur bisa dikatakan dekat dengan Indonesia mengingat sebagian dari wilayah Indonesia timur bagian dari pasifik; polinesia, Melanesia, Austronesia. Untuk itu jika kita melihat sajian karya-karya yang ditampilkan pada Biennale kali ini isu-isu yang dibawa terasa dekat dengan kita.

Hal ini dikonfirmasi oleh Gintani bahwasanya tema-tema yang muncul adalah hasil diskusi dengan kawan-kawan Oseania. Ada empat isu utama yang diangkat; diaspora, internasionalisme, dekolonialisme, desentralisasi, dan pengetahuan tempatan atau lokal.

“Kasus-kasus kayak di New Kaledonia jelas kita punya latar belakang keterikatan latar belakang yang panjang, banyak etnis jawa di sana. Isu diaspora dan internasionalisme yang kami bayangkan tentu saja bukan mengarah pada Eropa,” ujarnya.

Karya Shivanjani Lal “5 Prayes for 5 Generation”. Foto Purnawan S. Adi.

Ada tantangan yang muncul selama proses penyelenggaran biennale tahun ini, tentu saja keterbatasan karena situasi pandemi. Riset yang dilakukan tak leluasa, korespondesi dengan seniman-seniman yang terlibat hanya bisa dilakukan via daring. Sembari itu biennale mengirim dua kuratornya, Ayos Purwoaji dan Elia Nurvista ke Indonesia bagian timur.

“Karena pandemi dan faktor travel restriction kami mengirim kurator ke Indonesia bagian timur. Istilahnya kayak serambi pasifik. Ayos Purwoaji ke Papua, Maumere, Kupang, dan kawasan nusa tenggara. Sedangkan Elia Nurvista ke Ambon dan jazirah Maluku. Proses yang dilakukan disana adalah bertemu dengan teman-teman seniman dan komunitas di sana. Lebih ke mendalami budaya di sana,” ungkap Gintani.

“(seniman dari Oseania) ngga ada yang ke sini karena ngga bisa. Kalaupun bisa harus karantina dulu padahal seniman kan udah mau install karya. Jadi dari kurator menawarkan gagasan biennale jogja, tema-temanya seperti apa, kalau misal mereka tertarik terus kita lanjut lagi nanti karyanya dikembangkan lagi presentasinya.”

BACA JUGA Gara-gara Kutipan ‘Cantik Itu Luka’, Novelis Eka Kurnaiawan Diserang Akun Kecil di Rubrik KILAS.

Terakhir diperbarui pada 13 Oktober 2021 oleh

Tags: BiennaleBiennale JogjaOseania
Purnawan Setyo Adi

Purnawan Setyo Adi

Redaktur Liputan Mojok.co

Artikel Terkait

Biennale Jogja 18 Mojok.co
Ragam

Blusukan di Biennale Jogja, Sensasi Menikmati Karya Seni di Desa

11 November 2025
Biennale Jogja 2025: Membuka Keterasingan Padukuhan Boro yang Diapit Jalan Daendels dan JJLS MOJOK.Co
Seni

Biennale Jogja 2025: Membuka Keterasingan Padukuhan Boro yang Diapit Jalan Daendels dan JJLS

24 September 2025
asana bina seni 2024.MOJOK.CO
Hiburan

Saat Para Seniman Muda Melebur Bersama Warga di Asana Bina Seni 2024

23 Agustus 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
Relawan di Sumatera Utara. MOJOK.CO

Cerita Relawan WVI Kesulitan Menembus Jalanan Sumatera Utara demi Beri Bantuan kepada Anak-anak yang Terdampak Banjir dan Longsor

3 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.