Kenaikan UKT ternyata bukan dibatalkan, tapi ditunda. Jokowi, dilansir dari Detik, mengatakan bahwa kemungkinan kenaikan UKT mulai dilaksanakan tahun depan. Kenaikan masih dalam kajian dan evaluasi, dan Jokowi juga sudah memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada Nadiem terkait kenaikan UKT.
Artinya, bisa dibilang bahwa sebenarnya UKT tak perlu dinaikkan tahun ini, bahkan mungkin tahun depan pun tak perlu naik. Dan hal itu membawa kita ke satu pertanyaan: apakah UKT itu perlu naik?
Nafis Faraz, lulusan S2 Manajemen UGM mengatakan bahwa kenaikan UKT tidak urgent sama sekali. Kalau kenaikan UKT dalihnya adalah untuk menutup biaya operasional kampus, justru Nafis mempertanyakan kemampuan kampus tersebut dalam berbisnis.
“Kalau ada jurusan manajemen di kampus tersebut, harusnya yang dipertanyakan adalah jurusan tersebut. Masak nggak bisa bikin business plan untuk kampus?”
Nafis menegaskan bahwa tiap kampus yang sudah berstatus PTN-BH justru harusnya bisa mencari solusi menutup biaya operasional kampus selain menaikkan UKT. Kebebasan yang dimiliki oleh kampus berstatus PTN-BH harusnya bisa dimaksimalkan, bukan mengambil cara termudah dengan memberlakukan kenaikan UKT.
“Contohnya sudah banyak. UII itu salah satu contoh kampus yang bisa berbisnis.”
Kenaikan UKT yang eksponensial juga menyalahi Tri Dharma Perguruan Tinggi, Nafis melanjutkan. Jika kampus menaikkan UKT secara tinggi, otomatis dampak kampus bagi pendidikan dan pengajaran masyarakat terganggu.
“Kalau akhirnya hanya yang kaya saja yang bisa kuliah, kampus jadinya malah kapitalistik. Padahal kampus harusnya netral,” tegas Nafis.
Kenaikan UKT itu contoh kampus malas inovasi
Nafis berkata bahwa kampus memang bisa saja menaikkan UKT, hanya saja kampus juga perlu memberikan fasilitas yang setimpal. Beberapa kampus yang terkenal mahal nyatanya memang punya fasilitas mumpuni.
“UKT memang biaya yang ditarik oleh kampus untuk menutupi operasional. Tapi ya harusnya mahasiswa dapat fasilitas yang bagus. Jangan kayak kampus X (nama disamarkan), UKT-nya tinggi, mahasiswa pake ini itu, bayar.”
Lagi-lagi Nafis menegaskan bahwa kampus harusnya bisa menutup operasionalnya dari bisnis yang lain. Status PTN-BH harusnya bikin kampus tidak mengambil shortcut menutup operasional kampus dengan menerapkan kenaikan.
“Kampus itu yang PTN-BH ya, bisa cari duit lewat banyak cara. Main saham lah, obligasi lah, chip in investasi lah, buanyak. Ini kan pinter-pinternya kampus cari cara.”
Senada dengan Nafis, Naima (22), mahasiswa UNESA Surabaya juga menolak tegas kenaikan UKT. Baginya, urgensinya benar-benar tak ada. Justru yang ada, kenaikan UKT menghambat negara ini mengejar ketertinggalan.
“Sekarang aja, negara ini udah ketinggalan jauh dari negara lain, apalagi jika yang kuliah makin dikit (karena biaya). Kalau mengandalkan wajib belajar saja, memang yakin bisa memenuhi kebutuhan hidup? Loker saja mintanya minimal S1.”
Naima menambahkan, “kuliah iku satu-satunya alat pertarungan kelas, Mas. Hanya pendidikan, orang-orang dari kelas bawah ini bisa bersaing. Kalau satu-satunya alat malah dijadikan eksklusif, terus yaopo?”
Fasilitas nggak sebanding
Perkara fasilitas jadi salah satu hal yang disorot oleh Naima. Sama seperti Nafis, Naima melihat kenaikan UKT sering tidak dibarengi dengan peningkatan fasilitas yang sepadan. Banter-banternya, peningkatan yang dilakukan adalah perbaikan gedung. Sedangkan, penunjang kuliah tak hanya gedung, masih banyak lagi seperti peningkatan kapabilitas diri, perpustakaan yang memadai, dan sejenisnya jarang terpenuhi.
Tak ada tawaran atau proyeksi peningkatan terhadap apa-apa yang ada di pendidikan sekarang seakan-akan bikin kampus bisa memberlakukan kenaikan UKT karena mereka punya daya tawar besar, yaitu calon mahasiswanya yang butuh kuliah. Akhirnya, calon mahasiswa tak punya pilihan lain selain membayar UKT yang kelewat besar.
“Perlu diingat bahwa UKT harusnya perspektifnya sesuai dengan UMR atau gaji orang tua. Kalau kelewat besar, ya kayak yang aku bilang tadi, kapitalisasi. Kalau UKT tinggi, terus ngapain ngomongin Tri Dharma Perguruan Tinggi? Coba cek Tri Dharma Perguruan Tinggi, salah satunya pendidikan. Siapa yang mau mendidik kalau biaya kuliahnya kelewat mahal?”, tambah Nafis.
Ugal-ugalan
Menurut Ketua Komisi X DPR, Syaiful Huda, dilansir dari Detik, ada beberapa penyebab kenapa kenaikan UKT yang direncanakan begitu besar angkanya. Menurut Syaiful, ada dua faktor. Pertama, alokasi anggaran yang tidak tepat. Kedua, penetapan status PTN-BH pada kampus yang menyebabkan mereka punya kemerdekaan menentukan keputusan. Bagi Syaiful, kenaikan UKT ini ugal-ugalan, melihat ada kampus yang menaikkan hingga 350 persen.
Kenaikan sebesar itu, tentu saja merepotkan. Biaya yang ada sekarang saja sudah mencekik, apalagi jika dinaikkan. Meski direvisi, ada kemungkinan bahwa ini hanya ditunda, bukan batal. Keberpihakan negara dan kampus akhirnya dipertanyakan.
Di akhir wawancara, Naima menutup pembicaraan dengan satu jab yang lumayan menohok.
“Terakhir, yang paling penting, tujuan negara iki ada untuk ‘mencerdaskan bangsa’. Lah misal tujuan utamane tidak bisa dipenuhi, terus yaopo?”
Reporter: Rizky Prasetya
Editor: Hammam Izzudin
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.