Jika kebanyakan orang ingin kedainya viral dan ramai didatangi massa, Kedai Rukun sebaliknya. Ia justru berdoa terhindar dari kutukan itu. Kedai Rukun hanya ingin berjualan dengan tenteram. Bebas dari pelanggan yang rewel dan suka mengeluh, “ra nganggo suwi lho, mas!”
Ketemu di Rukun, ya…
Pagi di pertengahan April 2021, suara imsak dari masjid sayup-sayup terdengar. Saya yang baru saja selesai menyelesaikan sahur, mendapat pesan singkat dari Muhammad Bagus Panuntun (27) pemilik Kedai Rukun. “Kalo dirimu Minggu sore ini selo, monggo mas sore ini sekalian buka puasa hihihi. Mumpung Ibuk pas masak Empal Gentong”. Astaga! Batin saya menjerit. Baru imsak, sudah digoda gurih santan dan lembutnya jeroan.
Sesuai janji, pukul 4 sore saya pun sudah duduk manis di kursi hajatan RT khas Kedai Rukun. Terletak di tengah pemukiman padat, kita bisa mendengar riuh rendah suara anak-anak berlarian. Sesekali warga lewat di gang sempit yang mengapit Kedai Rukun. Lokasi tepatnya ada di Gang Darussalam, Kadipiro, Ngestiharjo, Kasihan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
Sembari menunggu Bagus atau yang lebih akrab dipanggil Bigoth selesai menyiapkan kedainya, saya mengambil beberapa foto. Tak sengaja saya mendengar seorang pelanggan menelpon temannya. “Ketemu di Rukun, ya…” Satu kalimat singkat itu begitu membekas di kepala saya, merangkum bahwa Kedai ini bukan hanya tempat makan, melainkan juga ruang bertemu.
Latte terakhir untuk bapak
Bigot bercerita bahwa mulanya ia tidak terpikir sama sekali akan membuat kedai. Sampai suatu hari, satu peristiwa bersama bapak membuatnya terbersit membuka kedai sendiri. “Saat itu, saya masih jadi barista. Bapak ngontak saya. Kerjaanmu ki ngopo to le? Kok angel banget nek dijak kumpul keluarga?”
Bukan karena hubungan dengan orang tuanya canggung. Bigoth menceritakan, hubungan dengan bapak dan ibu bahkan sangat dekat dan cair. Hanya saja, waktu itu ia memang masih senang berkumpul dengan teman-teman dan sibuk dengan urusan di luar. “Ibarate omah wes koyok kos-kosan mas. Mung nggo adus karo turu.” Bagus menceritakan bagaimana rumahnya yang seperti kos, hanya untuk mandi dan tidur.
Menjawab keingintahuan bapak tentang kesibukannya, Bigoth pun mengundangnya ke kafe tempatnya bekerja. Pagi pukul 10, bapak sudah datang. Sepanjang pagi itu, bapak hanya duduk dan mengamatinya mengerjakan tugasnya, mulai dari menurunkan kursi, menyapu, mengepel sampai menyiapkan kopi. Setelah semua tugasnya menyiapkan kafe selesai, Bigoth menyuguhkan secangkir latte untuk bapak.
“Kopi jebul iso digawe koyok ngene to le? Pait ning enak yo,” kenang Bigoth menirukan ucapan ayahnya. Ia mengaku, hari itu kehadiran bapak membuat suasana hatinya bagus. Hal itu ia yakini mempengaruhi hasil kalibrasi kopinya yang menurutnya sedang enak-enaknya.
“Kowe bukak dewe wae koyo ngene le,” Bagus kembali menirukan omongan bapak ke putra satu-satunya itu. Tanpa prasangka apa-apa, Bigoth hanya mengiyakan saja permintaan bapaknya untuk membuka kedai kopi seperti layaknya obrolan sambil lalu. Akan tetapi, tak lama dari peristiwa itu, bapaknya terkena serangan jantung.
“Bapak asline sehat bianget, mas. Seneng olahraga, awake yo apik,” kata Bagus.
Saat itu juga Bigoth membawa bapaknya ke klinik kesehatan. “Saat itu saya sudah menyiapkan uangnya, Mas. Mau dirujuk ke rumah sakit mana pun, sewa ambulan saya sudah siap,” kata Bigoth. Sayangnya saat itu hari Minggu, dan ambulan milik klinik tempat ayahnya dirawat tidak bisa dikeluarkan karena sopirnya libur. Bigoth akhirnya mengantar ayahnya menggunakan taksi online.
Ia berniat mengantar bapak di rumah sakit terbaik yang ia pilih. Namun, di pertengahan jalan di sekitar Ngabean, bapaknya sudah tidak kuat lagi. “Bapaku sudah nggak kuat banget, tanpa mikir panjang aku langsung belokin ke PKU karena jaraknya dari Ngabean nggak jauh,” ujar Bigoth mengingat saat-saat terakhir bersama bapaknya.
Begitu sampai di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, ayahnya sudah dalam kondisi blackout. “Mungkin semua dimudahkan yo, Mas? Dekat dengan rumah, keluarga iso kumpul cepet,” Bigot mengenang.
Saat ayahnya terkena serangan jantung, Bigoth tengah menyiapkan materi desain untuk peringatan International Coffe Day tempatnya bekerja. Bapaknya meninggal bersamaan perayaan hari kopi sedunia itu, 1 Oktober. Baginya, peristiwa inilah yang menjadi pemantik untuk kelak mendirikan kedai miliknya sendiri.
Resep Ibu
Bigoth cerita, sebelum meninggal, bapak sempat memberikan sejumlah uang untuk mendirikan kedai sendiri. “Iki ditambah karo nabung sithik-sithik cukup nggo bukak,” ucap bapaknya waktu itu. Maka setelah tabungannya dari hasil bekerja sebagai barista mencukupi, Bigoth pun memutuskan untuk membuka kedai sendiri.
“Nang pikiranku mung siji, Mas, ojok sampai duit iki entek nggo hal-hal sing ra perlu.”
Di Kedai Rukun, mulanya hanya ada dua menu spesial yang dijual. “Masakan yang aku nikmatin dari kecil. Bakmoy sama brongkos.” Dua masakan itu ia pilih, karena menurutnya, menu buatan ibunya itu sederhana tapi enak.
“Urusan brongkos saya termasuk pemilih mas. Kalo nggak bening kayak punya Ibuk, saya nggak mau. Kalo bakmoy, itu favorit almarhum bapak. ”
Bigoth teringat, bahwa dulu almarhum bapak juga pernah bercita-cita mau membuatkan warung agar ibu jualan bakmoy, tapi tidak pernah kesampaian. “Kalo bapak bisa modalin ibu jualan dari dulu, mungkin bakmoy sama brongkosnya Ibuk sudah masuk kategori kuliner lejen mas,” ucapnya. Meski begitu, kini melalui Kedai Rukun dia telah mewujudkan dua cita-cita bapak, memiliki kedai kopi sendiri untuk anaknya dan ruang untuk resep bakmoy istrinya.
Kedai dan energi ibu
Meskipun Rukun adalah sebuah kedai, tapi Bigoth juga mengingatkan bahwa ruang ini sejatinya juga rumah tempat sehari-hari ia dan keluarganya beristirahat. “Ini rumah bapak sambung. Pas pindah ke sini, aku mbatin omah iki sakjane menarik nggo digae sesuatu.”
Setelah menimbang-nimbang, Bigoth pun memberanikan diri untuk meminta izin kepada keluarga untuk merapikan rumah dan menggunakannya sebagai kedai. “Kene ki asline panggon kumpul-kumpul nek bapak-bapak meh ronda mas. Secara tidak langsung bisa dibilang aku sakjane mengusir mereka,” kata Bigot tersenyum. Secara resmi Kedai Rukun mulai beroperasi pada 2 Februari 2018.
Meski ‘menguasai’ tempat tongkrongan warga, menurut Bigoth, warga setempat selalu mendukung Kedai Rukun. Karena banyak warga bertanya, jualan apa, Bigoth menamai salah satu menunya, Kopi Warga. “Kopi tubruk mas, biar semua orang bisa ngerasain kopi yang aku buat.”
Kedai Rukun juga tetap terbuka untuk kegiatan warga. “Acara kampung tetep nomer siji mas. Rukun kan urip neng tengah-tengah masyarakat juga. Dadi nek ono sing ninggal, opo arisan, Rukun kudu ngalahi.”
Informasi tentang buka atau tutup Kedai Rukun bisa dilihat di instagramnya.
View this post on Instagram
Bigoth mengaku sangat sulit kalo ingin menutup kedainya di hari-hari biasa. “Kadang kan yo pengen istirahat to mas. Tapi Ibu malah pengene bukak terus.”
Ia melanjutkan bahwa pernah suatu kali karena ingin libur dan bermain. Ia pun mengabarkan ke pelanggan melalui Instagram bahwa hari ini Kedai Rukun libur. Akan tetapi, sudah dandan rapi dan mau pergi, Ibu malah belanja dan membuka kedai.
“Lho kok bukak to Bu?” tanyanya bingung.
“Lha ngopo prei?” Jawab Ibunya ringan. Bigoth pun tepok jidat dan memilih tidak jadi pergi.
“Sia-sia le ngumbah sepatu Mas,” ujarnya tertawa ketika mengingat kejadian itu.
Ia menambahkan, pernah suatu malam, ketika seharian kedainya tutup, Ibu tidur dengan gelisah. Kakinya bergerak menjejak-njejak seperti anak kecil dan merengek, “Ibu pengen bukak. Ibu bingung nek raono gawean,” kenang Bigoth sambil terkekeh mengingat ibunya yang mengigau.
“Kadang aku khawatir mas, buka terus, ndak dikira warga, aku mengeskploitasi Ibuku. Asline padahal ki Ibu dhewe sing ra gelem tutup.”
“Asline ki ibuk sing mengeksploitasi kowe yo Mas?” goda saya.
“Nah bener kui Mas!!!” Tegas Bigoth diiringi tawa kami semua.
Seperti layaknya sebuah rumah, Kedai Rukun hadir dengan apa adanya. Di Instagram Bigoth juga mengaku tidak berusaha tampil spesial dan mengarang-ngarang cerita. Jika di media sosial ia bercanda dengan ibu, baginya itu memang kesehariannya, suka gojekan sama ibu. Jika ia posting ngedumel soal makanan yang tidak habis, itu juga karena ia dan ibu merasa sayang jika makanan tidak dihabiskan.
“Teman-temanku kalo datang kesini juga kadang ngobrolnya sama Ibu. Kadang malah yang dicari bukan aku, tapi Ibu.”
Bigoth mengaku kadang keribetan dapur, mungkin terdengar sampai ke pembeli. Tapi baginya kalaupun ada keributan yang sampai ke telinga pembeli, dia menganggap itu adalah bumbu. Hal ini justru menjadi penambah suasana dan pegingat bagi pelanggan, bahwa ia tidak sedang makan di restoran yang kaku dan profesional, tapi seperti sedang numpang makan di rumah orang.
Takut viral dan pelanggan cerewet
Bigoth tidak pernah menyangka Kedai Rukun perlahan kini mulai dikenal. “Dalam bayanganku yang datang itu cuma teman-temanku Mas. Jadi kadang kalu tiba-tiba yang datang artis, atau orang besar, aku yo heran kok iso tekan kene?”
Meski begitu, ia sebetulnya lebih nyaman jika yang datang adalah teman-temannya sendiri. Ia menekankan bahwa saat ini kapasitas Kedai Rukun begitu terbatas. Kedai ini hanya dijalankan tiga orang, dia, Ibu dan bapak sambungnya. Dengan tenaga terbatas seperti ini, maka sebetulnya mereka sering kewalahan jika pengunjung tiba-tiba ramai datang.
“Beberapa masakan disini harus dibuat satu-satu. Kadang saya atau ibu juga masih suka lupa pesanan orang. Jadi kalo lama, saya pengennya pembeli itu ngerti.”
Bigoth mengaku saat ini dia belum bisa menjalankan kedai tanpa ibu. “Tidak ada Ibu aku mesti kewalahan. Anehe yo mas, setiap ibu lagi keluar, Rukun mesti malah rame.”
Ia bercerita bahwa suatu hari Ibu sedang keluar belanja ada artis (penyanyi) datang dengan rombongannya. “Ndilalah kok ya pesennya ayam bakar. Itu sampe keringet gobyos, setengah jam mung ngotak-atik bakaran. Nek ibuk sing bakar, kipas-kipas nyantai ngono.”
Terkait strategi pemasaran, Bigoth mengaku bahwa selama ini tidak pernah menggunakan trik-trik khusus, seperti membuat iklan, promo, dan sebagainya. “Aku malah takut kalo Rukun viral mas. Kalo sampai viral njuk yang antri banyak, takut ganggu warga juga. Toh kapasitas kami juga terbatas.”
Bigoth mengakhiri kisahnya tentang Rukun, bahwa ia inginnya Kedai Rukun begini saja, stabil, dan terus ada. Baginya, lebih dari sekadar kedai, Rukun telah mengubah pandangannya tentang keluarga. Jika dulu ia bisa bebas pergi main seharian dan tidak peduli urusan rumah, tapi setelah membangun Kedai Rukun, di benaknya tak pernah lepas dari keluarga.
“Keluar sedikit, inget yang di rumah. Kadang kalo seharian kerja di luar, saya suka tanya ke teman yang lagi mampir ke kedai, Ibu gimana? Kecapekan apa nggak?”
Tak terasa obrolan yang mulanya saya pikir akan selesai saat azan maghrib berkumandang, rupanya baru kami sudahi setengah satu dini hari. Malam itu, obrolan kami pun diwarnai dengan perjumpaan-perjumpaan yang tidak disengaja. Beberapa teman saya rupanya juga makan di Rukun.
Salah satu teman yang saya temui tengah berkunjung ke Kedai Rukun adalah Tejo (29), seorang videografer. “Tahu tempat ini setahun yang lalu karena diajak teman. Nggak terlalu sering, biasanya kalau janjian sama teman saja,” kata Tejo.
Menu favoritnya di Kedai Rukun, nasi sayur. Bentuk rumah yang sederhana dan berada di kampung membuatnya serasa di rumah sendiri. “Cuma kalau ngobrol nggak bisa terlalu keras karena lokasinya di kampung,” kata Tejo.
Pada akhirnya bukan hanya cerita tentang Kedai Rukun yang saya bawa pulang. Saya bertemu dengan teman-teman lama saya serta teman baru yang diperkenalkan ke saya. Dengan kesederhanaanya, terbukti Kedai Rukun mampu menjadi ruang temu dan menjalin relasi baru. Setidaknya bagi saya sendiri.
BACA JUGA Karena Urusan Perut, Kang Sunar Ternak Bekicot dan liputan menarik lainnya.