Di balik rasa bangga mahasiswa lolos PTN, ada orang yang nelangsa dibuatnya. Ya, mereka adalah orang tua yang harus rela pontang-panting cari duit hingga utang ke tetangga, demi memenuhi kebutuhan PKKMB yang sebenarnya tak penting-penting amat.
***
Sejak SMA, Hani* (21) memang terkenal sebagai anak yang pintar. Ranking kelasnya tak pernah keluar dari lima besar. Nilai ujiannya pun masuk 10 besar tertinggi di sekolahnya.
Oleh karena itu, saat pengumuman SNBT 2024 keluar, tak ada yang kaget nama Hani terpampang sebagai siswa yang lolos ke PTN. Baik teman-temannya, guru, hingga tetangga, sudah menduga kalau Hani bakal lolos.
“Tapi dari semua orang yang ngucapin selamat pas itu, nggak ada yang melebih kebahagiaan pas ibu sujud syukur,” ungkap perempuan asal Kebumen ini, yang dengan senang hati membagikan kisahnya kepada Mojok, Senin (6/8/2025) malam.
Hani lolos ke salah satu PTN ternama di Jogja. Kebanggan itu semakin besar karena ia juga lolos di pilihan pertama SNBT alias jurusan yang benar-benar diidam-idamkan.
Menikmati proses persiapan masuk kampus bersama teman-teman baru
Kebahagiaan Hani benar-benar tak terbendung. Apalagi saat ia mulai mengikuti rangkaian acara menjelang PKKMB. Saat itu, ia sudah sah menjadi perantau, karena selama persiapan agenda pengenalan kehidupan kampus, ia sudah ngekos.
Ia mengaku begitu menikmati setiap prosesnya. Bukan karena tugas-tugas yang diberikan, melainkan karena bertemu dengan banyak teman baru.
“Teman-teman gugus [kelompok PKKMB] yang awalnya kami cuma guyonan di WA Group, akhirnya bertemu langsung. Senang rasanya punya teman-teman baru,” ujarnya.
Bersama kelompoknya itu, Hani menghabiskan waktu, baik di kampus maupun di luar kampus. Mereka semua mempersiapkan segala kebutuhan menjelang PKKMB, seperti bonding, bikin yel-yel, kerja kelompok bikin atribut, hingga latihan buat pentas seni.
“Rasanya nggak lelah karena memang menyenangkan,” ungkap Hani.
Setelah dipikir, PKKMB itu boros dan banyak atribut nggak berguna
Namun, di tengah euforia itu, Hani menyadari satu hal: ternyata persiapan PKKMB memakan banyak biaya. Itu pun baru persiapan, belum di hari H.
Beberapa hari sekali, ia dan teman-temannya harus patungan untuk membeli barang-barang saat membuat atribut buat kelompok. Dan, itu tidak murah.
“Hari Senin patungan 50, biasanya Rabu atau Kamis patungan lagi 50. Itu baru yang kehitung ya,” kata dia.
Bahkan, bagi Hani, itu juga baru untuk kebutuhan kelompok di tingkat fakultas. Sementara ia juga punya kelompok PKKMB di tingkat jurusan yang kebutuhannya tak kalah banyak.
“Belum juga menghitung berapa kebutuhan pribadiku, kayak kewajiban membeli beberapa pasang pakaian baru, ikat pinggan baru, sepatu baru, dan banyak atribut lain.”
Lebih kaget lagi, saat ia melihat list kebutuhan di hari H PKKMB (total ada 5 hari), barang-barang yang harus dibeli makin banyak. Pengeluarannya pun semakin membengkak, meskipun ia tak sepenuhnya paham barang-barang itu dibeli untuk apa.
“Banyak barang aneh kayak lightstick, laser, itu buat apa?” tegasnya, dengan penuh kebingungan.
Membeli perlengkapan PKKMB dari hasil utang tetangga
Sebenarnya, ada perasaan tak enak bagi Hani tiap kali ia minta transferan ke orang tua. Ia paham bapak dan ibunya adalah pekerja keras. Namun, ia juga tahu kalau gaji mereka sebagai buruh pabrik itu amat pas-pasan.
Apalagi, ia bukan satu-satunya “beban” orang tua. Masih ada dua adiknya yang masing-masing kelas 4 SD dan SMP.
“Kayak aku merasa jadi beban sesungguhnya di keluarga,” katanya. “Dikit-dikit minta transfer, padahal mereka sudah nanggung uang saku dan kosku. Aku kayak cuma asal meras aja.”
Satu hal yang Hani ketahui: orang tuanya tak pernah bilang “tidak” saat ia sudah meminta. Tiap kali ia minta uang buat kebutuhan PKKMB, orang tuanya selalu bilang “aman kok”, “ada kok”, atau “udah, nggak usah dipikirin”.
Padahal, Hani juga tahu kalau orang tuanya kerap berada di posisi tak punya uang dan terpaksa utang ke tetangga untuk membeli kebutuhan PKKMB-nya.
“Di posisi itu aku merasa benar-benar kayak orang jahat. Kayak maksa orang tua utang cuma buat beli barang-barang nggak penting,” tegasnya.
Masih pentingkah PKKMB?
Alhasil, Hani pun makin overthinking: Apakah benar ia beban keluarga? Apakah benar kalau orang tuanya cuma pura-pura bangga padanya? Atau, lebih penting lagi, apakah memang PKKMB masih penting?
Hani berpendapat, PKKMB merupakan kegiatan yang penting dan krusial bagi mahasiswa baru. Sebab, mau tak mau, itu menjadi sarana bagi mahasiswa buat lebih mengenal lingkungan barunya.
Namun, yang ia kritisi adalah, atribut dan agenda tak berguna yang terkesan dipaksakan. Bagi orang yang mampu secara finansial, itu tak jadi masalah. Tapi bagi dirinya yang serba pas-pasan, tentu itu menjadi beban.
Dan, bagi Hani, yang lebih terbebani adalah orang tuanya.
“Ya, PKKMB itu penting, bahkan sangat penting. Tapi saranku sih, kurangi kegiatan nggak berguna dan memakan banyak duit. Nggak semua orang itu tajir soalnya,” pungkas Hani.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Mahasiswa PTN Bohong ke Orang Tua, Mengaku Dapat Beasiswa padahal Diam-Diam Kuliah Sambil Kerja demi Gelar Sarjana atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.
