Unair Surabaya Memang Kampus Impian, tapi PTS Kecil di Solo yang Menghidupkan Kembali Mimpi Saya

Unair Surabaya.MOJOK.CO

Ilustrasi - Kuliah di Unair Surabaya (Mojok.co)

Kuliah di Unair Surabaya adalah mimpi banyak orang. Namun, terkadang mimpi itu harus dikubur karena kenyataan yang tak mendukung. Dan, mimpi itu bersemi lagi di tempat yang tak terduga.

***

Niko (26) masih ingat betul satu kalimat yang membuatnya senang bukan main. 

“Selamat! Anda diterima di Universitas Airlangga Surabaya”

Kira-kira begitu bunyi Pengumuman SNBT (dulu SBMPTN) 2019 yang Niko terima.

Ia masih hafal tiap hurufnya. enam tahun lalu, kalimat itu seperti “tiket” meraih mimpinya.

“Waktu itu aku langsung sujud syukur, di warnet,” kenang lelaki asal Solo ini, Jumat (10/10/2025). “Waktu aku pulang dan mengabari ortu, bapak dan ibu langsung nangis. Rasanya kayak mimpi yang akhirnya jadi nyata.”

Unair Surabaya dan misi menyambung mimpi kakak yang terputus

Bagi Niko, diterima di Unair bukan hanya soal prestise kampus besar. Ia merasa sedang menyambung mimpi yang dulu tak sempat selesai.

Beberapa tahun sebelumnya, kakaknya juga bercita-cita masuk Unair Surabaya. Kakaknya dikenal cerdas, selalu ranking di SMA, dan aktif di masyarakat. Ia bahkan berceloteh ingin jadi orang hukum agar bisa membantu warga kecil di kampungnya, Solo. 

Sayang, sebelum sempat mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi, kakaknya meninggal dalam kecelakaan motor saat pulang sekolah.

“Waktu itu aku masih SMP,” kata Niko, pelan. “Bapak sering bilang, semoga aku bisa melanjutkan mimpi kakak kuliah di sana.”

Sejak itu, Unair Surabaya menjadi satu-satunya universitas yang ia impi-impikan. Niko belajar hingga larut malam, rela ikut jam tambahan sepulang sekolah, hingga bimbel di akhir pekan.

Oleh karena itu, saat pengumuman SBMPTN 2019 keluar, Niko tak hanya bangga. Ia merasa utang lama akhirnya lunas. 

“Bapak bilang, ‘Akhirnya mimpi kakakmu nggak sia-sia.’”

Namun euforia itu tak bertahan lama. Begitu surat dari kampus datang, wajahnya langsung berubah cemas. Ia tak lolos program beasiswa Bidikmisi. Sementara UKT yang harus ditanggung tak main-main jumlahnya: hampir Rp6 juta per semester.

“Ya untuk ukuran Bapakku yang pas-pasan, cuma kerja di bengkel kecil, itu UKT gede,” kata dia. “Tapi Bapak cuma bilang, ‘Kamu berangkat dulu. Soal uang, nanti kita pikir bareng-bareng.’”

Kuliah dengan ngos-ngosan

Dua semester pertama di Unair Surabaya ia jalani dengan semangat yang campur was-was. Ia belum lolos Bidikmisi, tapi berharap di semester tiga ada peluang baru masuk kuota susulan.

Sementara itu, untuk menutup biaya hidup, Niko bekerja serabutan, apapun itu. Kadang membantu teman jualan online, jaga rental PS di malam hari, hingga mengetik tugas orang lain. 

“Kadang cuma tidur tiga jam,” ujarnya sambil tertawa kecil. “Kalau ingat masa-masa itu, rasanya malah hidupku lebih banyak kerja daripada kuliah.”

Lama-lama, tekanan terasa makin berat. Teman-teman di kampus bisa nongkrong di kafe, beli laptop baru, atau ikut organisasi. Sementara dirinya, malah lebih banyak disibukkan dengan urusan kerjaan–yang bahkan upahnya tak seberapa.

 “Bukan iri ya, tapi kadang aku bertanya: apa salah ya lahir di keluarga miskin? Rasanya begini banget”

Memutuskan mundur dari Unair karena kondisi

Di balik senyum ramahnya, Niko menyimpan kegelisahan: bagaimana jika semester depan (tiga) tak sanggup lagi membayar UKT?

Jawabannya datang lebih cepat dari yang ia kira. Pertengahan 2020, pandemi Covid-19 melanda. Sebagaimana dialami banyak orang, ayahnya kehilangan pekerjaan. 

“Bulan itu, aku nggak bisa bayar UKT,” ujar Niko. Ia akhirnya memutuskan pulang ke Solo untuk cuti kuliah satu semester. Yang kemudian, malah berlanjut ke semester berikutnya.

Alhasil, sepanjang 2020–2021, untuk mengisi waktu cuti Niko bekerja serabutan di kampung halaman sebagai driver ojol. Uang hasil ngojol ia tabung untuk biaya kuliah, dan sebagian lagi untuk membantu perekonomian keluarga.

Sebenarnya, Niko masih berharap dapat beasiswa swasta. Namun, karena dua semester cuti, ia merasa kansnya sangat kecil. Maka, pada pertengahan 2021–setelah dua semester cuti, Niko memutuskan mengundurkan diri dari Unair Surabaya. 

“Bukan karena menyerah, tapi lebih ke realistis. UKT setinggi langit, beasiswa tak dapat. Belum lagi hidup di perantauan juga tak murah.”

Dari hasil tabungannya, Niko memutuskan mendaftar ke sebuah PTS kecil di Solo. Kuliah di kampung halaman, ia rasa bikin semua lebih mudah. Selain tak perlu ngekos, ia juga bisa memberi perhatian ibunya yang mulai sakit-sakitan.

PTS kecil yang menghidupkan mimpi

Per 2021 Niko resmi meninggalkan Unair Surabaya dan kuliah di kampus kecil di kampung halamannya. Gedungnya tak besar, ruang kelasnya sempit, bahkan ia sering ngguyoni “kampus ruko”.

Kendati demikian, ia bisa hidup lebih tenang. Biaya kuliah yang jauh lebih murah, setidaknya tak membebani pikirannya lagi. Ia tetap bekerja serabutan, ngojol dan beberapa kali ikut event budaya.

“Tetap kerja karena itu sebagai wujud tanggung jawabku sama orang tua,” ujarnya.

Rutinitasnya memang melelahkan. Namun, tiap kali ingin mengeluh, ia mengingat masa-masa di Unair Surabaya yang tekanan hidupnya jauh lebih berat. Dengan begitu, ia punya alasan untuk bersyukur.

 “Dulu aku pikir, kampus besar pasti lebih baik,” ujarnya. “Tapi kadang, ada rencana lain yang lebih indah.”

Awal 2025 ini, Niko resmi lulus kuliah dari PTS kecil itu. Ia kini menunggu tawaran kerja dari sebuah agensi kreatif lokal yang sempat ia magangi.

“Dulu aku pikir aku sudah gagal karena nggak bisa lanjut di Unair. Tapi sekarang aku sadar, yang penting bukan di mana kita belajar, tapi seberapa besar kita bertahan.”

Bagi Niko, PTS kecil di Solo itu bukan pelarian, tapi rumah baru yang menampung harapan ketika semua pintu nyaris tertutup. Ia berhasil menamatkan kuliah dengan nilai baik, membantu orang tuanya, dan tetap merasa setia pada mimpi kakaknya.

Penulis: Alasan Saya Mengabaikan Pengumuman Lolos di UGM, Lebih Pilih Kuliah di Universitas Terbuka Malang untuk Bertahan Hidup atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Exit mobile version