Berkat kerja santai sambil ngopi sebagai tukang parkir selama seminggu, seorang mahasiswa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Jogja bisa mengantongi duit hampir setara UMP DIY. Hasil kerja seminggu bisa langsung untuk beli hp baru.
***
Tiap tahun, polemik soal mahalnya tukang parkir di tempat-tempat wisata di Jogja selalu menyita perhatian khalayak. Banyak wisatawan mengeluh soal tarif parkir yang mereka anggap nuthuk alias pasang harga setinggi mungkin. Lebaran Mei 2023 lalu, bisa menjadi contoh terkini. Kala itu, banyak turis mengeluh soal mahalnya tarif parkir, terutama di area-area wisata seperti Malioboro dan sekitarnya.
Kala itu, dalam menyambut libur lebaran, Pemkot Jogja memang mengizinkan pengelola parkir swasta di Jogja menaikkan tarif parkir hingga lima kali lipat. Alhasil, keluhan turis soal tarif parkir Rp10 ribu untuk kendaraan roda dua hingga Rp50 ribu untuk kendaraan besar, sudah jadi hal lumrah.
Tak hanya itu, maraknya parkir liar juga menjadi masalah lain. Kita sering menjumpai banyak trotoar yang disulap sebagai lahan parkir. Bahkan, tempat-tempat yang secara gamblang sudah diberi plang “parkir gratis” pun masih kerap dimintai uang.
Meskipun meresahkan dan kerap menimbulkan pro dan kontra, masalah ini seakan tak ada ujung. Tak dimungkiri, lokasi parkir merupakan lahan basah yang selalu jadi rebutan. Maka tak heran jika tiap hari selalu saja muncul tukang parkir dadakan dan ilegal di lokasi-lokasi tertentu.
BPS pernah mencatat, di Sleman dan Yogyakarta saja, masing-masing ada 900-an tukang parkir resmi. Ini belum termasuk yang swasta, yang liar, atau yang dadakan.
Saya pun bertemu dengan Julian (24), lelaki yang mengaku pernah merasakan nikmatnya jadi tukang parkir dadakan di tempat yang ramai, meski hanya seminggu. Setelah mendengar ceritanya, saya pun berpikir, “pantas, tukang parkir ada di mana-mana!”.
Mahasiswa UST Jogja yang rajin cari kerja sampingan
Sejak menjadi mahasiswa baru UST pada 2018 lalu, Julian memang sudah mengambil banyak kerja sampingan. Kalau ia hitung, sebetulnya uang saku yang diberikan orang tuanya tak kurang-kurang amat sih. Biaya kuliahnya tiap semester juga aman-aman saja. Ia mengaku ambil sidejob sekadar untuk memenuhi kebutuhan fesyennya, seperti beli sepatu, kaos, atau bahkan tiket konser.
Hingga pandemi Covid-19 kemarin, alumnus UST Jogja sudah banyak dalam urusan kerja sampingan. Ia pernah jadi pramusaji rumah makan di sekitaran Jalan Sultan Agung; sempat jadi tukang kemas paket di layanan jasa ekspedisi; hingga yang paling lama ia tekuni adalah nyambi sebagai driver ojek online.
Profesi terakhir itulah yang akan mengawali kisahnya di tulisan ini. Sebab, sejak ngojol, ia jadi sering nongkrong di salah satu tempat futsal di Jogja. Kebetulan para penjaga lapangan futsal di tempat itu adalah teman-temannya sendiri. Sehingga, ia pun memilih tempat futsalan itu sebagai lokasi ngetem.
“Dekat kampus, jadinya potensi nyantolnya gede sih,” kata Julian, Senin (18/12/2023), menjabarkan alasannya.
Jadi tukang parkir, sepi saja dapat ratusan ribu
Singkat cerita pada 2022 lalu Julian mulai mengerjakan skripsinya. Kata dia, saat itu waktunya justru amat lenggang karena dalam sehari paling-paling efektif dia nulis hanya sekitar lima jam saja. Julian bercerita, selama mengerjakan tugas akhir, tempat futsal yang dijaga temannya tadi jadi andalannya.
“Biar nggak sepaneng aja sih ketemu teman. Sama yang paling penting ada WiFi gratis,” guraunya.
Selama nongkrong di sana, Julian juga mulai akrab dengan beberapa tukang parkir. Saat itu, hal pertama yang menyita perhatiannya adalah penghasilan sang juru parkir. “Bayangin aja, satu motor ditarik Rp2000. Kalau aja sehari ada 50 motor udah lumayan, dong,” ujar alumnus UST ini.
Teman Julian yang kerja di tempat tersebut menjelaskan kalau sistem bagi hasil antara futsalan dan tukang parkir adalah 30-70. Artinya, 30 persen disetor ke yang punya lahan, sementara 70 persen lain jadi hak sang juru parkir.
“Masalahnya, tiap kali setoran, pas sepi aja sang juru parkir nyetornya pernah ada yang Rp50 ribu. Kalau 30 persennya aja segitu, gimana yang 70 persen coba?,” kata Julian takjub.
“Itu lebih dari hasil ngojol sehari.”
Baca selanjutnya…
7 hari penuh keberuntungan bisa langsung beli hp baru
Ketiban durian runtuh selama 7 hari
Setelah lama sempat “mengagumi” penghasilan sang juru parkir, Julian tiba-tiba ketiban durian runtuh. Bagaimana tidak, pada akhir tahun lalu salah satu kampus mengadakan turnamen futsal di lapangan futsal yang temannya jaga. Pada saat yang bersamaan, tukang parkir yang biasanya jaga katanya sedang terkena musibah. Julian pun menawarkan diri sebagai penggantinya.
“Temanku sih langsung oke-oke aja,” katanya.
Sesuai dugaannya, selama seminggu turnamen berjalan, tempat futsal selalu ramai. “Full terus,” kalau kata dia.
Dalam sehari saja, rata-rata ia bisa mengantongi Rp300-500 ribu bersih. Itu sudah termasuk potongan 30 persen yang wajib ia berikan ke tempat futsal. Julian juga mengaku, kalau kerjanya enggak terlalu ngoyo karena banyak mahasiswa yang datang, kata dia, “sudah tahu caranya parkir yang rapi”.
“Ya kerjanya cuma nunggu motor masuk, narik karcis, nata-nata tipis, ngopi, dapet duit.”
Hasil jadi tukang parkir seminggu bisa beli HP android
Julian mengaku, selama seminggu tadi, ia total mengantongi uang Rp1,8 juta. Pada tahun 2022, nominal itu jelas hampir mendekati UMP DIY yang berada di angka Rp1,9 juta.
“Seumur hidup aku kerja, ini penghasilan paling banyak sih,” kisahnya, merefresh masa-masa kejayaannya.
Ketika saya tanya untuk apa uang hasil jerih payahnya selama seminggu itu, Julian mengaku langsung ia pakai untuk membeli barang-barang yang ia butuhkan. Salah satunya HP Android seharga Rp1,6 juta, yang kebetulan saat itu sedang ada promo akhir tahun.
“Langsung aku beliin barang biar kelihatan hasil,” katanya tertawa.
Sebenarnya, Julian tak hanya menjadi tukang parkir selama seminggu. Di hari-hari berikutnya ia tetap melanjutkan pekerjaan dadakan itu karena juru parkir yang lama belum juga pulih. Namun, ia akui bahwa hasilnya tak sebanyak saat ada event turnamen kampus.
“Tapi masih lumayan sih kalau sekadar buat tambahan,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Hammam Izzuddin
BACA JUGA Warung Sate Kang Jilan, Kuliner Mewah Imogiri yang Dulunya Tak Semua Orang Bisa Membeli