Beasiswa KIP Kuliah menyalakan harapan saya untuk kuliah. Meski kondisi saya dan keluarga masih harus menerima cacian. Karena tak seperti kebanyakan mahasiswa yang akrab dengan kafe dan bioskop, saya justru lebih akrab dengan asap jagung bakar: jualan untuk tetap menyambung hidup dan perkuliahan.
***
Nama saya Windy Syalwa Mutmainna. Pendeknya, panggil saja Windy. Kini saya tercatat sebagai mahasiswa aktif di Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Maluku.
Saya memang ingin menjadi Hakim atau Jaksa (kelak). Bukan sekadar untuk mengejar jabatan, tapi karena saya tahu betul bagaimana rasanya ketidakadilan dan keterbatasan. Saya juga ingin memberantas korupsi. Tapi jalannya memang masih amat panjang.
Beasiswa KIP Kuliah: titik terang di tengah keterbatasan
Saya lahir di Ambon. Sedari SMP saya dan kedua orang tua saya harus tinggal dengan menyewa dua kamar kos.
Sebelumnya kami sempat tinggal di tanah milik orang lain. Namun, kami harus pindah karena tanah itu dipakai lagi oleh si pemilik.
Dulu, kuliah seperti menjadi jalan yang amat jauh untuk saya gapai. Situasinya seperti ini: Bapak saya dulu seorang nelayan. Namun, karena sudah berusia 60 tahun, tidak memungkinkan bagi Bapak untuk terus berjibaku dengan gelombang laut. Maka, keluarga kami pun menyambung hidup dengan jualan kecil-kecilan.
Tapi Takdir memberi secercah titik terang. Saya ternyata bisa duduk di bangku kuliah melalui beasiswa KIP Kuliah dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek).
Pagi kuliah, malam jualan jagung bakar
Beasiswsa KIP Kuliah memang sangat menunjang keperluan kuliah saya. Akan tetapi, saya juga harus memikirkan biaya hidup sehari-hari bersama orang tua.
Oleh karenanya, saya harus membagi peran. Di pagi hari, saya menyimak mata kuliah di bangku kuliah. Lalu malamnya untuk jualan jagung bakar.
Jam 8 pagi saya mengikuti kuliah online. Lalu dari jam 11 sampai jam 2 siang, karena free, biasanya saya gunakan untuk persiapan dagang jagung bakar. Seperti menyiapkan bumbu dan kebutuhan dagangan jasuke (jagung susu keju).
Disambung jam 4 sore kuliah (lagi) offline. Perkuliahan akan berakhir di jam setengah 6 atau setengah 7 petang. Selepas pulang, tanpa ganti baju, saya langsung berangkat jualan.
Saya kerap berjualan hingga hari berganti. Di sela-sela berjualan itu, sesekali saya membuka buku dan catatan perkuliahan.
Acap malu dengan teman, acap terima cacian
Ada kalanya saya merasa malu. Ketika teman-teman kuliah bercerita tentang kafe atau bioskop, saya justru sibuk bergumul dengan arang dan asap jagung bakar.
Pernah sekali waktu, ada seorang teman kuliah melintas dan mengenali saya. Saat itu rasanya saya ingin lari dan bersembunyi. Tapi kemudian saya sadar, rasa malu tidak akan membayar biaya kuliah atau mewujudkan cita-cita saya.
Saya juga sadar, bahwa beasiswa KIP Kuliah–yang membuka jalan saya untuk kuliah–harusnya jadi dorongan semangat. Saya harus membahagiakan orang tua.
Perjuangan mereka untuk membesarkan saya harus dibalas dengan prestasi yang membahagiakan keduanya. Saya harus membuat pembuktian kalau anak mereka ini bisa loh menjadi seperti orang-orang di luar sana. Karena selama ini, dengan kondisi serba terbatas kami, cacian kerap melayang. Maka cara membalasnya adalah dengan memberi pembuktian.
Kesadaran itu membuat lelah yang saya rasakan–karena kuliah dan jualan–selalu hilang.
Tuntaskan kuliah dengan Beasiswa KIP Kuliah, tekad ubah nasib orang tua
“Mama deng Papa tenang-tenang saja. InsyaAllah Windy bisa selesai kuliah. Windy bisa bikin Mama Papa bangga dan buktikan ke orang-orang yang pandang kita sebelah mata kalau kita juga bisa.” Itu tekad saya untuk orang tua saya.
Saya bertekad, usai tuntaskan kuliah dengan beasiswa KIP Kuliah ini, saya akan bahagiakan mereka kelak. Saya tidak akan berhenti (bertekad) sampai saya bisa meletakkan palu keadilan di atas meja (menjadi hakim dan jaksa).
Teman-teman–yang membaca kisah saya–saya berharap agar kalian tak takut bermimpi besar. Jangan takut (misalanya) bermimpi bisa kuliah. Sebab, ada banyak beasiswa yang tersedia, seperti beasiswa KIP Kuliah yang saya dapat.
Tulisan ini diolah dari tutur kisah Windy Syalwa Mutmainna dalam rilis humas Kemdiktisaintek Senin (20/10/2025)
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Universitas Brawijaya (UB) Bawa Saya Kuliah Tanpa Biaya, Bisa Kerja Sebelum Wisuda buat Tebus Masa-masa Berat Sekolah Sambil Kerja Sejak Remaja atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












