Setelah menuntaskan pendidikan S3 di sebuah kampus elite Jogja, Rahman (28), demikian namanya ingin ditulis, memilih kerja di LSM. Tawaran buat menjadi dosen sebenarnya datang silih berganti, termasuk dari kampus tempatnya berkuliah.
Ia menolak tawaran-tawaran tersebut bukan tanpa alasan. Baginya, dunia pendidikan di Jogja punya banyak sisi gelap. Ada yang sudah jadi rahasia umum, tapi banyak juga yang masih disembunyikan.
“Aku bisa menyebutkan semuanya. Tapi tolong difilter ya, sebagian off the record karena tepi jurang,” ujarnya sambil tertawa, saat bercerita kepada Mojok, Sabtu (3/5/2025) di Jogja.
“Tapi aku sampai pada kesimpulan kalau menjadi dosen, pada hari ini, di Jogja, menurutku itu bukan keputusan bijak. Ibarat masuk kandang naga; bisa digigit, dililit, atau disembur api,” sambung lelaki lulusan S3 ini.
Pengakuan sang lulusan S3: banyak dosen “hasil joki”
Rahman mengaku, waktu, tenaga, dan juga biaya–yang tak sedikit–sudah ia keluarkan untuk bisa meraih gelar doktor. Dirinya bahkan rela menunda banyak rencana karena uangnya telah terpakai untuk kuliahnya.
“Aku S1-nya bayar sendiri. Kuliah S2 dapat beasiswa tapi nggak full. S3 bayar sendiri lagi, yang kalau kusebut angkanya orang-orang bakal geleng-geleng,” ujar lulusan S3 ini. Pengalaman hidup ini pada akhirnya membuat Rahman amat menghargai pendidikan.
Sayangnya, hal tersebut harus dinodai dengan berbagai fakta mencengangkan ketika ia hendak nyebur ke dunia pendidikan. Rahman melihat, ada banyak dosen–baik di PTN maupun di PTS–lulus kuliah lewat jalur joki.
“Tesis dijokiin. Disertasi? Apalagi itu. Wong nulis saja nggak bisa,” ungkapnya.
Di Jogja, jejaring perjokian memang amat meluas. Mereka menawarkan berbagai jasa. Mulai jasa joki tugas kuliah, skripsi, tesis, disertasi, atau yang baru-baru ini dibongkar oleh panitia pengawas UTBK adalah joki masuk kuliah. Soal joki ini, Mojok pernah membuat banyak liputan yang bisa kalian baca selengkapnya di sini.
“Benar joki ada di mana-mana. Tapi yang aku kagetin, mereka yang menjoki ini pakai ijazah mereka buat jadi dosen. What the fuck, men! Kebayang nggak gimana nasib mahasiswa kalau yang ngajar aja anak haram pendidikan begini?,” imbuhnya, geram.
Bagi-bagi jabatan dalih jiwa korsa sesama anggota ormek
Melihat praktik culas itu, Rahman sebenarnya bukan tanpa “perlawanan”. Ia tak tinggal diam. Beberapa kali, lulusan S3 ini berbicara dengan pihak kampus, mulai dari dosen sampai tingkatan dekan untuk membahas pengajar-pengajar yang lulus karena jalur joki.
“Jawaban yang aku dapat? Gini, kutip baik-baik, ya, biar orang pada tahu: ‘kami tak bisa berbuat apa-apa kalau sedari awal calon dosen sudah ditentukan’,” ujar lulusan S3 ini, mengulang kata-kata pihak kampus yang beberapa kali ia ajak ngobrol.
Yang Rahman pahami, relasi patron-klien amat kuat dalam hal seleksi dosen. Ini nyaris terjadi di semua kampus. Biasanya, seorang dosen bakal…
Baca halaman selanjutnya…
Kampus-kampus elite tak membantah kalau mereka mengangkat dosen cuma karena kesamaan ormek.
Yang Rahman pahami, relasi patron-klien amat kuat dalam hal seleksi dosen. Ini nyaris terjadi di semua kampus. Biasanya, seorang dosen bakal diberikan “pekerjaan” oleh orang yang memiliki jabatan di kampus tersebut cuma karena kesamaan organisasi ekstrakampus (ormek).
“Kadang seleksi itu cuma jadi formalitas karena kandidat mana yang lolos sudah ditentuin,” ucap lulusan S3 ini.
Mojok sendiri sempat mengonfirmasi dugaan ini ke salah satu petinggi fakultas di PTN ternama Jogja. Yang bersangkutan menolak memberi jawaban terang. Namun, yang bersangkutan tak membantah kalau dosen-dosen di fakultas mayoritas memang anggota ormek tertentu.
“Aku yakin masih ada kampus bersih yang seleksi dosennya pakai sistem merit. Tapi tetap aja nggak nutup fakta, patron-klien di seleksi dosen masih juga masih kuat.”
Yang sudah jadi rahasia umum: gaji dosen kecil
Persoalan terakhir yang (mau) Rahman ceritakan tentunya adalah masalah gaji. Mau bagaimana pun, dosen itu adalah buruh yang mempunyai hak mendapatkan upah layak.
“Tapi dari yang aku ketahui, seenggaknya dari kawan-kawan dosen yang mengajar, upah mereka jauh dari layak,” jelas lulusan S3 ini.
Keresahan Rahman ini, seturut dengan hasil survei gerakan #JanganJadiDosen yang dipublikasi oleh tim riset The Conversation. Hasil survei itu menunjukkan, hanya 42 persen dosen yang diupah rata-rata Rp3 juta–sedikit di atas UMR. Sementara sisanya (58 persen), mengaku penghasilannya tak tentu, rata-rata malah cuma Rp1 juta per bulan.
Akibatnya, banyak dosen akhirnya mencari “pekerjaan sampingan”. Sebab, kalau cuma mengandalkan gaji, mereka bakal hidup jauh dari sejahtera. Pekerjaan sampingan yang dimaksud seperti penelitian di luar kampus, mengajar di banyak tempat, membuka les privat, sampai “kerjaan kotor” joki skripsi, tesis, maupun distertasi–seperti yang Rahman sampaikan.
“Banyak dari kawan-kawanku yang kerja di PTN tapi status mereka masih pekerja honorer. Gaji buat dapat 2 juta sebulan saja sudah kewalahan,” ungkap Rahman.
Ia pun mengaku tak mau capek-capek mengajar mahasiswa kalau kesejahteraan para pengajarnya saja belum diperhatikan. Bahasa mudahnya, “kuliah mahal-mahal, begitu kerja digaji murah”. Oleh karena itu, menurut Rahman, untuk saat ini pekerjaan di LSM atau peneliti independen masih jauh lebih menghasilkan ketimbang menjadi dosen.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Lulusan S3 di Jogja Tolak Tawaran Jadi Dosen karena Takut Kehilangan Waktu Luang untuk Mancing atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.
