Lulus kuliah dengan IPK 3,75, tak bikin Ahmad (26) mendapat kemewahan saat terjun ke dunia kerja. Mahasiswa Surabaya ini malah dianggap remeh, berkali-kali ijazahnya ditolak HRD hanya karena dia lulusan kampus terakreditasi C.
Pada 2016 lalu, Ahmad lulus sekolah dari salah satu SMA negeri di Sidoarjo, Jawa Timur. Mayoritas teman-teman sekolahnya memilih lanjut buat kuliah. Ada yang diterima di UGM, UI, bahkan UNAIR.
Sayangnya, karena terkendala masalah biaya, Ahmad memutuskan buat langsung kerja saja. Setelah lulus, ia ikut kakaknya kerja di salah satu tempat pencucian mobil di Surabaya.
Karena jarak antara rumah dengan tempat kerja sekitar sejam perjalanan, ia memilih tinggal di mes. Kebetulan, mes tempat menginap Ahmad satu masih kompleks dengan kos-kosan mahasiswa..
Alhasil, Ahmad pun jadi akrab dengan mahasiswa-mahasiswa di sana. Bahkan, nyaris tiap malam mereka nongkrong bareng. Topik obrolan pun seringnya mengarah ke hal yang ndakik-ndakik.
“Nggak tahu kenapa jadi minder aja, teman-teman nongkrong semuanya anak kuliahan,” kata Ahmad, bercerita kepada Mojok mengenai perasaan yang sempat ia rasakan, Senin (27/5/2024).
Keinginan buat kuliah pun jadi muncul. Karena keterbatasan biaya, ia lantas mulai tanya-tanya soal kampus yang biayanya murah.
“Akhirnya direkomendasikan satu PTS di Surabaya. Aku daftar di PMB 2017.”
Masuk kampus akreditasi C Surabaya karena murah banget, bisa dicicil 3 tahun pula
Soal akreditasi kampus, mahasiswa Surabaya ini sama sekali tak tahu. Pada awalnya, Ahmad mempertimbangkan masuk ke PTS tersebut karena biayanya yang terjangkau.
Per semester, SPP-nya hanya sebesar Rp1 juta untuk jurusan yang cukup jadi primadona, Manajemen. Sementara uang pangkalnya adalah Rp8 juta, yang bisa dicicil selama 36 bulan.
“Orang tua juga bilang untuk biaya segitu masih aman. Masih mampu lah buat membiayai saya,” jelasnya.
Per 2018, Ahmad pun resmi menjadi mahasiswa baru di PTS Surabaya tersebut. Soal biaya hidup, dia masih cukup terbantu dengan bantuan kakaknya yang masih kerap memberinya makan dan uang saku.
“Ngekos sih, cuma memang sering ikut makan di mes kakak,” ungkapnya.
Setelah beberapa bulan kuliah, Ahmad baru tahu akreditasi kampusnya masih C. Sebenarnya ia tak terlalu kaget mengingat jumlah mahasiswa yang sangat sedikit dan bangunan kampus yang tak terlalu luas.
Di angkatannya saja, seingat dia, hanya ada 16 mahasiswa. Namun, soal nama besar kampus, ia tak terlalu mempermasalahkannya. Toh, dalam kepalanya dulu, “yang penting kuliah dengan benar, karier cemerlang bakal menyusul kemudian”.
Baca halaman selanjutnya…
Ijazah cuma seperti keset di hadapan HRD. Dipandang rendah meski IPK cumlaude.
Sadar kalau ijazahnya “cuma seperti keset”, dipandang rendah di dunia kerja
Lika-liku perkuliahan Ahmad alami. Termasuk harus melewati pembelajaran daring dan “KKN aneh” karena Covid-19. Namun, ia tetap bisa lulus tepat waktu pada 2022 lalu.
Tak sekadar lulus, ada hal lain yang bisa dia banggakan. Yakni, Ahmad lulus dengan predikat cumlaude, dengan IPK mumpuni 3,75. Kelegaan dan optimismenya bersambut.
“Dari anak minder yang nggak bisa kuliah, akhirnya bisa lulus sarjana juga,” kata Ahmad.
Sayangnya, optimismenya tak berbanding lurus dengan realitas di dunia kerja. Setelah lulus, ia memasukan banyak lamaran pekerjaan. Kebanyakan adalah perusahaan-perusahaan di Surabaya. Tapi ia juga mencoba peruntungan melamar kerja buat perusahaan di Malang dan Jogja.
“Aku percaya kalau lagi apes. Setelah Covid itu banyak orang cari kerja, makanya saingannya banyak,” ujarnya.
Berbulan-bulan lamaran kerjanya tak ada hasil. Jangankan panggilan interview, balasan atas emailnya saja nggak ada. Sampai di situasi itu, ia sempat bertanya-tanya, “apa yang salah?”.
Akhirnya, sekitar awal Februari 2023 lalu, Ahmad menemukan jawaban. Ada satu perusahaan di Surabaya yang memanggilnya buat interview kerja. Dia pun senang bukan main.
Sayangnya, interview itu seolah jadi tempatnya “diroasting”. Dia ingat betul, HRD berkali-kali menyinggung kampusnya yang akreditasi C dengan nada menghina.
“Kayak, ‘di sini itu prioritas kampus top sih’, ‘mau nilai bagus tapi kampus kurang prestisius ya bakal kalah saing juga’, dengan nada yang nggak enak,” kenangnya, getir.
“Maksudku kalau cuma mau menghina mending nggak usah ada interview.”
Sejak Agustus 2023 lalu, Ahmad mencari peruntungannya di Jogja. Sejak saat itu hingga sekarang, ia masih kerap pindah-pindah tempat kerja. Masih mencari yang sesuai.
Ia juga mengaku tak menyesali keputusannya lanjut kuliah. Hanya saja, masih ada sakit hati dihina hanya gara-gara kuliah di kampus akreditasi C.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News