Kegagalan memang bukan akhir dari dunia, tapi entah mengapa sulit bagi Nirmala* (29) menerima bahwa dirinya gagal lulus di kampus terbaik seperti Universitas Gadjah Mada (UGM). Mimpinya sirna. Segala rencananya jadi berantakan. Namun, ia memilih bertahan.
***
Tak bisa dipungkiri, Universitas Gadjah Mada (UGM) merupakan kampus favorit yang diimpikan banyak orang. Walaupun secara rangking yang dirilis oleh Times Higher Education (THE) World University 2024, ia menempati posisi kedua di bawah Universitas Indonesia.
Oleh karena itu, kuliah di kampus terbaik seperti UGM jadi hal prestisius bagi Nirmala. Ia berpikir kariernya bakal lebih cemerlang dengan melanjutkan S2 di UGM. Perempuan asal Pontianak itu juga berharap bisa membawa gelar magister dengan penuh kebanggan saat pulang ke kampung halaman.
Ia ingin membawa pengalaman dan ilmu baru untuk dibagikan ke sekitar. Namun, itu impian Nirmala dulu. Ia tak menyangka, kuliah di UGM bakal membuat hidupnya menderita.
Harapan usai lulus di UGM, kampus terbaik
Setelah lulus kuliah S1 di salah satu perguruan tinggi vokasi di Pontianak, Nirmala memilih lanjut kuliah S2 di UGM dengan harapan bisa mudah mencari pekerjaan. Dia mengaku, CV-nya belum cukup untuk meloloskan dirinya bekerja di sebuah perusahaan yang mentereng jika mengandalkan gelar sarjana semata.
Meski Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) telah resmi menghapus batasan usia dalam syarat lowongan kerja, bukan berarti nama kampus tak memengaruhi perekrutan. Nirmala jadi ketar-ketir sendiri sebagai fresh graduate tapi justru terpicu untuk masuk UGM.
“Proses masuknya pun susah-susah gampang, saya harus mencocokkan jadwal keberangkatan antara tes dan pendaftaran di UGM,” kata Nirmala kepada Mojok, Senin (22/9/2025).
Ia mengaku sempat tidak percaya diri dengan berkas yang ia kumpulkan saat tes di tahap pertama. Terutama soal nilai TOEFL dan PAPs-nya. Nirmala khawatir nilainya terlalu kecil dibandingkan dengan sarjana dari kampus lain yang lebih terkenal.
“Karena saya hanya lulusan S1 dari kampus yang kurang terkenal di daerah, sementara saingannya banyak yang dari universitas besar,” kata Nirmala.
“Tapi ternyata hasilnya cukup baik, dan saya diterima. Itu rasanya seperti pencapaian besar dalam hidup saya, semacam validasi bahwa saya mampu,” lanjutnya.
Setelah menjalani beberapa tes, barulah Nirmala masuk kelas matrikulasi selama sekitar 4 bulan atau satu semester. Usai berhasil menjalani program pembekalan tersebut, Nirmala pun dinyatakan lolos sebagai mahasiswa reguler.
Menderita karena tesis
Mulanya, Nirmala tak menemukan kendala yang berarti di awal perkuliahan. Sampai ia merasa kesulitan di semester pertengahan terutama saat mengerjakan tesis.
“Dosen pembimbing saya sangat baik dan sabar, tapi komunikasi kami kurang nyambung. Saya kesulitan memahami apa yang beliau maksud. Setiap kali revisi ditolak, rasanya membekas,” kata Nirmala.
Saat itu, Nirmala baru sadar bahwa penolakan sekecil apapun itu berdampak luar biasa terhadap perubahan dirinya. Ia tidak hanya merasa gagal dalam mengerjakan tesis pun tidak bisa lulus sebagai mahasiswa UGM, tapi juga merasa gagal sebagai manusia.
Baca Halaman Selanjutnya
Merasa tertinggal dan kehilangan kepercayaan diri












