Seorang mahasiswa Medan bercerita soal kesannya yang merasa “tertipu” dengan iming-iming biaya hidup murah di Yogyakarta. Bahkan ada yang sampai judi online sampai gadaikan laptop demi bisa nongkrong di coffee shop.
***
Pertemuan saya dengan Fahri (27) terjadi tanpa sengaja di Kafe Basabasi Nologaten, Selasa (30/1/2024).
Awalnya saya hanya mengikuti ajakan teman lama saya asal Aceh untuk ngopi sambil ngobrol-ngobrol santai, perihal kenapa saya tiba-tiba ada di Yogayakarta.
Namun, tak lama kemudian, menyusul lah Fahri, mahasiswa Medan, yang tidak lain adalah teman satu kelas teman saya itu di Pascasarjana Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Kalijaga.
Mengira Jogja serba murah dari medsos dan bisik-bisik orang lain
Sejak lulus S1 dari UIN Sumatera Utara, Fahri awalnya ingin lanjut S2 di Medan sendiri. Atau paling tidak ya di kampus yang masih di Sumatera Utara sendiri.
Namun, seorang dosen kenalannya yang kebetulan mengajar di Yogyakarta “membujuknya” untuk hijrah ke Yogyakarta.
“Kalau ke Jogja, kamu pasti lebih berkembang. Secara pemikiran dan wawasan pasti juga akan lebih luas ketimbang di sana-sana (Medan/Sumut) aja. Begitu kata dosenku itu,” aku Fahri.
Fahri yang pada dasarnya memang suka dengan ilmu pengetahuan pun akhirnya memantapkan niat untuk mendaftar S2 di Yogyakarta.
Ia lantas mencari-cari informasi perihal Yogyakarta. Baik dari medsos maupun dari orang-orang yang ia kenal.
“Banyak yang ngomong di Jogja itu serba murah. Jadi untuk ukuran mahasiswa dengan ekonomi pas-pasan kayak aku bisa lah bertahan hidup di sini. Jadi makin mantap lah aku,” ujarnya.
Setelah memastikan beberapa hal, termsuk soal biaya hidup tersebut, ia pun dengan semangat berangkat ke Jogja kira-kira pada September 2022 lalu.
Ternyata tak jauh beda dengan di Medan
Belum juga genap seminggu, Fahri sudah mulai merasa sangsi dengan harga-harga yang katanya murah di Yogyakarta.
Murah di benak mahasiswa Medan itu adalah misalnya uang Rp10 ribu sudah bisa makan dengan menu enak dan kenyang. Atau paling tidak standarnya lebih rendah sedikit dibanding dengan di Medan.
“Rp10 ribu dapat nasi telur kalau di Burjo/Warmindo. Sama lah dengan di Medan,” katanya.
“Kos juga kukira Rp400 atau Rp300an ribu sudah dapat. Ternyata susah kali,” lanjutnya.
Ia sendiri saat ini ngekos di daerah Seturan yang per bulannya dikenai Rp650 ribu.
“Itu includenya lemari, kasur, sama WiFi. Kamar mandi luar,” ungkap Fahri.
Fahri sampai terkejut saya mendengar pengakuan saya bahwa kuang segitu bisa dapat kos mewah di Surabaya. Karena di Surabaya, salah satunya di kos saya, uang Rp350 ribu sudah dapat kos yang sudah sangat nyaman. Include lemari, kasur, bantal. Belum fasilitas yang lain seperti dapur dan lain-lain. Kalau mau yang ada WiFinya, ya di harga Rp400 ribu pun sudah dapat.
Lagi-lagi, menurut Fahri, harga kos yang ia tempati itu tak ada bedanya dengan kos-kos di Medan.
Nasi kucingan angkringan yang tak sesuai ekspektasi mahasiswa Medan
Jauh-jauh hari sebelum ke Yogyakarta, Fahri sempat tak percaya kalau di Yogyakarta ada nasi yang dijual dengan harga Rp2.500 per bungkus, yakni nasi kucingan.
Saat melihat foto-foto yang bertebaran di media sosial, ia berasumsi bahwa mungkin saja makan dua bungkus nasi kucing sudah cukup membuatnya kenyang.
“Aku nggak ngira kalau porsinya ternyata semini itu,” ujar mahasiswa Medan itu sambil tertawa.
“Ya bener murah. Tapi kalau nggak kenyang ya sama saja,” sambungnya.
Ia lantas mengasumsikan, kira-kira butuh lima bungkus nasi kucingan untuk membuatnya kenyang. Itu artinya, ia harus mengeluarkan uang Rp12.500.
“Nah, kan, Rp12 ribu saja masih cuma dapat nasi kucingan. Maksudnya nggak dapat yang ayam kek misalnya,” lanjutnya.
“Aku nggak tahu apakah di daerah Jogja lain ada yang murah. Karena hidupku selama ini ya cuma di sini-sini aja (daerah dekat kampus UIN Sunan Kalijaga). Jadi penilaianku soal harga khususnya berpatok di sini aja,” tambahnya.
Mahasiswa Medan Ikut dosen penelitian biar dapat uang jajan
Fahri mengaku kalau selama menjalani masa kuliah S2 ini ia masih mengandalkan kiriman orang tua. Baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk bayar UKT tiap semester.
Namun, dengan menimbang kehidupan di Yogyakarta yang menurutnya ternyata tak semurah yang ia kira, maka ia pun berupaya untuk meringankan beban kiriman dari orang tuanya itu. Di antaranya dengan ikut penelitian dan nulis jurnal bersama beberapa dosen.
“Ada dosen Medan, itu yang ngajak-ngajak aku penelitian. Beliau juga yang ngasih link-link ke dosen-dosen lain,” ungkapnya.
“Mungkin nggak besar (upahnya). Tapi seenggaknya bisa ngurangi intensitas minta kiriman ke orang tua lah,” beber Fahri.
Selain itu, Fahri juga mencoba membatasi diri dalam hal mengikuti tren di kalangan mahasiswa-mahasiswa di Yogyakarta. Misalnya menghindari sering-sering nongkrong di coffee shop-coffe shop.
“Budget ngopi jangan sampai di atas Rp10 ribu lah. Itulah kenapa aku milihnya di Basabasi atau ada juga aku langganan kafe merakyat di Seturan. Aku cukup pesan kopi hitam, paling Rp5 ribuan,” ujarnya.
Fahri juga mengaku ingin segera menyelesaikan tesisnya agar bisa segera lulus dan kembali ke Medan. Berlama-lama di Yogyakarta pun baginya ternyata tak terlalu opsional. Sebab, jika secara harga ternyata sama, maka menurutnya lebih baik jika hidup di kampung halaman sendiri.
“Apalagi santer omongan-omongan kalau UMR sini rendah,” tutupnya.
Baca selanjutnya…
Judi online sampai gadaikan laptop demi nongkrong di coffee shop