Tak dimungkiri, Hubungan Internasional (HI) adalah jurusan elite. Jurusan ini dianggap menawarkan prospek kerja luas, yang sebagian besar berhubungan dengan pemerintahan. Sayangnya, sesal justru dialami Mubarok (25), sarjana HI Universitas Brawijaya (UB) Malang yang kesusahan cari kerja setelah lulus kuliah. Sekalinya dapat pekerjaan, ia merasa sakit hati karena selalu dibanding-bandingkan dengan lulusan SMK yang punya gaji lebih besar.
Mubarok, mahasiswa asal Solo, Jawa Tengah, masuk ke HI UB Malang pada 2018 lalu. Saat itu, di kalangan siswa SMA jurusan IPS seperti dia, HI adalah jurusan yang diidam-idamkan.
“Kalau di sekolahku, lolos HI itu sudah ibarat lolos kedokteran bagi anak-anak IPA,” jelasnya, saat Mojok hubungi, Kamis (11/4/2024). Bagaimana tidak, selama masa menentukan jurusan apa yang akan ia ambil ketika kuliah, guru-gurunya selalu “meng-endorse” HI. Mereka menyebut, bagi siswa-siswa IPS, HI adalah jurusan dengan prospek kerja paling jelas, masa depan dijamin cerah.
“HI jadi tiga prodi paling direkomendasikan, selain Psikologi sama Hukum kalau di sekolahku. Kata guruku, minimal kita bisa kerja di pemerintahan kalau lulus kuliah,” jelasnya, menyambung. Pada akhirnya, Mubarok pun melakukan berbagai upaya agar lolos PTN di jurusan HI.
Lolos beasiswa swasta, tapi tetap memilih HI UB Malang yang UKT-nya cukup tinggi
Setelah gagal pada seleksi masuk perguruan tinggi via nilai rapot alias SNBP (dulu SNMPTN), Mubarok menguji peruntungannya di SNBT (SBMPTN). Pada pilihan pertama, ia mantap memilih HI UB Malang. Sementara pilihan kedua dan ketiga, ia mengklik dua jurusan di UNS Surakarta, yakni HI dan Pendidikan Bahasa Inggris.
Pada masa-masa menunggu pengumuman SNBT, pihak sekolah memberi tahu Mubarok kalau dia berhak atas beasiswa dari salah satu PTS di Jogja. Kebetulan, kampus tersebut memberinya beasiswa gratis uang kuliah selama 8 semester di jurusan Sastra Inggris.
“Seingatku dulu aku terpilih karena nilai ujian sekolah dan UN Bahasa Inggrisku tertinggi di sekolah,” jelasnya.
Kendati mendapatkan penawaran yang menarik, Mubarok justru mengalami dilema. Jarak antara batas waktu daftar ulang beasiswa di PTS tersebut dengan pengumuman SNBT hanya berjarak dua hari. Dengan demikian, ia seperti melakukan perjudian.
“Kalau aku daftar ulang di PTS itu, mau enggak mau aku kudu melepas PTN seandainya keterima SBMPTN. Tapi kalau aku milih nunggu hasil SBMPTN, aku ngelepas kesempatan kuliah dengan beasiswa, dan SBMPTN pun belum tentu keterima.”
Dengan pertimbangan yang cukup matang, Mubarok memutuskan untuk tak mengambil beasiswa tersebut. Ia memilih menunggu pengumuman SBMPTN saja, yang dengan keyakinan penuh, ia merasa bakal lolos di salah satu pilihannya. Benar saja, Dewi Fortuna melihat pengorbanannya: ia lolos di pilihan pertama, yakni UB HI Malang.
Mubarok ingat, saat diterima di HI UB ia mendapatkan UKT golongan 3, yang nominalnya hampir Rp4 juta. Ia tak mempermasalahkan besaran uang kuliah tersebut, selama bisa masuk ke jurusan yang benar-benar jadi impian.
Baca halaman selanjutnya…
Ada penyesalan kuliah HI ternyata tak sesuai ekspektasi
Mubarok, pada awalnya, memang menikmati masa-masa perkuliahannya. Namun, lama kelamaan, ia sulit mengikuti materi. Persoalannya, ia memang bukan orang yang terlalu menyukai politik, sementara banyak mata kuliah HI UB Malang tak lepas dari bahasan politik.
“Jujur aku nol besar soal politik. Ya aku sadar HI itu jurusan yang politik banget, tapi mikirku enggak bakal seribet ini,” jelas mahasiswa asal Solo ini.
Meski terseok-seok, dengan beberapa kali mengulang mata kuliah, akhirnya Mubarok bisa lulus sembilan semester. Ia sah menjadi sarjana HI UB Malang pada 2022 lalu.
“Ya sebenarnya lulus-lulusan aja, ngerjain segala sesuatu serba setengah hati. Skripsi pun sebenarnya enggak bagus-bagus amat. Masih untuk lulus dengan IPK 3,2.”
Gaji sering dibanding-bandingkan dengan lulusan SMK
Setelah lulus kuliah dari HI UB Malang, Mubarok cukup kesulitan untuk cari kerja. Terlebih, dia pesimis bakal dapat pekerjaan yang linier dengan jurusannya karena kesempatan yang kecil dan persaingan yang ketat. Makanya, banyak lowongan pekerjaan ia lamar tanpa pandang bulu.
“Yang penting dapat kerja. Apalagi cari kerja memang susah, soalnya habis pandemi,” ujarnya.
Sudah melamar kerja sana-sini, tak ada satu pun panggilan. Tercatat, hampir setahun Mubarok menganggur. Untungnya, saat sehari-harinya ia nyambi mengajar les privat Bahasa Inggris, jadi masih ada sedikit penghasilan.
Tercatat pada pertengahan 2023, Mubarok baru dapat pekerjaan tetap. Ia diterima kerja sebagai customer service (CS) salah satu perusahaan marketplace yang berkantor di Solo. Jobdesk Mubarok adalah melayani pelanggan via chat.
“Itu pun masih jadi omongan. Orang tua, keluarga besar, masih aja yang banding-bandingin dengan teman-teman lulusan SMK. Katanya gaji mereka lebih besar lah,” kata Mubarok.
“Paling nyakitin sih omongan saudara, katanya ‘percuma kuliah mahal-mahal kalau gaji saja setengahnya buruh pabrik’.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News