Prabu mengamati, bahwa diskriminasi ini sebenarnya tak muncul begitu saja. Sekarang yang terlihat mungkin gara-gara faktor ekonomi, tapi bibit keresahan ini sudah muncul sejak akhir Orde Baru. Mahasiswa dianggap mengganggu ketenteraman, karena alasan seperti demo dan banyak aksi mahasiswa besar berlangsung di DIY. Bibit konflik itu, tumbuh perlahan makin subur semenjak mahasiswa mulai memiliki properti di Jogja setelah lulus.
“Tren negatif ini makin terpelihara ketika sering terjadi konflik rasial yang melibatkan mahasiswa. Padahal jika mau jujur, jumlah kasus rusuh dan konflik akibat warlok jauh lebih banyak.”
Siap-siap mengubur mimpi
Ardian mengaku bahwa dia tak yakin bisa hidup di Jogja melihat biaya hidup yang ada tak sebanding dengan gaji. Meski begitu, dia masih memelihara angan-angan untuk hidup tua di Jogja. Harga properti mahal yang sudah dia ketahui selama masih kuliah di Jogja tak mengurungkan impian indahnya.
Untuk sekarang, jelas, dia tak yakin.
Tapi mungkin Ardian juga harus melihat fakta bahwa makin hari, warga lokal mulai tidak ramah pada pendatang, dan itu tak berarti mereka salah. Sebab, faktor begitu banyak, dan ini hanya reaksi yang muncul setelah kelewat banyak hal terjadi di Jogja antara warga dengan pendatang. Bahkan mereka yang hidup dari mahasiswa pun punya ketakutan yang sama.
“Saya sering menemui ketakutan ini lebih seperti mitos daripada didasarkan realitas. Tapi apa lacur, stigma sudah tersemat erat. Mahasiswa akan tetap dipandang penjahat.” Ungkap Prabu.
Reporter: Rizky Prasetya
Editor: Hammam Izzudin
BACA JUGA Ironi dan Fakta Kota Pelajar: Ketika Remaja Asli Jogja Justru Tidak Bisa Menikmati Bangku Kuliah
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.