Diam-diam Daftar SNBP UNAIR karena Tak Direstui Kuliah, Langsung Dicap Anak Durhaka oleh Ibu Sendiri

Diam-diam Daftar SNBP UNAIR MOJOK.CO

Ilustrasi - Dicap durhaka setelah daftar SNBP UNAIR (Ega Fansuri/Mojok.co)

Bisa kuliah di kampus impian tentu menjadi angan-angan bagi sebagian banyak orang. Sehingga, mereka benar-benar sungguh-sungguh untuk menebusnya, sangat antusias untuk daftar SNBP.

Sayangnya, kadang kala angan-angan tinggi tersebut tak selaras dengan kondisi perekonomian orang tua. Alhasil, dengan berat hati mereka tak bisa lanjut menjadi mahasiswa setelah lulus SMA.

Mojok malah mendengar cerita yang cukup greget. Yakni tentang seseorang yang diam-diam ikut SNBP UNAIR, tapi ketika ketahuan oleh orang tuanya, malah berujung mendapat cap “anak durhaka”.

***

Cerita ngenes tersebut datang dari Maula* (24), bukan nama sebenarnya, pemuda asal Bojonegoro, Jawa Timur.

Maula berasal dari keluarga desa yang sangat sederhana. Bapaknya petani, sementara ibunya jualan nasi uduk keliling tiap pagi.

Meski berasal dari keluarga pas-pasan, tapi Maula memang memiliki angan-angan bisa lanjut kuliah. Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya adalah yang ia incar.

“Aku pengin tembus Fakultas Hukum,” ungkapnya saat curhat kepada Mojok lewat WhatsApp (WA).

Orang tua melarang ikut SNBP

Jelang pendaftaran SNBP 2018 silam, Maula sempat mencoba memberi kode pada orang tuanya.

Btw, waktu itu namanya belum SNBP, tapi masih SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi). Agar sesuai konteks hari ini, selanjutnya biar lebih mudah kita pakai sebutan SNBP saja.

Suatu malam di ruang tengah, saat ibu dan bapaknya tengah menikmati singkong rebus sembari nonton di TV bututnya, Maula mulai sedikit-sedikit memancing obrolan seputar perkuliahan.

“Aku cerita kalau temen-temenku rata-rata mau kuliah, Yang ekonominya pas-pasan juga berniat kuliah,” ungkap Maula yang kemudian juga mencoba menjelaskan seputar SNBP sebagai salah satu jalur masuk perguruan tinggi.

“Bapakmu nggak sanggup kalau harus kuliah, Le. Duit dari mana? Begitu jawaban ibu,” sambung Maula menirukan jawaban ibunya waktu itu.

Meskipun Maula sudah mencoba menjelaskan perihal kemungkinan untuk mencari beasiswa Bidikmisi, tapi orang tua Maula entah kenapa masih berharap agar Maula mengubur mimpinya untuk ikut SNBP.

Maula terdiam. Satu sisi ia sadar diri tak bisa memaksakan kehendak. Namun, sisi lain tekadnya terlampau kuat untuk bisa kuliah.

Diam-diam ikut SNBP hingga dicap durhaka

“Aku tetap coba-coba dulu ikut daftar SNBP. Ternyata lolos,” ungkap Maula.

Meskipun tak mendapat lampu hijau untuk ikut SNBP, Maula pada akhirnya tepat nekat. Ia tetap daftar dengan pilihan utama di UNAIR.

Awalnya, Maula masih diam-diam. Ia berniat mencoba bicara pelan-pelan lagi pada orang tuanya. Termasuk soal bahwa ia nanti akan mencari-cari beasiswa. Kalau perlu kuliah sambil kerja biar tak membebani orang tua.

Namun, belum juga bilang sendiri, ternyata orang tua Maula sudah tahu, entah dari siapa.

Ilustrasi sedih tak boleh daftar SNBP (Jesus Rodriguez/Unsp;ash)

“Batalkan saja. Jangan tega sama orang tua. Jangan durhaka. Kita ini bukan orang kaya. Adikmu juga masih butuh biaya sekolah,” begitu kira-kira yang ibu Maula lontarkan. Maula lagi-lagi hanya terdiam.

“Aku malah mencoba memantapkan hati, ya sudah nggak kuliah nggak apa-apa. Nggak semua cita-cita harus tercapai,” kata Maula.

Bapak diam-diam jual sawah

“Kamu bener-bener pengin kuliah?,” tanya bapak Maula sehari setelah Maula mendapat cap durhaka dari ibunya sendiri.

“Lah bayarnya berapa? Mulai kapan?,” tanya bapaknya lagi.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya Maula jawab dengan lesu. Sebab, dalam benak Maula, pertanyaan dan jawabannya pun tak akan mengubah apapun: ia tetap tak bisa kuliah meski sudah lolos SNBP UNAIR.

Yang membuat Maula terkejut adalah, ternyata sejak ia mancing-macing soal kuliah, bapaknya sudah langsung menjual sepetak sawahnya. Sepetak dari hanya dua petak yang ia miliki. Tentu dengan berdebat hebat dengan ibu Maula terlebih dulu.

Namun, dalam benak bapak Maula, sejak kecil sudah banyak hal yang Maula empet (tahan) lantaran keterbatasan ekonomi. Bapak Maula merasa bersalah tak bisa memberi kehidupan yang layak.

Oleh karena itu, bapak Maula mempertimbangkan untuk menuruti keinginan Maula untuk lanjut kuliah.

“Kalau bisa dapat beasiswa ya syukur, tapi kalau nggak ya nanti biayanya kita cari-cari. Itu kata bapak waktu itu,” terang Maula.

Tak minta kiriman malah mengirimi

Singkat cerita, uang hasil penjualan sawah itu Maula gunakan untuk membayar UKT pertama sekaligus untuk uang saku di semester pertama masa perkuliahannya.

Memasuki semester kedua,  pengajuan beasiswa Bidikmisi Maula tembus. Alhasil, ia pun sudah tak meminta kiriman dari rumah lagi.

“Jadi bapak tinggal nanggung adik yang baru kelas 1 SMA,” ucap Maula.

Seiring berjalannya waktu, Maula lalu mulai nyambi kerja sebagai driver ojek online. Biasanya ia akan narik sore hingga malam.

“Kalau weekend, mislanya nggak pulang ke Bojonegoro ya bisa seharian online (narik),” akunya.

“Kalau tugas kuliah, sebisa mungkin dikerjakan tengah malam,” lanjut Maula.

Dari uang Bidikmisi sekaligus penghasilan dari ngojol itulah Maula bertahan hidup di Surabaya.

Bahkan, kadang kala tiap ia pulang ke Bojonegoro, ia akan menyisihkan beberapa untuk tambahan uang saku sang adik.

Maula sendiri saat ini masih proses pengerjaan skripsi. Selangkah lagi untuk menjadi sarjana setelah serangkaian drama kehidupan sebelum dan selama masa-masa kuliah di UNAIR.

“Sekarang agak keteteran karena beasiswa sudah habis sampai semester 4. Jadi kalau lebih dari semester 4, bayar sendiri. Mangkanya ini sedang berjuang lulus biar nggak bayar lagi,” tandasnya.

Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA: Rela Libur Kerja Demi Antar Ponakan Wisuda di UGM, Jadi Obat Kecewa karena Anak Sendiri Tak Mau Kuliah

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version