Dua bulan, itulah waktu yang dibutuhkan Restu Bumi (25) untuk menyelesaikan skripsinya. Mahasiswi Sastra Inggris UNY ini jadi orang pertama di angkatan 2017 yang lulus di prodinya. Saya tahu pertanyaan kalian apa. Yang pertama, kok bisa. Yang kedua, seperti apa cara dia menyelesaikan skripsi.
Saya pun menanyakan hal yang sama, kok bisa, ada mahasiswa bisa secepat itu menyelesaikan skripsi, terlebih di salah satu jurusan paling susah di UNY.
Saya akhirnya punya kesempatan untuk berbincang tentang hal ini dengan Restu Bumi (09/05/2024), tentang bagaimana dia bisa menyelesaikan skripsinya begitu cepat, dan tipsnya seperti apa. Yang saya kaget adalah, dia tidak punya tips khusus. Dia juga tidak menghabiskan 2 bulan tersebut full mengerjakan skripsi, tapi masih bisa healing tipis-tipis.
Tapi sebelum bicara itu, kita harus tahu apa alasan Restu memilih untuk mengerjakan skripsinya secepat itu.
Pandemi, seperti yang kita tahu, menghancurkan tatanan dunia yang ada. Perusahaan mulai sadar bahwa kerja tak harus melulu on site, bisnis yang established bisa hancur, dan kehancuran ekonomi terkadang hanya butuh satu jentikan jari. Restu, mahasiswi Sastra Inggris UNY ini pun tak selamat dari pandemi.
Restu harus menghadapi kenyataan bahwa keluarganya terkena efek pandemi. Dia harus menghadapi kenyataan terpahit yang mungkin pernah dia dengar: selesai kuliah pada semester 7, atau putus kuliah. Dua pilihan tersebut tak ada yang menyenangkan. Kelar kuliah di semester 7 memang lebih mungkin, tapi jelas tidak ada yang mudah dari hal itu.
Sedangkan putus kuliah, tentu saja bukan opsi yang siapa pun mau ambil.
Mau tak mau, Restu harus memperkuat diri dan motivasi untuk menyelesaikan skripsinya pada semester 7. Berat, tapi untuk orang yang punya alasan kuat, semua akan lancar, atau piye carane digawe lancar.
Cuti kuliah Sastra Inggris UNY? Nga dulu
Restu bisa saja cuti kuliah lalu kerja. Tapi bagi mahasiswi Sastra Inggris UNY ini, itu bukan pilihan yang masuk akal. baginya, dia sudah ada di ujung, nanggung kalau mau berhenti. Toh, finis sudah di depan mata.
“Aku ketakutan kalau temenku lulus duluan, lalu aku tertinggal sendirian, aku (yg punya mental lembek) pasti bakal nyerah sama kuliah. Jadi akhirnya aku memilih pilihan pertama, yaitu (mengusahakan) untuk lulus di semester 7. Means, aku harus ngejar skripsi as hard as I could.”
Pilihan tersebut tentu tak mudah. Awalnya, Restu merasa ini masih masuk akal dikejar. Selama semester 6, dia menghabiskan banyak waktunya untuk penelitian yang dilakukan bersama dosen. Dosennya juga bilang kalau penelitian ini bisa jadi skripsinya.
Nahasnya, ternyata penelitiannya tak bisa jadi skripsi. Tapi tentu saja, itu bukan penghambat, sebab cerita akan berhenti di sini jika hal tersebut menghancurkan resiliensi mahasiswi Sastra Inggris UNY ini.
Yang harusnya jadi bencana untuk Restu, justru jadi hari di mana semesta mendukungnya untuk melewati jalur takdir yang lain. Dosen pembimbingnya memberi alternatif yang bisa Restu jadikan sebagai bahan skripsinya. Mulai dari bahan itulah, Restu bekerja keras.
Semesta mendukung
Saya sempat bilang bahwa semesta mendukung Restu dalam skripsian. Saya tidak sedang bermanis kata, sebab Restu, mahasiswi Sastra Inggris UNY ini bilang sendiri.
Kos yang ditinggalkan banyak penghuninya membantu Restu untuk fokus skripsian. Tak ada gangguan, tak ada suara penghuni kos yang menyebalkan, Restu menciptakan api-api di jemarinya yang beradu dengan papan ketik.
Dosen pembimbingnya yang “mematahkan hatinya”, begitu mendukung dan memberi Restu hal-hal yang dia butuhkan untuk segera kelar. Restu bahkan bilang, bahwa dosen pembimbingnya tokoh yang berperan vital dalam kelulusannya.
“Kalau kuingat-ingat, Dosbingku suka banget masakin mahasiswa yang dateng skripsian. Jadi mungkin itu salah satu metode beliau ya biar mahasiswanya rajin bimbingan hahaha.”
Tuhan selalu memberikan jalan yang tak terduga untuk hambanya, dan Sang Pencipta mengukir satu jalan untuk Restu.
Baca halaman selanjutnya
Tidak ada cara khusus, kerjain aja