Magang pada dasarnya merupakan program rekomendasi kampus untuk menunjang nilai dan keterampilan mahasiswa. Namun, mahasiswa Sastra Inggris di salah satu kampus Solo justru dipersulit dosennya sendiri saat sedang hendak mengikuti magang. Padahal di satu sisi, dosen tersebut juga mendorong agar si mahasiswa mengikuti program magang.
***
Salah satu mahasiswa yang merasakan dipersulit dosen saat hendak magang adalahi Andin* (21), seorang mahasiswa semester tua di salah satu kampus di Solo.
Dari awal masa perkuliahannya di semester enam, Andin sudah menyadari bahwa pihak dosen di program studinya mempunyai skema penilaian magang yang cukup sulit.
Misalnya, dari yang Andin tuturkan, dalam hal penempatan Andin harus magang di tempat yang standarnya tinggi menurut kampus. Padahal, ketika Andin atau mahasiswa lain mencoba mendaftar magang di tempat yang sesuai dengan standar kampus itu, belum tentu juga bakal diterima.
Selain itu, ada perbedaan persepsi juga. Kadang menurut kampus standar perusahaannya tinggi, tapi menurut mahasiswa tidak. Begitu juga sebaliknya: menurut mahasiswa standarnya sudah tinggi, tapi menurut kampus tidak.
“Karena satu dan lain hal, pilihan tempat magang saya terbatas di area Solo Raya yang dekat rumah. Konsekuensinya memang harus cari tempat magang yang ‘bergengsi’ (sesuai standar kampus) untuk mendongkrak nilai. Agak sulit memang,” ungkapnya saat ngobrol dengan Mojok, Sabtu (19/10/2024).
Andin memang beruntung mendapat tempat magang “bergengsi” seperti yang kampusnya minta. Yakni di salah satu anak perusahaan dari sebuah perusahaan internasional yang cukup terkenal di Solo.Namun, keribetan lain tetap harus mahasiswa kampus Solo itu hadapi.
Magang harus linear dengan jurusan bikin pusing
Karena magang di perusahaan besar, Andin sempat merasa sangat yakin bahwa magangnya itu akan disambut baik oleh pihak prodinya di kampus Solo. Terlebih, program magang di perusahaan tersebut merupakan program berbayar dan memiliki prospek karier menjanjikan.
Sayangnya, keyakinan Andin pupus. Saat menyampaikan rencana magangnya, kaprodi sekaligus dosen pembimbing magangnya justru memberi reaksi tidak mengenakkan.
Pasalnya, Andin ditempatkan di divisi yang, menurut si dosen, tidak linear dengan mata kuliahnya di prodi Sastra Inggris.
“Beliau (dosen) bilang pekerjaan ini terlalu administratif dan pada akhirnya tidak bisa dijadikan tempat untuk mengaplikasikan ilmu yang sudah dipelajari (di Sastra Inggris),” tuturnya.
Cara pandang dosen yang tidak kontekstual
Padahal, sebagai mahasiswa yang belajar bahasa asing di program studinya, Andin merasa perusahaan yang dia tuju sudah cukup ideal untuk dijadikan sarana pengaplikasian ilmu.
Sebagai perusahaan yang dikelola korporasi multinasional, Andin mengaku lingkungan kerjanya membuatnya semakin familiar dengan percakapan bahasa asing, baik dari rekan kerja dalam negeri maupun pendatang.
Intensitas percakapan bahasa asing yang Andin lakukan selama magang pun jauh lebih banyak ketimbang tiga tahun yang dia habiskan di bangku perkuliahan.
“Meskipun orang asing yang ada di sini cuma General Manager, tapi hampir 85% percakapan yang kita lakukan memang menggunakan bahasa asing,” ujarnya.
Sayangnya, dosennya di kampus Solo tidak melihat magang sebagai praktik yang kontekstual. Melainkan terlalu kaku.
Atas diterimanya Andin di perusahaan tersebut, pihak dosen pun sempat memanggil Andin secara pribadi. Pihak dosen itu menyebut ada kemungkinan pemindahan divisi bagi Andin. Akan tetapi, langsung Andin tolak karena beberapa pertimbangan terkait alur birokrasi perusahaan.
Karena Andin keukeuh dengan pilihan divisinya, pihak dosen pun kemudian mempersilakan. Tapi memang dengan setengah hati. Hanya saja, kekhawatiran lain menyergap Andin terkait nilai akhirnya nanti.
Nilai kampus vs portofilio perusahaan besar
Kekhawatiran Andin bukan tanpa alasan. Pasalnya, kakak tingkatnya dari prodi yang sama juga pernah mengalami masalah serupa. Kakak tingkatnya itu bahkan sampai harus mengulang magang gara-gara divisi yang menurut dosennya tidak linear dengan prodi Sastra Inggris.
Baru-baru ini Andin sebenarnya sudah menyelesaikan magang selama tiga bulan di perusahaan tersebut. Dia bahkan menerima tawaran perpanjangan kontrak sebagai karyawan kontrak.
Lantaran khawatir dengan penilaian akhir dari dosen, hingga saat berbincang dengan Mojok, dia masih belum menyerahkan laporan hasil magangnya.
Andin menyayangkan betul penilaian dan pertimbangan prodi yang tidak lagi realistis dengan kondisi dunia kerja sekarang. Sebab, bagi Andin, meskipun magangnya sekarang tidak terlalu linear dengan prodinya, Andin merasa bahwa pengalaman magangnya benar-benar membuka matanya terhadap realita yang menanti tiap mahasiswa kelak setelah lulus.
“Jujur, saya memang masih khawatir soal nilai. Tapi ya sudah lah, misalnya dapat nilai jelek ya nggak masalah juga. Toh saya akhirnya punya portofolio kerja bagus di perusahaan besar,” ungkapnya.
Disuruh pindah gara-gara nggak linear
Mojok berbincang juga dengan Rena* (22). Dia adalah lulusan kampus dan program studi yang sama dengan Andin (Sastra Inggris).
Kasus Rena malah lebih menyesakkan ketimbang Andin. Sebab, Rena pernah harus mengulang magangnya hanya karena dianggap tidak linear dengan Sastra Inggris.
Sekitar satu tahun lalu, Rena magang di sebuah lembaga di Solo. Divisi penempatannya mengerjakan pekerjaan administratif alias tidak linear dengan Sastra Inggris.
Setelah satu setengah bulan menjalani magang, oleh pihak dosen Rena justru diminta untuk pindah divisi dan mengulang masa magangnya.
“Ngapain kamu magang di situ kalau nggak mengaplikasikan ilmu dari prodi? Pindah saja,” ujarnya menirukan ucapan sang dosen.
Terpaksa mengulang magang hingga skripsi terganggu
Meski dengan sedikit dongkol, mau tak mau Rena akhirnya mengajukan perpindahan divisi di tempat magangnya sekaligus mengulang masa magang.
“Akhirnya saya pindah di divisi yang melaksanakan projek yang sudah disesuaikan dengan lini keilmuan prodi,” ujarnya.
Rena memang sudah lulus sejak Sabtu, (26/10/2024). Namun, Rena mengaku bahwa proses pengulangan tersebut cukup mengganggu pengerjaan skripsi dan kegiatannya yang lain.
Dia juga tidak habis pikir, bagaimana bisa kampus yang mendorong mahasiswanya untuk magang di saat bersamaan justru mempersulit masa magang si mahasiswa. Padahal, sebenarnya tidak ada masalah serius di tempat magang tersebut.
Mojok masih dalam proses menghubungi beberapa akademisi untuk meminta pendapat perihal apa yang Andin dan Rena alami di atas.
*) Narasumber minta nama disamarkan demi keamanan identitas
Penulis: Dahayu Aida Yasmin
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok di Google News
.