Banyak kebut-kebutan dan pengendara tak pakai helm
Apalagi, Faris juga sesekali mengendarai mobil. Sudah pasti ia menghindari jalan tersebut kecuali sedang benar-benar kepepet.
Saat hari mulai malam dan volume kendaraan berkurang, tantangan lain datang. Menurut Faris, saat malam banyak pengendara kebut-kebutan di sepanjang Jalan Selokan Mataram Condongcatur Sleman. Sudah begitu, penerangan jalan di sana juga termasuk kurang.
“Malam itu beberapa kali aku menyaksikan ada kecelakaan. Pas di tikungan. Mereka ngebut di situ,” katanya.
Apalagi, jalan ini memang dekat dengan permukiman. Menurut Faris, banyak orang yang memperlakukan Jalan Selokan Mataram seperti jalan kampung sehingga banyak yang tidak menggunakan helm. Padahal, volume kendaraannya cukup padat.
“Di jalan itu senggol-senggolan sering terjadi. Saking padatnya,” keluhnya.
Selain Faris, saya juga berbincang dengan Tasya (22), perempuan yang sudah empat tahun tinggal di kos sekitar Jalan Wahid Hasyim. Ia mengaku sudah terbiasa dengan kepadatan di jalan itu.
Namun, dulu hal yang paling membuatnya kesal adalah keberadaan pak ogah yang niatnya mengatur lalu lintas, tapi menurutnya tambah bikin semrawut. Sebelum simpang empat Outlet Biru memiliki APILL seperti sekarang, pak ogah kerap membantu menyeberangkan pengendara yang hendak melintas.
“Sayangnya itu satu perempatan ada tiga bahkan lebih orang yang mengatur. Malah tambah bikin bingung kalau menurutku,” paparnya.
Uji coba rekayasa lalu lintas yang belum sepenuhnya berhasil di Jalan Selokan Mataram
Setelah proses kajian bersama Forum Lalu Lintas Kabupaten Sleman, Dishub Sleman baru memasang APILL di titik simpang empat Outlet Biru pada pertengahan 2023 ini. Namun, sebenarnya, beberapa tahun lalu sempat ada pemasangan APILL tapi hanya bertahan sebentar.
Pada awal 2023 ini, sebelum pemasangan APILL, Jalan Selokan Mataram dari di sisi barat Outlet Biru sempat berlaku satu arah. Namun, pasca pemasangan APILL kembali bisa diakses dari dua arah.
Lampu APILL saat ini cukup membantu mengatur kesemrawutan. Namun, masih banyak warga Jogja yang mengeluhkan kepadatannya. Salah satunya warga Jogja bernama Seno Wibowo (35) yang beranggapan lampu merah di jalan itu juga tidak menjadi solusi. Pada 2015-2017, ia sempat bekerja di Jalan Wahid Hasyim dekat Selokan Mataram sehingga cukup familiar dengan kepadatan di sana.
“Masang lampu merah itu bikin tambah macet. Ini yang sulit,” katanya.
Terlebih di sana jarang ada polisi yang mengatur kepadatan lalu lintas. Sebab, jalannya memang kecil dan terkesan penghubung antar kampung semata. Padahal volumenya kendaraannya terbilang tinggi.
“Intinya, jalan selokan Mataram itu menyebalkan karena sudah kadung semrawut tapi solusi untuk mengatasinya kayak nggak ada selain kesadaran pengendara. kayak ada masalah tapi nggak bisa diapa-apain,” paparnya.
Selokan legendaris yang selamatkan warga Jogja dari romusha
Selokan Mataram atau Kanal Yoshiro sepanjang 30,8 km ini dibangun pada masa pendudukan Jepang. Ini tidak lepas dari strategi dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang tidak ingin warganya menjadi romusha, atau pekerja paksa Jepang. Para pekerja itu akan dikirim Jepang untuk membangun sarana dan prasarana guna mendukung upaya perang melawan Sekutu di Pasifik.
Kepada Jepang Sultan HB IX mengatakan kalau Yogyakarta merupakan daerah kering, ia kemudian meminta Jepang untuk membangun saluran irigasi guna menghubungkan Sungai Progo di sisi barat dan Sungai Opak di sisi timur. Tujuannya agar lahan pertanian di Yogyakarta dapat ditanami padi dan memenuhi kebutuhan pangan warga Yogyakarta dan pasukan Jepang.
Strategi Sultan HB IX itu berhasil, warga Yogyakarta terhindari menjadi romusha, atau pekerja paksa. Nah “derita romusha” ini yang sekarang dirasakan oleh orang-orang seperti pekerja maupun mahasiswa Jogja yang melewati jalan Selokan Mataram. Khususnya derita pada jam-jam tertentu.
Pantauan Mojok, beberapa titik jalan itu juga berlubang. Kondisi yang sebenarnya cukup membahayakan pengendara. Saat malam, penerangan pun begitu remang. Hal ini semakin memperparah kondisi Jalan Selokan Mataram.
Beragam rekayasa lalu lintas seakan masih sulit mengurai kemacetan dan kesemrawutan jalan ini. Barangkali, Jalan Selokan Mataram Sleman ini memang jadi tempat untuk menguji kesabaran warga Jogja dan mahasiswa perantau dari berbagai daerah yang tinggal di sekitarnya. Meski tak seberat derita romusha, tetap saja melewati Jalan Selokan Mataram dengan segala masalahnya adalah sebuah keterpaksaan.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News