Orang-orang di Lawang Seketeng, Peneleh, Surabaya, menyebutnya Langgar Dukur Kayu. Itu bahasa Jawa Suroboyoan. Kalau dalam bahasa Indonesia, artinya langgar (musala) di atas kayu. Karena memang model langgar tersebut semacam rumah panggung. Konon, di langgar itulah Soekarno kecil mengisi malam untuk mendaras Alquran.
***
Setelah menyusuri gang-gang padat di Peneleh, dengan mengikuti petunjuk arah di beberapa sudut gang, tiba lah saya di Lawang Seketeng Gang VI, Peneleh, Surabaya. Langgar Dukur Kayu jadi satu-satunya bangunan kuno yang berdiri di tengah permukiman.
Saya sampai di sana persis ketika azan Magrib berkumandang di seluruh penjuru Surabaya. Begitu juga Langgar Dukur Kayu. Dari corong pengeras suara, terdengar suara parau orang sepuh melantunkan panggilan salat lima waktu.
Belum juga azan tuntas, sekelompok laki-laki bersarung dan berpeci berdatangan, juga bocah-bocah setempat. Saya mengikuti mereka: mengambil wudu di bagian bawah, lalu meniti tujuh anak tangga untuk ke bagian yang diperuntukkan sebagai tempat salat berjamaah.
Suasana hangat di Langgar Duku Kayu Peneleh Surabaya
Langgar Dukur Kayu di Peneleh, Surabaya, itu memiliki dua lantai. Lantai bawah terdiri dari tempat wudu dan sebuah ruangan yang sudah tidak difungsikan lagi. Sementara lantai atas masih difungsikan sebagai tempat salat.
Saat naik ke lantai atas, rasanya memang agak waswas. Maklum, sebagian besar konstruksi bangunan—yang berbahan kayu jati—dibiarkan sedemikian adanya sejak pertama kali berdiri 131 tahun silam. Ya meski ada juga yang sudah direnovasi. Terutama pada bagian bawah yang ditambahi besi sebagai tiang penyangga untuk menjaga agar langgar tidak roboh.
Terlepas dari itu, rasanya hangat sekali. Seperti ke zaman dulu. Karena begitu lah suasana yang tercipta di dalam langgar di Peneleh, Surabaya, itu.
Selepas salat, saya sempat mengajak berbincang si imam salat. Sayangnya, dia tidak begitu tahu cerita dari Langgar Dukur Kayu. Maklum saja, si imam adalah pendatang dari Madura.
Namun, dia menawarkan diri untuk membawa saya sowan ke salah satu tokoh masyarakat Lawang Seketeng, Peneleh, Surabaya. Namanya Purwantono (60).
Peninggalan kuno di Langgar Dukur Kayu Peneleh Surabaya
Sebelum kami beranjak turun dari Langgar Dukur Kayu, si imam menunjukkan saya beberapa peninggalan kuno di langgar tersebut. Ada tongkat—dengan bentuk menyerupai tombak—yang besar kemungkinan dulu digunakan sebagai pegangan imam saat khutbah.
Lalu ada naskah Alquran bertuliskan tangan. Terdapat stempel dengan keterangan Pemerintah Hindia Belanda dalam lembar-lembar Alquran tersebut.
Yang paling penting dari peninggalan kuno di Langgar Dukur Kayu adalah sebuah mimbar persis di sisi kanan mihrab. Sebab, dari situ lah akhirnya orang tahu kalau langgar di Peneleh, Surabaya, itu berusia ratusan tahun.
Di bagian cungkup mimbar tertera tulisan bahasa Jawa berbunyi, “Awitipun jumeneng puniko langgar tahun 1893 sasi setunggal”. Bahasa Indonesianya: Awal berdirinya langgar (musala) ini tahun 1893 bulan satu (Januari).
Semula bukan cagar budaya
“Betahun-tahun warga setempat hanya sekadar menggunakannya sebagai tempat ibadah biasa. Tidak ada kesan lain,” ungkap Purwantono saat saya temui di kediamannya, Sabtu (13/7/2024) malam WIB.
Purwantono, sebagaimana juga warga setempat pada umumnya, mengaku tidak tahu sejarah awal berdirinya Langgar Dukur Kayu. Dibangun oleh siapa mereka juga tidak tahu.
Namun, beberapa warga Lawang Seketeng, Peneleh, Surabaya, tahu bahwa Langgar Dukur Kayu menjadi saksi masa kecil Presiden RI pertama, Ir. Soekarno.
Tempat Soekarno kecil mengaji Alquran
Sejauh ini, banyak sumber sejarah yang menulis bahwa Soekarno lahir di Peneleh, Surabaya, pada 6 Juni 1901. Meskipun belakangan mulai ada sejarawan yang mengaku menemukan bukti bahwa Soekarno lahir di Jombang, Jawa Timur.
Adalah Binhad Nurrohmat, pegiat sejarah Jombang sekaligus inisiator Titik Nol Soekarno di Ploso, Jombang.
Dalam sebuah seminar bertajuk “Jejak Tokoh Bangsa di Jombang” pada Oktober 2024 lalu, dia dengan yakin menyebut Soekarno lahir di Desa Rejoagung, Kecamatan Ploso, Jombang.
Dia membeberkan sejumlah bukti, baik dokumen maupun hasil wawancara dengan sejumlah pihak yang dia klaim sangat bisa dipercaya.
Diskursus tersebut tentu masih akan sangat panjang. Namun, jauh sebelum itu, Purwantono mengatakan bahwa secara turun-temurun, cerita mengenai masa kecil Soekarno di Peneleh, Surabaya, juga sama kuatnya.
“Di sini (Lawang Seketeng, Peneleh) dulu ada yang namanya Mbah Ambya’. Dia orang sepuh asli sini yang ngonangi (menjadi saksi) masa kecil Soekarno,” terang Purwantono.
“Kata almarhum Mbah Ambya’, dulu kecilnya Soekarno ngaji di Langgar Dukur Kayu. Gurunya namanya Mbah Pitono,”sambungnya.
Makam Mbah Pitono sendiri terletak tidak jauh dari Langgar Dukur Kayu. Agak samar karena memang sudah terhimpit rumah-rumah warga. Dari cerita turun-temurun, Mbah Pitono adalah kiai kampung yang dulu mengajar ngaji anak-anak setempat.
Selain itu, lanjut Purwantono, lantai bawah Langgar Dukur Kayu dulu digunakan sebagai tempat para pejuang kemerdekaan.
Akhirnya jadi pehatian
Meski tahu Langgar Dukur Kayu merupakan bangunan bersejarah, tapi respons warga awalnya biasa saja. Bahkan, langgar tersebut sempat tak terpakai karena bangunannya agak mengkhawatirkan. Sampai akhirnya Pemkot Surabaya menaruh perhatian khusus pada situs-situs bersejarah di Kota Pahlawan.
Peneleh sendiri memang memiliki banyak situs sejarah. Wujudnya banyak “berserakan”. Meski catatannya sendiri sudah dikumpulkan oleh Dukut Imam Widodo dalam bukunya berjudul Hikajat Soerabaia Tempoe Doeloe (2013).
Sebut saja yang cukup populer, Masjid Peneleh, Rumah HOS Tjokroaminoto, Toko Buku HOS Tjokroaminoto, hingga Rumah Masa Kecil Bung Karno.
“Lalu saya dan beberapa teman menggandeng pegiat sejarah Surabaya, mencoba berkomunikasi dengan Pemkot (Surabaya) terkait cagar budaya,” tutur Purwanto.
Alhasil, singkat cerita, pada 2019 Pemkot Surabaya bersama Surabaya Creative Network (SCN) meresmikan Lawang Seketeng, Peneleh, sebagai kampung wisata herirage di Surabaya. Termasuk di dalamnya adalah meresmikan Langgar Dukur Kayu sebagai cagar budaya melalui SK Cagar Budaya No. 188.45/209/436.1.2/2019. Peresmian dilakukan langsung oleh Wali Kota Surabaya masa itu, Tri Rismaharini.
“Sejak saat itu kan ada renovasi. Tapi tetep mempertahankan bangunan aslinya. Terus jadi banyak orang luar daerah yang berdatangan. Ada yang untuk mengulik sejarahnya, ada juga yang untuk sekadar wisata: ambil foto,” ucap Purwantono.
“Tentu berdampak ke ekonomi. Karena jadi jujukan wisatawan, akhirnya warga yang jualan jadi makin laku,” imbuhnya.
Seiring dengan itu, Langgar Dukur Kayu juga kembali digunakan warga Lawang Seketeng, Peneleh, Surabaya, untuk aktivitas ibadah. Khususnya salat lima waktu berjamaah.
Penelitian masih terus dilakukan, terutama oleh akademisi dan sejarawan. Misinya, secara garis besar, ada dua. Pertama, menelusuri jejak awal berdirinya Langgar Dukur Kayu (sejak 1893). Kedua, mengonfirmasi kebenaran Soekarno kecil yang konon mengisi malamnya mendaras Alquran di langgar itu.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Ketika Sunan Ampel Ikut Sabung Ayam hingga Membangun Masjid Peneleh Surabaya
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News