Belajar membuat mie ayam dari perantau di Jakarta
Kami lantas mencari rumah Pak Marno untuk mengetahui bagaimana warung mie ayamnya bisa bertahan hampir 40 tahun di Wonogiri. Dan tentu saja ingin mengonfirmasi tentang mie-nya yang terlihat rapuh layaknya orang-orang yang sedang patah hati.
Kami bertemu dengan Pak Marno saat ia bersantai di ruang tamu rumahnya. Ia lantas bercerita, dirinya mulai jualan mie ayam di Wonogiri sekitar tahun 1986. Awalnya di tahun 1982 ia pergi ke Jakarta untuk merantau dan jualan es teh, kemudian ia beralih jualan es campur. “Saat itu sudah banyak teman saya dari Wonogiri terutama dari daerah Jatiroto dan Jatisrono yang jualan mie ayam di Jakarta,” kata Pak Marno.
Ia kemudian pulang kampung ke Wonogiri tahun 1985 untuk jualan es campur. Namun, jualan es campur hasilnya kadang tidak menentu apalagi jika musim hujan tiba, dagangan sering tidak laku. Ia lantas belajar untuk membuat mie ayam dari temannya yang lebih dulu jualan mie ayam.
“Saat itu yang jualan mie ayam di Wonogiri itu masih sangat sedikit. Saya belajar dari Pak Jangkung dan saudaranya, Pak Sabar,” katanya. Pak Jangkung sendiri setahu Pak Marno belajar mie ayam saat merantau di Jakarta.
Awalnya orang Wonogiri asing dengan mie ayam
Pak Marno kemudian banting setir dari jualan es campur jadi jualan mie ayam dengan gerobak dorong. Itu ia lakukan sekitar tahun 1986. Saat berkeliling jualan mie ayam itu ia bertemu dengan penjual es asem di depan SDN 6 Wonogiri. Akhirnya, ia diajak penjual es asem yang bernama Pak Soekarto itu untuk jualan berdampingan di depan SDN 6 Wonogiri. Sekarang, es asem tetap jualan berdampingan dengan mie ayam Pak Marno dan diteruskan oleh anak-anaknya.
“Dulu masih jualan di depan SD, setelah ada penataan kota, kami kena gusur, terus pindah ke sini,” kata Pak Marno. Lokasi tepatnya saat ini ada di Jalan Salak 3, Gerdu, Giripurwo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Wonogiri.
“Dulu itu orang Wonogiri masih asing dengan mie ayam. Saat awal jualan masih banyak orang bertanya, ‘mie ayam itu apa’ saya jelaskan mie godog yang pakai ayam. Akhirnya setelah banyak orang makan, banyak yang suka lama kelamaan getok tular jadi ramai sampai sekarang. Dulu bahkan jualan dari pagi sampai jam 8 malam belum tentu habis,” katanya.
Pak Marno mengatakan, ia membutuhkan waktu hampir dua tahun untuk mengenalkan mie ayam pada banyak orang hingga warungnya ramai.
Alasan mie ayam yang lembek tapi tetap laris
Soal mie yang lembek, akhirnya kami mendapat jawaban dari Pak Marno sendiri. Ternyata mie lembek itu memang sengaja ia buat. Alasannya, ia merasakan bahan baku mie di pasar ia rasa terlalu keras.
“Saya lantas membuat mie sendiri yang agak lembek, selain itu kalau biasanya mie-nya bentuknya gilig, saya buat agak gepeng,” kata Pak Marno. Soal bumbu, Pak Marno juga melakukan uji coba berkali-kali dengan menambahkan rempah tertentu, sampai kemudian sampai pada titik ia rasa enak dan pelanggan suka.
Begitu juga dengan daging ayam. Ia tidak langsung mencacah saat ayam masih mentah, tapi merebusnya dulu sampai empuk, baru memisahkan dari tulang-tulangnya. Setelah itu ia mencacahnya dan memasak dengan bumbu, sehingga dagingnya juga lebih lembut.
“Jadi kenapa mienya lembek dan daging ayam lembut karena pelanggan saya kebanyak orang kantoran yang kadang-kadang banyak orang tua, jadi selaim mie-nya lembek, ayamnya nggak ada tulangnya,” kata Pak Marno menjawab rasa penasaran kami mengapa mie buatannya bentuknya gepeng dan lembek.
Alasan jadi bekal energi orang-orang yang mau cerai di Wonogiri
Satu fakta lagi Pak Marno sampaikan. Fakta yang sebelumnya kami anggap bercanda karena yang menyampaikan Mas Mul, pegawainya yang humoris itu. “Salah satu ciri khasnya warung kami itu jadi tempat sarapan atau makan orang-orang yang mau cerai,” kata Pak Marno tertawa.
Bukan apa-apa, itu karena di samping warung mie ayam, ada tempat pengetikan surat-surat ketika orang mau menyudahi pernikahannya dan akan sidang di Pengadilan Agama Wonogiri. Sambil menunggu surat jadi, biasanya mereka makan mie ayam dulu dan menikmati es asem yang segar. Minimal mie ayam itu jadi energi untuk menyambut perpisahan.
Meski terbilang legendaris dan laris, Pak Marno tidak ingin membuka cabang atau melebarkan sayap usahanya ke kota-kota lain. Ia masih nyaman dengan kondisi sekarang meski jualan di bawah tenda. “Saya takut saja kalau buka cabang itu orangnya nggak bisa dipercaya dari sisi kualitasnya. Bumbunya sama kalau yang masak beda kadang kan rasanya beda,” kata Pak Marno yang masih sering turun tangan langsung memasak mie ayam di warungnya.
Meski punya segmen penyuka mie ayam yang lembek, nyatanya setiap hari, tidak kurang dari 200 porsi mie ayam di Warung Mie Ayam dan Es Asem Pak Marno ludes terjual.
Penulis: Agung Purwandono
Editor: Hammam Izzuddin
Tulisan ini merupakan bagian dari Ekspedisi Mie Ayam Wonogiri