Mie Ayam dan Es Asem Pak Marno Wonogori jadi rekomendasi untuk siapa saja yang ingin merasakan cita rasa mie lembek dengan daging ayam yang empuk dan kuah gurih. Konon, mie ayam ini jadi bekal tenaga orang-orang yang mau cerai di Wonogiri.
***
“Saya itu tidak tahu kalau mie ayam saya terkenal. Tahu ya ada tetangga yang memberitahu, atau ketemu orang di jalan terus ada yang manggil, ‘Pak Mie Ayam’,” kata Sumarno (57) saat saya dan tim Mojok menemuinya di rumah, Selasa (31/10/2023).
Kami tengah menyelesaikan sebuah program “Akar Rumput” yang akan tayang di YouTube Mojok.co. Episode pertama ini akan mengangkat tentang Wonogiri yang punya julukan “Ibu Kota Mie Ayam”
Sumarno atau akrab dipanggil Pak Marno jadi salah satu narasumber yang kami pilih karena warung mie ayam yang ia dirikan termasuk legendaris di Wonogiri.
Mie ayam yang jadi menu sarapan pagi di Wonogiri
Sebelum datang ke rumah Pak Marno, kami terlebih dulu sarapan di warungnya yang terletak di belakang SDN 6 Wonogiri. Nama warungnya Warung Mie Ayam dan Es Asem Pak Marno. Ini termasuk mie ayam yang buka paling pagi di kabupaten ini, Jam 08.00. Kata teman-teman di Wonogiri, sudah lumrah orang sarapan pagi makan mie ayam.
Kebetulan saat itu yang berjaga adalah karyawan Pak Marno, namanya Mas Mul. ia segera menyiapkan empat porsi pesanan kami. Pagi itu, warung masih sepi meski ada beberapa pelanggan. Salah satunya pengelola EO di Wonogiri. Sayangnya kami lupa menanyakan nama karena terlalu asyik ngobrol. “Kalau sarapan, pingin mie, ya di sini,” katanya.
Mas Mul, karyawan Mie Ayam dan Es Asem Pak Marno ini orangnya kocak. Sejak kami datang, ia tak berhenti bercerita tentang warung mie ayam yang selalu ramai. Ia mengatakan beruntung kami datang pagi hari pas masih sepi.
“Banyak yang makan di sini karena mau cerai,” katanya.
Kami kaget mendengarnya, tapi menganggap omongannya bercanda.
“Itu di sana kan pengadilan agama, nah sebelum sidang cerai, biasanya pada makan di sini,” kata Mas Mul menunjuk bangunan tinggi.
Mie ayam yang nggak jadi rekomendasi buat yang suka makan pakai sumpit
Mas Mul kemudian menghidangkan mie ayam di meja kami. Pertama yang kami perhatikan tentu bentuk mie-nya. Tidak seperti mie ayam pada umumnya, bentuk mie yang kami temui ini tidak berbentuk gilig, tapi cenderung ke pipih dan tipis. Seperti mie yamin, tapi bukan.
Yang pertama kami coba tentu saja kuahnya. Sruputan pertama membuat kami saling berpandangan. “Gurihnya terasa sekali,” kata reporter Mojok, Hamamam Izzuddin.
Saat saya mengangkat mie tersebut dengan sumpit. Jelas sekali perbedaan dengan mie-mie ayam yang kami santap di Solo sehari sebelumnya. Mie di Warung Mie Ayam dan Es Asem Pak Marno ini mudah putus. Rapuh. Jelas sekali bagi penikmat mie ayam yang fanatik harus pakai sumpit, mie ayam ini nggak jadi rekomendasi.
Saat masuk ke dalam mulut, mie ayam ini seperti tidak ada perlawanan saat kami mengunyahnya. Empuk dan lembut. Kenyalnya nggak terlalu. Tapi soal gurih, benar-benar nagih. Daging ayamnya juga royal. Salah satu yang kami rasakan, tidak ada tulang di toping daging mie ayam yang bercampur dengan daun bawang.
Videografer kami, Shiddiq yang sehari sebelumnya tidak memakan daging di warung mie ayam di daerah Solo kali ini ludes tanpa sisa. “Pas rasanya, nggak terlalu manis seperti kemarin,” katanya.
Bagi sebagian orang tekstur mie ayamnya aneh
Hanya satu rekan kami, Fendi yang tidak menghabiskan mie ayam pesanannya. Kami ludes dan tandas. Tapi dari tadi dia seperti hanya mengaduk-aduk mangkuknya. Fendi yang asli Wonogiri ini seperti ingin berucap sesuatu, tapi ia hanya bilang, “nanti saja,”
Kami tentu saja dibuat penasaran, mengapa ia yang berdarah murni Wonogiri malah nggak menghabiskan semangkuk mie ayam yang jadi ciri khas daerahnya.
Padahal dia yang sejak awal, saat kami masih di penginapan mengatakan bahwa sudah sangat umum warga Wonogiri itu sarapan mie ayam.
“Tekstur mienya menurutku aneh. Terlalu lembek untuk sebuah mie ayam. Gampang hancur di mulut, tadi agak sulit kan pakai sumpit. Selain itu terlalu asin,” katanya membela diri saat kami sudah tidak di warung tersebut.
Soal mie yang lembek kami mengiyakan pendapatnya, tapi soal asin, kami bertiga menolaknya. Kami terus saja mengoloknya dan misuh karena ia tidak menghabiskan makanannya pagi itu. Kami menyimpulkan, darah Wonogirinya sudah tergerus dengan ideologi Jogja yang lebih suka cita rasa manis.
Baca halaman selanjutnya
Belajar mie ayam dari perantau di Jakarta dan benarkah jadi bekal orang yang mau cerai ?