Gen Z Rela Magang Tidak Dibayar (Unpaid) tapi Serba Salah: Menawarkan Bantuan Malah Dikucilkan, Diberi Tugas Justru Berlebihan

Gen Z rela magang tidak dibayar (unpaid). MOJOK.CO

ilustrasi - program magang nasional digaji setara UMP. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Sebagian Gen Z tak masalah jika magang tidak dibayar (unpaid), tapi ada juga yang menganggap bahwa itu adalah hak anak magang. Apalagi, jika tugas dan tanggung jawabnya tidak dibedakan. Lalu, bagaimana sebetulnya proses magang yang baik?

Tak masalah magang unpaid

Semasa kuliah, Diana (24) rela magang tidak dibayar alias unpaid guna memenuhi tugasnya membuat laporan praktik. Sejak awal dia tidak masalah dengan hal itu, toh dia masih mendapat keuntungan dengan belajar di sana. Masalahnya, Diana mengaku tidak mendapatkan apa yang dia inginkan. 

“Aku tuh udah inisiatif tapi justru karyawan di sana yang nggak tega nyuruh-nyuruh karena mereka tahu kalau aku magang ini nggak dibayar (unpaid)” ujar Diana saat dihubungi Mojok, Senin (13/10/2025).

Masalahnya, niat Diana magang adalah menyerap banyak ilmu. Namun, ketika Diana menawarkan diri untuk memberikan bantuan sekecil apapun seperti mencetak dokumen misalnya, para karyawan tetap saja menolak.

“Mereka bilang, nggak elok kalau harus nyuruh orang tanpa ada imbalan. Tapi mereka juga suruh aku ‘belajar saja yang benar’. Kan aneh.” Ucapnya.

Sebetulnya, dari awal Diana sudah tidak menolak jika ada magang yang tidak berbayar. Asalkan, dia mendapat pelajaran berharga. Tapi masalah itu malah menjadi boomerang yang menghambat dirinya.

Mojok juga pernah mewawancarai Ahmad (24). Mahasiswa Jurusan Hukum yang pernah magang unpaid di sebuah kantor advokat Jogja. Sebetulnya, Ahmad masih bersyukur karena ia masih diberi upah untuk transport sebesar Rp100 ribu dalam setiap penugasan.

Hanya saja, berbeda dengan Diana, sebagai Gen Z, Ahmad diperlakukan seperti pekerja penuh waktu. Beban kerja serta tanggung jawabnya sama dengan karyawan yang ada di sana. Bahkan, fase pembimbingan hanya ada saat si advokat magang melakukan sidang. Hal itu memang sah secara hukum di mana anak magang mengawal sidang sendiri.

“Kalau aku dulu ya itu seminggu full, jadi enam hari kerja dan dari seminggu itu bisa empat harinya lembur. Kalau pendamping pun mereka ya hanya mendampingi sewaktu menjalani sidang, untuk pembuatan dokumen-dokumen kita sendiri,” ujar Ahmad.

Cerita lengkap Ahmad bisa dibaca di sini.

Harus dapat haknya

Namun, tidak semua orang setuju dengan aturan perusahaan yang membuka magang unpaid. Merangkum dari jajak pendapat di media sosial Threads, sebagian orang menolak kebijakan magang unpaid karena dirasa tidak adil.

“Namanya magang itu wajib dibayar upah keringat mereka, meski tidak sebanyak pekerja tetap atau kontrak. Wajib dibayar, karena itu prosedur resmi magang atau internship secara universal. Bukan seenak jidat perusahaan lu ngajak kerja bakti,” ucap @wa.tson8941 dikutip Senin (13/10/2025).

“…sekarang itu lagi marak platform bahkan sorry to say, instansi pemerintah yang memberlakukan magang unpaid. Sependek pengetahuan gue, ada UU yang berlaku kalau magang itu harus dibayar. Lantas gue suka berpikir, apa bedanya kita apply magang unpaid dengan volunteer? Jangan karena hanya untuk tittle di CV jadi seperti ini.” ucap @lutfiarahmannisa.

“Gue nggak ngeluh soal nggak dibayar. Gue ngerti nggak semua magang kasih gaji tapi ketika lo harus berangkat tiap hari dengan uang jajan yang pas-pasan. Gimana caranya gue sampai ke tempat magang? Terbang?” tanya @ekomh_29.

Lalu, di antara dua pendapat Gen Z di atas, mana yang sebetulnya lebih baik?

Tak boleh dieksploitasi

Menurut Ketua Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI), Mirah Sumirat program magang memang sebaiknya dibayar. Mirah bahkan mendukung rencana pemerintah meluncurkan Program Magang Nasional (PMN) pada Senin (20/10/2025).

“Ini merupakan sinyal positif dalam mengakui hak-hak dasar pekerja magang dan memberikan insentif yang layak bagi generasi muda untuk meningkatkan keahlian mereka,” ujar Mirah Sumirat melalui keterangan tertulis yang dikutip Mojok, Senin (13/10/2025).

PMN rencananya melibatkan 20 ribu peserta (baik fresh graduate maupun Gen Z) dengan pemberian gaji setara Upah Minimum Provinsi (UMP). Meski begitu, Mirah mengimbau agar program magang tersebut diawasi secara ketat sehingga tidak disalahgunakan. Program itu, kata dia, tidak boleh menjadi celah bagi perusahaan untuk menghindari kewajiban ketenagakerjaan. 

“Program ini harus memiliki batas waktu magang yang jelas, struktur pelatihan dan pembinaan nyata, larangan penggunaan peserta magang sebagai pengganti pekerja tetap, dan pengawasan yang kuat dari pemerintah serta pelibatan serikat pekerja,” ujar Mirah.

Selain itu, Mirah juga mendorong perusahaan untuk memprioritas peserta magang sebagai calon kandidat pekerja tetap, usai program magang berakhir. Hal itu sebagai bentuk keberlanjutan kesempatan kerja dan peningkatan kesejahteraan.

Mirah juga menegaskan pentingnya pelibatan serikat pekerja dalam proses perancangan, pelaksanaan, hingga evaluasi program magang. Dengan begitu, hak peserta magang terlindungi. Lalu, pelaksanaannya selaras dengan prinsip keadilan sosial, yakni transparan, adil, dan melindungi hak pekerja.

“Magang harus menjadi jembatan menuju pekerjaan layak, bukan alat eksploitasi. Dengan pengawasan yang baik, program magang nasional dapat menjadi pintu masuk bagi peningkatan kompetensi tenaga kerja Indonesia dan menciptakan hubungan industrial yang lebih sehat dan berkeadilan.” Kata Mirah.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Penyesalan Tak Pernah Magang: Lulus Jadi Fresh Graduate “Kosongan” Kelabakan Puluhan Kali Ditolak Kerja hingga 2 Tahun Jadi Pengangguran atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Exit mobile version