Saya mengikuti konferensi UFO (unidentified flying object) Indonesia. Lalu merasa pengetahuan saya soal dunia ternyata masih sangat cetek. Liputan ini merangkum beberapa hal yang saya renungkan setelah konferensi tersebut. Mulai dari luasnya galaksi, misteri peradaban masa lampau, sampai perkara yang dihadapi para pegiat UFO di Indonesia.
***
Sesosok alien berwarna hijau menatap saya tajam dengan sepasang matanya yang menjulur ke atas layaknya mata seekor siput. Ia memiliki wajah menyerupai kodok dan bibir merah tebal. Tangannya berbentuk capit dengan lima tentakel ungu seperti milik raja ubur-ubur dalam serial Spongebob.
Alien yang saya sebut itu adalah sebuah wayang dari plastik bikinan seniman Safa Madusodana. Salah satu karya seni dalam pameran Mission X Project, Indonesia UFO Festival 2022. Acaranya digelar di galeri Institut Francais Indonesia (IFI), Yogyakarta, pada Sabtu siang (23/07).
Pameran tersebut semacam ‘pengantar’ sebelum mengikuti Konferensi UFO Indonesia. Berbagai karya seni yang terpacak di sana boleh dibilang merangkum imajinasi serta berbagai pendapat mengenai piring terbang dan kemungkinan adanya mahluk asing di luar bumi kita.
Misalnya seperti Space Cup Drink milik Nun Madina Syahnur dan Liesti. Karya tersebut mengandaikan kalau suatu hari nanti manusia akan terbiasa melihat pemandangan galaksi dan kita mungkin akan menikmati hal itu sebagaimana kita sekarang menikmati minum-minuman boba.
Kemudian ada juga lukisan dua wajah yang tampak berinteraksi di antara planet dan bintang-bintang milik Sri Ambarwati Lestari. Karya ini bikin saya membayangkan kalau suatu hari para alien betul-betul mampir ke dunia kita untuk bertamasya, mengabulkan ekspektasi kita soal UFO yang seakan pasti dari luar angkasa.
Saya tidak berlama-lama di ruang galeri. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul dua siang. Konferensi UFO akan segera dimulai. Saya bergegas memasuki auditorium IFI dan mendapati para peserta sudah memenuhi tempat duduk. Sebagian dari mereka akan mempresentasikan berbagai pendekatan mengenai fenomena UFO atau kehidupan ekstrateresterial—istilah untuk menyebut kehidupan di luar bumi.
Festival UFO terbesar di Indonesia
Konferensi UFO Indonesia ini menjadi bagian dari rangkaian panjang acara Indonesia UFO Festival (IUF) 2022 yang dihelat oleh Indonesia UFO Network (IUN). Sejak mendeklarasikan diri pada 2019, ini pertama kalinya IUN menggelar sebuah festival bersama dua lembaga non profit lainnya, yaitu Indonesia Space Science Society (ISSS) dan HONF Foundation
Ada 100 lebih partisipan dan 20 macam agenda kegiatan. Mulai dari Konferensi UFO Indonesia, workshop sains antariksa, eksplorasi suara, pameran, workshop wayang alien, street art, Indonesia UFO Day, space art, VMARS, peluncuran buku, sampai pembangunan monumen crop circle. Semua kegiatan tersebut dilaksanakan di 15 tempat di Yogyakarta. Mulai tanggal 16 – 30 juli 2022. IUF sejauh ini adalah satu-satunya Festival UFO terbesar di negara kita.
Venzha Christ, seniman dan peneliti yang menjadi salah satu penggagas IUN, mengatakan selama ini platform IUN sudah menjadi wadah berbagai komunitas dan institusi lintas disiplin. Mereka bukan hanya komunitas yang bergelut dengan riset tentang UFO/UAP saja, melainkan ada juga pegiat dan periset di ranah astronomi, ET, SETI, eksplorasi ruang angkasa, sains antariksa, maupun sejarah peradaban.
“IUF merupakan bentuk aktivitas nyata dari berbagai riset yang telah mereka lakukan untuk mengungkap keberadaan piring terbang dan misteri-misteri di balik birunya langit,” ungkapnya.
Spirit kolaborasi ini sangat kental sejak Venzha Christ dan kawan-kawan mengawali festival tersebut dengan sound performance di salah satu ruangan bukit Tumpeng Menoreh, Kulon Progo, pekan lalu. Mereka mengundang grup musik Siter Sister untuk tampil memainkan siter dengan diiringi pemancar satelit yang membuat nada petikan gamelan Jawa itu mengalun dalam suara mirip gelombang statis radio.
Namun demikian, dalam konferensi Sabtu (23/7) kemarin, nuansa pendekatan yang kolaboratif terhadap studi UFO terasa kian akademik dan itu cukup membuat saya berpikir bahwa pengetahuan soal dunia masih belum ada apa-apanya sama sekali.
Irisan dengan peradaban masa lalu
Gregorius Budi Subanar, atau Romo Banar, dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, kemudian menyinggung sejarah wahyu di momen pengangkatan raja-raja zaman dulu yang digambarkan sebagai sesuatu yang bersinar turun. Itu memang suatu kisah di satu sisi, tapi di sisi lain tidak menutup kemungkinan kalau fenomena tersebut bisa kita temukan irisannya dalam kajian sains antariksa.
Sementara itu, Ferry M Simatupang, dosen jurusan Astronomi, Institut Teknologi Bandung, merangsang keingintahuan saya dengan menjelaskan sejauh mana upaya ilmuwan mencoba menemukan planet-planet yang memiliki kemiripan dengan bumi.
“Galaksi begitu luas dan sampai saat ini ada sekitar 5.117 buah planet di luar tata surya kita. Ini baru data yang sudah terkonfirmasi dari berbagai sumber. Sisanya, yang belum terkonfirmasi, diperkirakan mencapai puluhan ribu planet,” katanya.
“Planet-planet itu terbagi ke dalam sekitar tiga ribuan sistem yang mirip tata surya kita. Dan di antara sekian banyak planet tersebut, lanjut Ferry, memang ada beberapa yang memiliki kemiripan dengan bumi. Tetapi untuk berbicara sejauh mana kemiripannya dan kemungkinan ia dihuni mahluk hidup, itu adalah persoalan yang memiliki kompleksitas tersendiri,” imbuh Ferry.
Arkeolog Badan Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta (BPCB DIY), Yoses Tanzaq, lantas mengajak saya untuk merenungi peradaban yang telah jauh di masa lampau. Meski berulang kali, dengan nada guyon, Yoses berkata: “Ngapain saya ngurusin UFO, ngurus diri sendiri aja masih sulit!” tapi ia juga membuka kemungkinan bagi kita untuk memikirkan bahwa interaksi antara alien dengan manusia boleh jadi telah terjalin sejak ribuan tahun silam.
Salah satu dasarnya adalah kalamba megalitik di situs Tadulako, Sulawesi, yang bergambar mahluk aneh. Mahluk tersebut memiliki kepala dan mata yang besar dengan bentuk kedua tangan yang sama sekali tidak lazim. Seperti deskripsi alien yang selama ini banyak kita peroleh dari produk-produk budaya pop.
“Saya tidak heran kalau UFO memang ada. Bisa jadi nenek moyang kita juga telah mempelajari alien sejak enam atau lima ribu tahun lalu, atau bahkan berkomunikasi dengan mereka, sehingga ada alien turun ke bumi dan kemudian dikubur di kalamba, atau mungkin ya enggak ada sih,” pungkasnya diiringi tawa para peserta.
Nasib riset UFO
Konferensi ini juga membahas perkembangan dunia terkait riset-riset tentang UFO. Agus Rifani, ahli fisika dari Institut Teknologi Kalimantan, yang juga kerap menjadi pembicara di komunitas BETA-UFO menjelaskan hal ini.
Ia mengatakan bahwa Prancis sudah memiliki lembaga riset mengenai alien serta piring terbang sejak tahun 80-an. Dan sejauh ini, Prancis telah membikin regulasi pelaporan dan sistem investigasi untuk merespon isu-isu soal piring terbang.
Amerika juga termasuk negara yang serius melakukan studi terhadap UFO. Bahkan pemerintah kebijakan Amerika telah memasukkan amandemen untuk mempermudah kesaksian orang akan penampakan UFO.
Sebenarnya Indonesia memiliki kasus-kasus penampakan UFO, atau sebut saja benda terbang aneh, yang tidak sedikit. Namun sampai sekarang, agaknya, masyarakat kita kian skeptis terhadap fenomena benda terbang aneh itu.
Nur Agustinus, pendiri komunitas BETA-UFO, menjelaskan beberapa tantangan soal riset UFO di negara kita. Pertama, masyarakat mungkin sebenarnya cukup sering menyaksikan benda terbang aneh. Namun alih-alih menganggapnya sebagai pesawat alien atau semacamnya, mereka cenderung menganggap itu sebagai kekuatan supranatural.
Kedua, UFO bukang sebagai sebuah ancaman di negara kita. Indonesia tidak mendapat serangan dari benda terbang misterius. Ketiga, selama ini ada pandangan bahwa riset mengenai UFO tidak mendatangkan manfaat.
Nur Agustinus lantas menutup presentasinya dengan menyampaikan sejumlah saran untuk mengatasi masalah-masalah dalam penelitian UFO di negara kita. Menurutnya, para pemangku kepentingan, seperti pemerintah, peneliti, akademisi pegiat seni, dan budaya, dan seterusnya harus berkolaborasi dalam hal ini.
Misalnya kita membuat mekanisme pelaporan UFO yang lebih baik dengan bantuan pemerintah dan nantinya bisa diakses masyarakat luas. Lalu menyusun protokol berkenaan dengan UFO, bagaimana respon kita sebaiknya saat melihat benda terbang yang misterius di langit, misalnya, serta bagaimana melakukan riset-riset terhadap UFO. Sebab ini adalah fenomena yang sangat-sangat aneh.
Pukul setengah lima sore, ketika jeda konferensi, saya keluar ruangan sebentar dan mengamati pameran seni di galeri IFI lagi. Saya kembali mendatangi wayang alien bermata siput sembari memikirkan berbagai perspektif yang saya dapat selama konferensi.
Riset mengenai UFO, barangkali, tak bisa kita rasakan langsung manfaatnya. Namun demikian, kita bisa merefleksikan sebuah nilai kehidupan dalam usaha menguak misteri besar tersebut: bagaimana hasrat keingintahuan yang kuat selama ini telah menuntun kita, manusia, untuk lebih maju dan maju, bukan saja dalam aspek sains, budaya, maupun teknologi, melainkan juga dalam konteks memahami apa-apa yang tampaknya bukan bagian dari kita.
Reporter: Akhyat Sulkhan
Editor: Purnawan Setyo Adi