Gagal Sekolah Kedinasan, Terpaksa Masuk Universitas Brawijaya, tapi Bisa Berdamai dengan Takdir

Gagal Sekolah Kedinasan, Terpaksa Masuk Universitas Brawijaya, tapi Bisa Berdamai dengan Takdir

Gagal Sekolah Kedinasan, Terpaksa Masuk Universitas Brawijaya, tapi Bisa Berdamai dengan Takdir

Bagi beberapa orang, kuliah di Universitas Brawijaya itu adalah impian. Tapi bagi mahasiswi ini, kuliah di UB justru takdir yang sebenarnya tak ingin dia jalani. Niat awal, sekolah kedinasan, tapi akhir takdirnya malah “terpaksa” kuliah di UB.

 ***

Ferdiana (21) awalnya punya mimpi yang mungkin sama dengan beberapa dari kalian yang membaca artikel ini, yaitu sekolah kedinasan. Tentu tak ada yang salah dengan itu, siapa yang tak ingin sekolah kedinasan? Road map karier sudah jelas, sudah tau mau ngapain, dan masa depan lebih terarah, siapa yang tak mau hidup seperti itu?

Tentu saja Ferdiana juga mau. Makanya dia punya mimpi tersebut. Tapi terkadang mimpi memang ditakdirkan hanya sekedar jadi mimpi.

Awalnya, Ferdiana memfokuskan diri untuk mengejar mimpinya, fokus untuk menyiapkan diri seleksi sekolah kedinasan. Tekadnya begitu kuat, dan tentu saja dia berusaha setengah mati. Tapi, orang tuanya mengarahkan untuk tetap daftar kampus sesuai dengan pilihan orang tuanya. Andai mau jurusan lain, bisa, tapi tetap harus seizin orang tuanya. Meski ada arahan, Ferdiana tetap mengusahakan impiannya.

Sayangnya, semesta tidak berpihak padanya.

Sebenarnya, Ferdiana sempat lolos PG untuk lanjut ke tahap selanjutnya. Tapi karena waktu itu kondisi covid semakin parah, kuota yang lolos perangkingan dikurangi, sehingga dia harus menerima fakta bahwa dia tak bisa lanjut tes. Dari situlah, jalan menuju Universitas Brawijaya mulai terbuka.

Ferdiana memilih untuk fokus daftar gelombang Mandiri Universitas Brawijaya tanpa berlama-lama. Dia tak sempat berpikir untuk membandingkan kampus ini-itu. Dia memilih untuk fokus saja melihat jalan yang ada di depannya. Petualangannya sebagai maba UB 2021 pun harus ia mulai.

Meski, kadang, bayang-bayang masa lalu masih lewat barang sekelebat.

Mulai menerima takdir

Ferdiana mengaku sebenarnya dia tak cocok dengan jurusan yang dia ambil, yaitu Administrasi Publik. Dia awalnya juga tak menikmati kuliahnya. Dia termasuk angkatan Covid, alias masuk 2021, dan masa-masa itu memang kuliahnya daring. Baginya, tidak terasa seperti kuliah.

Tapi setelah masuk semester 4 dan 5, barulah dia merasakan nikmatnya kuliah dan berangsur-angsur bisa menerima kenyataan. Dukungan keluarga dan kawan-kawannya bikin kuliah yang “tidak dia inginkan” ini jadi terasa tak begitu berat.

Kini dia sudah semester enam, dan kuliahnya hampir selesai. Berhasil menjalani enam semester di tempat yang tak dia pengin-pengin amat tentu prestasi. Dia juga tak ingin lagi punya keinginan untuk ikut tes sekolah kedinasan lagi. Toh, kuliahnya di Universitas Brawijaya bentar lagi berakhir,

“Tapi sebenernya tiap tahun aku masih diingetin papa buat daftar kedinasan lagi sih kak, tapi udah telanjur kecewa wkwkwk.”

Saya lalu bertanya, apakah Ferdiana punya rencana untuk bekerja sesuai dengan jurusan kuliahnya atau punya rencana lain. Katanya, dia ingin mencoba untuk daftar TNI jalur karier atau lanjut S2 jika tak diterima. Saya tertarik dengan rencananya untuk daftar TNI, lalu bertanya kenapa.

“Pengin aja sih, Kak, soalnya jenjang kariernya juga lumayan menurut saya.”

That, i can agree.

Baca halaman selanjutnya

Tak perlu menyesal

Tak perlu menyesal kuliah di Universitas Brawijaya

Ferdiana mengaku tak menyesal kuliah di Universitas Brawijaya. Baginya, bisa kuliah saja sudah bersyukur, dan dia tak mau mengecewakan orang tuanya yang sudah keluar uang banyak untuk pendidikannya. Bahwa ini tidak sesuai dengan mimpinya, iya, tapi bukan berarti mimpi yang tak terwujud menjadi penghalang untuk pintu-pintu hidup yang lain.

Toh, selama kuliah, dia tidak dilarang oleh orang tuanya untuk mencoba hal lain. Dan memang itu yang terpenting, bahwa kuliah adalah tempat di mana kita mencoba hal-hal baru yang tak pernah coba kita sentuh.

Sebenarnya, memang Ferdiana tak perlu berkecil hati berkuliah di Universitas Brawijaya. Sebab, tak bisa dimungkiri, UB memang salah satu universitas top di Malang. Dito (22), mahasiswa UNESA Surabaya, bahkan mengklaim bahwa UB adalah kampus terbaik sepanjang masa versinya.

Fasilitas yang top, kultur diskusi yang nggak kalah sama Jogja, bisa cangkrukan di kampus sampe malam, dan punya fakultas yang banyak, adalah alasan kenapa Dito menetapkan UB sebagai kampus terbaik versinya.

“Punya fakultas akeh banget, ini menurutku aneh, tapi juga keren. Kalau nggak salah ada sekitar 18 fakultas. Dan, tiap gedung fakultasnya apik banget mas, asli. Bener-bener semewah itu.”

Menurut Sigit (37), warga asli Malang, dia berkata bahwa UB tetap masih OK meski kini pergaulan di kampus UB malah kayak kampus Jakarta, ngomong pakai “lu-gue”. Itu juga karena Malang pun berubah, yang mau tak mau ikut mengubah UB.

“Kalo 15-20 tahun lalu mungkin iya mas, UB identik dengan kampus ‘anak2 pinter’. Tapi kayaknya 10 tahun terakhir UB lebih pas disebut kampus ‘anak orang kaya’. Ini sepengetahuanku sih. Sebenarnya Malang juga banyak berubah sih 10 tahun terakhir.”

Reporter: Rizky Prasetya
Editor: Hammam Izzudin

BACA JUGA Lolos SNBP Universitas Brawijaya Malang Karena Asal Klik dan Hoki, Sekarang Menyesal Jurusannya Sulit Buat Cari Kerja

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.

Exit mobile version