Puncak yang terlihat dekat tapi jalan begitu berat
Sudah banyak pendaki yang turun saat kami hendak menuntaskan trek terakhir ini. Termasuk salah satu porter yang membuat kami sedikit gamang.
“Sudah kesiangan Bang,” katanya.
Ia berujar, dengan kondisi fisik kami sekarang, paling cepat bisa sampai puncak melewati Letter E dengan durasi tempuh dua jam. Itu sudah paling cepat.
“Kalau bule-bule satu jam bisa. Harusnya kalian berangkat dari Pelawangan dari jam 1 pagi,” cetusnya.
Puncak terlihat dekat, tapi jalan begitu berat. Rasanya tanggung sekali jika tidak menuntaskan perjalanan ini. Namun, jika nekat naik, angin sudah semakin kencang. Jalan kembali ke perkemahan pun masih panjang. Padahal kami merencanakan melanjutkan perjalanan ke Segara Anak sebelum sore.
Saya yakinkan diri untuk terus menanjak meski terik matahari mulai membakar wajah. Selangkah demi selangkah saya menapaki tanjakan berat ini. Satu dua kali tergelincir namun langsung menegakkan kaki lagi.
Perjalanan sudah sejauh ini dan sayang jika tidak sampai di titik terakhir. Saya terus coba meyakinkan diri sendiri. Sampai akhirnya, setelah memompa semangat, dua jam langkah gontai membawa saya ke puncak Rinjani 3726 MDPL.
Di puncak, rasa lelah rontok seketika. Saya duduk, menyalakan rokok, sambil melihat pendaki-pendaki lain melakukan selebrasi. Berfoto dengan beragam pose menggunakan plang penanda puncak yang berserakan.
Saya bangun dari rebah, coba berfoto sejenak. Selanjutnya saya langsung bersiap untuk perjalanan yang masih panjang. Jalan menurun yang tak kalah menyiksa.
Mencari kesempurnaan Rinjani
Kaki saya gerakkan menuruni jalan pulang menuju perkemahan di Pelawangan. Durasi turun tentu lebih cepat. Hanya memakan waktu dua setengah jam. Pukul 02.00 WITA saya sudah kembali di tenda untuk merebahkan diri.
Rasanya baru beristirahat sejenak, namun teman saya sudah mengingatkan untuk segera bersiap mengemasi tenda. Kami akan menuju Segara Anak.
Awalnya kami santai karena jalannya didominasi turunan dari Pelawangan. Namun, estimasi durasi tempuhnya tiga sampai empat jam. Jelas ini bukan jalan menurun biasa.
Segara Anak adalah titik peristirahatan terbaik dalam pendakian Rinjani. Ada stok air tak terbatas hingga pemandian air panas yang jadi dambaan pendaki.
Sayang, rute Sembalun tidak melewati tempat tersebut. Sehingga kami akan pulang lewat jalur Torean demi bisa merasakan suasana di sana.
Baru jam lima kami berangkat. Tergesa menuruni tebing batu yang curam sebelum hari semakin petang. Beruntung kami bertemu satu rombongan lain yang juga nekat berangkat terlalu sore. Jika tidak, pasti kami kebingungan, selain gelap jalannya memang bercabang.
Empat jam perjalanan kami baru tiba di Segara Anak yang sudah gelap. Tenda kami dirikan dan kompor kami nyalakan. Makan, lalu terlelap.
Hari sudah cerah saat kami terbangun. Pintu tenda kami buka dan pemandangan indah Segara Anak langsung tersaji membuat hati bungah.
Saya berjalan untuk mengisi botol kosong di mata air. Suasana di sana lain dengan di perjalanan menuju puncak. Para pendaki tampak bahagia. Ada yang mencuci pakaian, memancing, memasak, hingga mencari sinyal internet di perbukitan.
Saat saya melintas tampak seorang pemancing berhasil mendapatkan ikan mas atau ikan karper sebesar kepalangan tangan orang dewasa. Ikan di sini memang cukup melimpah. Di tepian danau, ribuan bibit ikan bergerombol.
Setelah menikmati suasana, mengisi air, dan memasak, saya dan rekan memutuskan untuk berendam di pemandian air panas. Benar-benar merontokkan pegal. Hal-hal yang ada di Segara Anak buat para pendaki adalah penyempurna keindahan Rinjani.
Gunung terindah yang ternodai
Bekal-bekal dari Segara Anak membuat kami semakin mantap untuk menuntaskan perjalanan pulang melintasi jalur Torean. Meski jalur turun, treknya cukup “mematikan”. Tebingnya terjal sehingga dipasangi instalasi pengaman seperti tali dan tangga.
Perjalanan menuruni jalur Torean memakan waktu normal delapan jam. Meski tergolong panjang, jalur ini jadi pilihan karena panoramanya yang indah. Jalan dikelilingi bukit batu sehingga banyak orang menyebutnya seperti alam di Jurrasic Park.
Setelah menginap dua malam di tepi danau, Minggu (30/7/2023) sekitar pukul setengah delapan kami beranjak pulang. Ada perasaan berat meninggalkan Segara Anak. Pertama tentu karena kawasan ini begitu mempesona.
Namun, kami juga merasa sayang, keindahan itu tercemar sampah. Di sepanjang pendakian Rinjani, sampah memang pemandangan lazim terlihat di sudut-sudut jalan. Termasuk di sekitar danau.
Saat menuju Segara Anak, seorang pendaki asal Jakarta, Joffi Febriando mengaku melihat semakin banyak sampah di sepanjang trek pendakian. Ini merupakan kedua kalinya ia mendaki Rinjani.
Ia terlihat heran, di lereng tebing bukit curam, plastik bekas makan berserakan. “Dulu nggak sebanyak ini,” katanya.
“Ya beginilah gunung. Semakin banyak pendaki pasti konsekuensinya begini. Nggak mungkin jadi semakin bersih,” ujarnya datar.
Di sela perjalanan sekitar sembilan jam menuruni jalur Torean, teman mendaki saya juga terheran dengan sampah. Meski kami sudah melakukan antisipasi sebaik mungkin, termasuk menyediakan wadah puntung rokok untuk setiap batang yang kami hisap, ia yakin tetap ada sampah kami yang tercecer.
Setibanya di dusun Torean kami berbincang dengan Jufri Jafar. Pendaki asal Pinrang, Sulawesi Selatan juga mengeluhkan hal serupa.
“Di konten-konten Instagram, mana ada terlihat sampah. Yang ada hanya bagus-bagusnya,” keluh lelaki yang pertama kali mendaki Rinjani ini.
Gunung terindah yang sebaiknya mungkin tidak perlu didaki
Sebelum mendaki Rinjani, ia melakukan pendataan logistik yang terbungkus plastik. Namun, saat turun tidak ada pengecekan ulang oleh pihak basecamp.
Gunung Rinjani punya lanskap alam yang begitu lengkap. Bukit sabana, tebing indah, puncak tinggi, danau menawan, hingga pemandian air panas yang memanjakan. Menarik minat pendaki lokal dan mancanegara.
Mengingat itu, gunung ini sayang jika didaki dengan terburu-buru. Sebaiknya jangan mendaki rinjani jika waktu terbatas karena tidak bisa menyaksikan segala keindahannya.
“Naik nggak sekalian empat hari tiga malam sayang,” kata Gifari sebelum kami mendaki.
Selain itu, jangan mendaki jika kondisi fisik sedang tidak prima. Rekan pendakian saya mengaku menyesal tidak rutin berolahraga sebelum mendaki, sehingga terlalu lelah dan kurang menikmati.
Ia juga berujar, ada satu hal lagi yang membuat gunung ini sebenarnya tidak perlu didaki. “Kalau tidak komitmen dengan sampah yang dibawa.”
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono