Bagi orang Jawa, merantau ke luar Jawa adalah salah satu keputusan terberat dalam hidup. Tak jarang keputusan ini semacam last resort untuk meraih kesempatan hidup yang lebih baik. Tapi beda cerita untuk PNS yang dapat penempatan luar Jawa, macam Sumatera, Sulawesi, dan semacamnya.
Bagi para PNS Jawa yang dapat penempatan luar Jawa, urusannya jadi berbeda. Penempatan ini tak jarang dianggap momok bagi orang-orang. Kita tahu sendiri lah bagaimana pandangan umum orang Jawa pada pulau selain Jawa. Dianggap tidak maju, tak ada ini, tak ada itu. Jadinya ya, alih-alih diterima sebagai instruksi kerja, malah kerap dianggap sebagai “pembuangan”.
Padahal tidak seperti itu juga konsepnya. Jadi PNS penempatan luar Jawa tak berarti buruk. Ahmad (30), PNS yang mendapat penempatan di Kolaka, Sulawesi Selatan ini adalah salah satu dari banyak orang Jawa yang mendapat penempatan di luar pulau.
Ahmad sudah menjalani tugasnya di Kolaka selama lima tahun. waktu yang tidak sebentar, dan jelas dia bercerita rasanya gimana jadi PNS luar Jawa selama ini.
Seperti orang kebanyakan, Ahmad awalnya shock saat dapat pengumuman dia dapat penempatan di luar Jawa. Tak hanya dirinya, orang tuanya pun awalnya juga shock. Orang tuanya khawatir kalau suatu saat nanti Ahmad lupa dengan orang tuanya, sebab kata orang-orang, jika ditempatkan di luar pulau, lama balik ke Jawanya.
Tapi syukurnya, (calon) istri saat itu mendukung penuh. Sebab, latar belakang keluarga sang istri memang kebanyakan guru dan PNS, jadi malah bisa lebih mudah diterima sekalipun harus ke luar pulau.
“Waktu itu kan masih jadi calon mertua, Mas. Tapi, Alhamdulillah didukung. Karena mertua saya kan dulu PNS yg tugasnya di luar Jawa juga.”.
dari Cikarang ke Kolaka
Ahmad tak menutupi betapa menderitanya dia di awal-awal kerja di Kolaka. Wajar, pemuda yang menghabiskan seluruh hidupnya di Cikarang tiba-tiba harus pergi ke tempat baru yang benar-benar asing baginya.
Terlebih perkara infrastruktur. Ahmad merasakan perbedaan kualitas infrastruktur yang sangat mencolok. Terutama dalam akses fasilitas kesehatan dan pendidikan. Sebaik-baiknya kualitas pendidikan dan kesehatan di kota tier 2 atau 3, tetap jauh lebih baik kota tier 1, ungkapnya. Tak jarang Ahmad dan sekeluarga harus ke Makassar hanya untuk mengakses fasilitas kesehatan dan pendidikan yang lebih baik.
Dan tentu saja, culture shock yang dia rasakan begitu besar. Bahasa, makanan, lumrahnya lah. Tapi salah satu yang bikin dia betul-betul kaget adalah cara berkendara dan bagaimana santainya orang Kolaka dengan kendaraannya.
Kata Ahmad, orang Kolaka biasa meninggalkan kunci motor begitu saja di lubang kunci. Tak ada rasa takut hilang sama sekali. Ahmad pun lama-lama mengikuti kebiasaan ini.
“Yang saya khawatirkan ketika mudik di Jawa kebiasaan ini terbawa. Kalau di Jawa, nggak perlu nunggu 5 menit, motor saya bisa jadi raib.”
Baca halaman selanjutnya