Motor Yamaha Mio Sporty keluaran tahun 2011 milik kakak saya dulu, masih menjadi sahabat setia saya hingga sekarang. Salah satu kenangan yang tidak pernah saya lupa adalah, berkatnya saya bisa mengendarai motor dan keliling Kota Surabaya, meski harus menanggung malu saat pertama kali pergi jauh.
***
Sebagai remaja yang baru saja masuk SMA, saya sudah merengek ke kedua orang tua untuk dibelikan motor. Saya bilang kepada mereka seberapa urgent memiliki motor untuk kebutuhan siswa SMA. Terutama saya yang dari dulu aktif mengikuti kegiatan ekstrakurikuler dan latihan sampai malam.
Karena aktivitas tersebut, jadwal pulang saya jadi tidak pasti. Untuk merayu orang tua, saya bilang jika mereka tak perlu repot-repot lagi menjemput saya. Apalagi kalau sudah capek pulang bekerja dan sering kesal saat menjemput saya secara mendadak. Padahal sebenarnya, saya juga kesal karena sering dijemput telat.
Apalagi, melihat kakak saya yang sudah duluan dibelikan motor dan bisa nongki dengan teman-temannya, saya jadi lebih iri. Berdasarkan pertimbangan tersebut, kedua orang tua saya akhirnya sepakat. Tapi, bukannya membelikan motor untuk saya, kedua orang tua saya justru membelikan motor untuk kakak saya.
“Kamu pakai punya Mas ya, Dek.” kata ibu saya yang bikin saya melongo.
Jujur, sebagai anak bungsu yang tidak berani melawan dan harus mengalah, mau tidak mau saya manut. Barangkali, kebutuhan kakak saya juga mendesak pada saat itu. Toh, saya butuh motor bukan buat gaya-gayaan tapi memang kebutuhan.
Jadi saya pikir, Yamaha Mio keluaran tahun 2011 milik kakak saya sebelumnya masih bisa dipakai. Walaupun banyak body-nya yang sudah pretel karena ulah kakak saya yang memodifikasinya hampir mirip seperti motor drag.
Alhasil, sebelum motor Yamaha Mio itu diserahkan ke tangan saya, saya meminta kakak saya mengembalikan tubuh motor tersebut seperti semula. Meskipun tidak seluruhnya kembali, yang penting motor itu tidak terlihat “urakan”.
Yamaha Mio Sporty: Kuat menahan berat meski bertubuh mungil
Yamaha Mio adalah motor yang saya gunakan saat pertama kali belajar mengendarai matic. Setiap pagi di hari libur saat jalanan Kota Surabaya masih lengang, saya ditemani ibu belajar motor. Dulu, motor butut itu tidak terlalu memalukan bahkan sempat tren di kalangan perempuan khususnya anak muda yang ingin tampil fashionable, trendy looking dan cheerful.
Pertama kali mengendarai Yamaha Mio, tentu saja saya tidak langsung lancar alias kurang tegen kalau kata orang Jawa. Nah, bukannya malah menyuruh saya belajar sendiri, ibu justru meminta saya memboncengnya.
“Loh, justru ketika tantangannya ditambah nanti malah semakin bisa,” ujarnya meyakinkan saya, walaupun logika saya tak menangkapnya.
Masalahnya, tubuh ibu saya lebih besar alias gemuk. Maka, ketika kami berboncengan, otomatis tangan saya gemetar. Dan ibu saya mulai agak panik dengan mencengkram pinggang saya yang malah geli kalau dipegang.
Alhasil, perjalanan Yamaha Mio kami sempat meliuk-liuk tapi untungnya saya bisa mengembalikan keseimbangan tersebut. Dari kejadian itu, ibu akhirnya percaya dan membiarkan saya belajar motor sendiri.
Tiba-tiba ngadat di tengah jalan
Kurang lebih, setelah belajar mengendarai motor Yamaha Mio sekitar lima kali percobaan, saya sudah bisa jalan lurus, berkelok-kelok, bahkan sedikit ngepot. Ya mungkin karena jalanannya masih lengang dan hanya berkendara di sekitaran jalanan rumah saja, Kota Surabaya.
Oleh karena itu, saya memutuskan berkendara di hari Sabtu yang cerah dengan kondisi jalan yang sedikit ramai. Mulanya, saya motoran di area Surabaya pusat seperti Kelurahan Genteng, Tunjungan dan Balai Kota.
Karena terlalu girang, saya mencoba berkendara lebih jauh ke daerah Arjuno, Demak, hingga Banyu Urip. Saya menikmati setiap perjalanan dengan motor Yamaha Mio tersebut dengan cara tidak mengebut.
Hingga beberapa pengendara tampak terlihat kesal dengan mengebel saya berkali-kali, tapi saya tidak terlalu peduli. Toh, saya merasa berkendara dengan aman. Apalagi saya memakai helm, tidak seperti mereka kebanyakan.
Tak terasa, sekitar satu jam berlalu saya sudah kembali tiba di Jalan Embong Malang. Salah satu jalan utama di pusat Kota Surabaya yang menghubungkan beberapa wilayah seperti Tugu Pahlawan, Tunjungan, dan Kedungdoro.
Saya pun tidak menyadari kalau bensin saya tinggal sedikit hingga tiba-tiba mati di tengah jalanan besar itu. Beruntungnya, tak ada yang menabrak dari belakang. Posisi saya juga tidak terlalu tengah, karena di detik-detik mesinnya mati saya sudah wanti-wanti ke arah pinggir trotoar.
8 tahun menanggung malu karena Yamaha Mio
Awalnya saya kebingungan, karena sama sekali tak kepikiran kalau bensinnya habis. Saya sudah berpikiran macam-macam, barangkali karena busi atau mesinnya yang sudah usang. Saya pun menelpon kakak saya yang berada di rumah.
“Coba cek bagian indikator bensinnya, tinggal berapa? Kalau panahnya nunjuk ke bawah atau bagian merah ya berarti bensinmu habis, Dek,” jawab kakak saya.
“Iya, habis! Terus gimana ya?” balas saya panik.
“Sek tunggu di situ, tak jemput. Tak bawano bensin,” jawab kakak saya lagi dengan nada kesal.
Dan saya hanya bisa cengengesan, tak habis pikir dengan ulah saya sendiri. Untung saja kakak saya masih mau membantu. Kurang dari 15 menit, ia sudah tiba dengan membawa botol plastik berisi bensin.
“Besok-besok jangan lupa isi bensin. Jangan nunggu mesinnya mati, di isi waktu bensinnya tinggal setengah karena Yamaha Mio itu memang boros. Jadi harus selalu dicek!” begitu nasihat kakak saya yang selalu saya ingat sampai sekarang.
Kini, Yamaha Mio itu masih menemani perjalanan saya selama 8 tahun, bahkan di perantauan. Sejauh ini, motor saya tak pernah mati karena kehabisan bensin, melainkan mati karena lupa mengganti busi.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: 5 Tahun Pakai Yamaha Mio Pemberian Bapak, Motor Butut Menerjang Sial Suramadu-Bojonegoro atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.












