Sebagai warga Surabaya yang pernah merantau ke Jakarta dan kini berdomisili di Jogja, saya cukup kaget melihat demo para mahasiswa serta elemen masyarakat lainnya di sini. Untuk pertama kalinya, saya mengikuti aksi ‘Jogja Memanggil’ yang mengkritisi kebijakan efisiensi anggaran pendidikan hingga program Makan Bergizi Gratis pada Kamis (20/2/2025).
Saya sudah pernah mengikuti aksi sebelumnya di beberapa daerah seperti Surabaya dan Jakarta, tapi kali ini demo di Jogja terasa berbeda. Ada beberapa kultur yang membuat saya kagum, bahkan bisa jadi mengubah perspektif anda tentang eksistensi demo itu sendiri bahwa tak semua demo harus berakhir anarki.
#1 Massa aksi ‘Jogja Memanggil’ mengenakan baju seragam
Sekitar pukul 10.00 WIB, mahasiswa yang terdiri dari berbagai kampus di Jogja berkumpul di Taman Parkir Abu Bakar Ali yang berada di sisi utara kawasan Malioboro, Kota Yogyakarta. Seluruhnya mengenakan baju berwarna hitam meski terdiri dari berbagai universitas dan aliansi.
Salah satu peserta aksi ‘Jogja Memanggil’, Atfi (24) mendukung adanya kesepakatan dress code tersebut. Baginya, tidak menggunakan jas almamater saat aksi sebagai simbol, bahwa tidak ada sekat antara mahasiswa dan masyarakat. Timbulnya sekat, kata dia, bisa membuat partisipan baru.
“Masyarakat yang mau bergabung di dalam barisan jadi tidak sungkan,” kata Atfi yang sudah sering ikut aksi di beberapa daerah seperti Jogja dan Temanggung, Jumat (21/2/2025).

Menurut Atfi, koordinator lapangan (korlap) aksi pasti bisa membedakan, mana orang yang menyusup sebagai intel dan mana yang bukan. Bisa saja ada masyarakat yang memang murni ingin bersuara atau meluapkan amarahnya terhadap isu yang terjadi.
“Jadi ngapain sih pakai almamater? Kalian kan mau aksi ya, bukan gagah-gagahan kampus,” kata dia.
Adapun baju berwarna hitam sebagai simbol pesimisme terhadap masa depan Indonesia yang kian gelap saat dipimpin oleh pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka bersama kabinet Merah Putih. Warna hitam juga menunjukkan kekecewaan massa aksi ‘Jogja Memanggil’ terhadap situasi Indonesia akhir-akhir ini.
#2 Hotline untuk kekerasan seksual saat aksi
Massa aksi masih berangsung-angsur berdatangan hingga pukul 12.00 WIB. Setelah itu, mereka mengatur barisan dan mulai berjalan menyusuri kawasan Malioboro.
Sebelum berangkat, mata saya tertuju pada poster layanan aduan tindak pidana kekerasan seksual. Hal yang jarang saya jumpai saat aksi di Surabaya maupun Jakarta dulu. Poster itu mengimbau massa aksi yang melihat, mendengar, dan mengalami kekerasan seksual baik verbal maupun non verbal, bisa menghubungi hotline 082241382870. Lengkap dengan tagar Indonesia gelap.
Setelah mencari tahu, layanan itu ternyata diinisiasi oleh Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS). Anggota LKiS, Ade Surya yang juga mewakili Forum Cik Di Tirto mengatakan, layanan tersebut sudah dibuat sejak tahun 2024. Tepatnya saat aksi ‘Jogja Memanggil’ pertama untuk mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Kami sudah turun tiga kali, sejak aksi ‘Jogja Memanggil’ pertama hingga aksi Indonesia Gelap ini,” kata Ade.

Forum Cik Di Tirto sendiri terdiri dari berbagai elemen masyarakat sipil, komunitas, lembaga CSO, dan NGO yang berkomitmen menciptakan ruang aman dalam aksi. Menurut Ade, hotline yang mereka berikan berdampak terhadap kesadaran masyarakat soal tindakan kekerasan seksual seperti catcalling, meraba, atau membawa poster berbau seksis.
Ade menjelaskan jika massa aksi yang melapor umumnya adalah perempuan, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa laki-laki bisa menjadi korban tindak kekerasan seksual. Sayangnya, masih banyak banyak dari mereka yang tidak berani lapor.
“Dengan adanya hotline, peserta aksi memiliki jalur aman untuk melaporkan kekerasan tanpa takut atau merasa terancam,” kata dia.
Selain itu, hotline juga berfungsi mencegah terjadinya chaos di lapangan. Ade menjelaskan kemarahan terhadap pelaku kekerasan sering kali berujung pada tindak kekerasan fisik dalam aksi. Melalui laporan yang LKis terima, tindak kekerasan tersebut dapat ditangani secara sistematis dan profesional.
#3 Alasan Jakarta sering chaos ketimbang ‘Jogja Memanggil’
Demo ‘Jogja Memanggil’ yang merupakan rangkaian dari aksi ‘Indonesia Gelap’ berlangsung kondusif di Malioboro. Massa mulai memisahkan diri saat sore, lalu pulang dengan tenang. Suasananya kontras dengan aksi ‘Indonesia Gelap’ yang terjadi di berbagai daerah seperti Jakarta, Surabaya, hingga Makassar.

Di Jakarta, aksi ‘Indonesia Gelap’ sudah berlangsung di depan Patung Kuda sejak Senin (17/2/2024). Berdasarkan laporan yang beredar di media massa, sejumlah elemen masyarakat sipil yang tergabung dalam aksi tersebut sampai melempar botol plastik, bilah kayu, dan sampah ke arah polisi. Begitu pula yang terjadi di Surabaya.
Lain halnya dengan suasana aksi ‘Jogja Memanggil’ yang kondusif. Meskipun ada juga kesamaannya. Di Malioboro, massa aksi membawa banyak poster berupa kritik terhadap 100 hari kinerja Prabowo-Gibran. Sesekali mereka juga menyanyikan lagu seperti Indonesia Pusaka.
Beberapa anggota aksi juga menyebarkan selebaran tentang kebijakan pemerintah yang dinilai tak adil. Misalnya, pajak pertambahan nilai (PPN) sebanyak 12 persen, kelangkaan gas 3 kilogram, konflik agraria, korupsi, UU Cipta Kerja, Dwifungsi dan militerisasi, makanan bergizi (tidak) gratis, pemangkasan anggaran pendidikan, dan sebagainya.
Namun, menurut pengalaman Savero (24), alumnus kampus di Jogja yang kini bekerja di Jakarta, suasana aksi di Jogja dan Jakarta sebetulnya tidak jauh berbeda meskipun isu yang diangkat sama.
“Di kedua tempat itu sebenarnya bisa sama-sama chaos, tapi mungkin karena Jakarta lebih dekat dengan pemerintah pusat jadi massanya lebih nekat,” ujarnya.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Pesan untuk Massa Aksi ‘Jogja Memanggil’ dari Mereka yang Terlihat Tenang di Kejauhan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.