Jika Anda pernah melewati Jalan Palagan Tentara Pelajar di Sleman, Jogja, mungkin bangunan pertama yang akan Anda langsung ingat namanya adalah Hotel Hyatt Regency Yogyakarta, atau biasa disebut Hotel Hyatt. Bagaimana tidak, hotel bintang 5 tersebut memiliki luas 24 hektare untuk menampung 269 kamar. Saking luasnya, tampang bangunan hotel bagian dari jejaring penginapan multinasional asal Chicago, Amerika Serikat ini tidak tampak dari luar, terhalang pohon-pohon besar.
Namun, ada yang tidak biasa dari kompleks Hotel Hyatt. Bukan soal gedungnya yang mewah atau lapangan golfnya yang luas. Jika diamati dengan teliti, ada satu rumah sederhana yang nyempil di halaman muka Hotel Hyatt.
Keberadaan rumah sederhana yang jelas bukan bagian Hotel Hyatt ini menimbulkan pemandangan cukup kontras. Hal yang membedakan rumah ini dari tanah milik hotel adalah sebuah papan penunjuk bertuliskan: “Warung Makan Bu Lasiyem”.
Adalah Tukidi (70), seorang kakek yang mendiami rumah tersebut sejak 1985. Ia adalah penduduk lama Padukuhan Sedan, Desa Sariharjo, Ngaglik, Sleman, wilayah domisili Hotel Hyatt. Bersama istrinya, Lasiyem (60), mereka membuka warung makan sederhana sejak 1995, sejak Hotel Hyatt dibangun.
Sebelum membuka warung makan, Tukidi kerja serabutan. “Saya kerja membangun rumah kalau ada proyek. Ibu jualan hasil kebun, kalau dulu ya ada nangka, pisang, macam-macam hasilnya,” ujar laki-laki berkacamata ini kepada Mojok. Menikah sejak 1979, Tukidi dan Lasiyem telah memiliki dua anak dan empat cucu.
Setiap pagi, Tukidi dan Lasiyem mempersiapkan makanan untuk warung mereka. “Saya bangun jam 3 pagi. Biasanya memanaskan air untuk mandi, lalu menyiapkan pakan kambing. Terus salat Subuh jam 04.20, pulangnya langsung belanja bahan makanan di Pasar Kranggan,” Tukidi menjelaskan.
“Saya nggak ikut meracik bumbu, Ibu yang bisa,” ucapnya tertawa. Setelah pulang dari pasar, Tukidi membersihkan halaman rumah dan bersiap-siap membuka warung. Kira-kira pukul 08.30 warung buka. Begitulah keseharian Tukidi dan Lasiyem. Sepanjang hari mereka melayani pembeli hingga pukul 17.00.
Sejarah rumah yang nyempil di halaman Hotel Hyatt Jogja
Rumah yang ditempati Tukidi dan Lasiyem sangat sederhana. Teras rumah berisi etalase untuk dagangan makanan, sementara di ruang tamu ada kursi dan meja makan bagi pelanggan. Tidak banyak perabotan atau hiasan di dinding rumah. Cat dinding pun sudah mulai memudar. Tanah yang saat ini ditempati oleh Tukidi dan Lasiyem merupakan pemberian orang tua.
“Rumah ini belum berubah dari dulu, belum dijual, kalau dijual pasti sudah berubah,” ujar Tukidi sambil tertawa. Lokasi rumah Tukidi memang unik, dikelilingi oleh pohon rimbun milik hotel walau halamannya sendiri pun memang sudah asri. Jika diperhatikan, sisi kanan, kiri, dan belakang rumah Tukidi dibatasi oleh pagar hitam tinggi milik Hotel Hyatt.
Sebelum Hotel Hyatt mulai dibangun pada 1995, hanya ada lima keluarga yang memiliki rumah di Padukuhan Sedan. Oleh karena itu Jalan Palagan masih sangat sepi, didominasi oleh tanah kosong dan sawah. “Jarak rumah kan jauh-jauh, rumah saya pernah digedor-gedor sama orang minta tolong karena ada begal,” Tukidi mengenang masa lalu.
Menurut Tukidi, tahun ‘90-an Jalan Palagan sudah beraspal, Ring Road pun sudah ada, meski tidak seramai sekarang. “Dulu belum ada perumahan, jadi belum ramai. Warung pun cuma ada tiga. Makanya dulu (warung saya) laris, wong nggak ada pesaingnya,” ingat laki-laki berbadan kurus ini.
“Dulu kalau musim hujan, ada angin kencang langsung nabrak tembok, anginnya naik ke atas, lalu genteng-genteng beterbangan,” Tukidi menjelaskan. Ia mencoba membandingkan dengan situasi saat ini, Ketika angin kencang sudah tertahan oleh banyaknya bangunan besar di sekitar Jalan Palagan.
Tukidi juga bercerita bahwa awal 1990, listrik belum tersambung ke daerahnya. “Waktu itu saya masih pakai lampu senthir (pelita). Saya lupa persisnya listrik ada tahun berapa, tapi waktu proyek Hotel Hyatt mulai tahun 1995, listrik sudah ada,” imbuhnya.
Tiga tahun sebelum Hotel Hyatt dibangun, yakni pada 1992, pihak Hyatt mulai mengincar tanah di Padukuhan Sedan dan melakukan negosiasi dengan warga agar mau menjual tanahnya. “Seingat saya yang dibutuhkan (Hyatt) sekitar 25 hektare, tapi saya tidak tahu berapa persisnya yang berhasil terjual,” ucap Tukidi.
Tanah milik Tukidi dan Lasiyem pun tak luput dari incaran. Dalam kurun waktu tiga tahun, dari 1992 hingga 1995, Hotel Hyatt melalui PT Antilope Madju bernegosiasi dengan Tukidi. Namun, hingga hotel tersebut dibangun, tak terjadi kesepakatan jual beli tanah. Makanya yang tampak sekarang adalah rumah Tukidi nyempil sendirian di muka Hotel Hyatt, sudah seperti adegan di film Up saja.
Buat apa jual rumah kalau nantinya dapatnya juga cuma rumah
Tukidi tidak menjual tanahnya untuk dijadikan Hotel Hyatt alasannya sederhana, ia merasa tak mendapat harga yang sesuai. Tanah yang dimiliki Tukidi luasnya 1.000 meter, dan ditawar Rp300 ribu per meter pada 1995 itu.Padahal menurut Tukidi, harga tanah termahal saat itu Rp350 ribu per meter.
“Saya minta harganya naik, tapi disuruh menghadap lagi. Lha, sing butuh sapa (yang butuh siapa)? Nanti kalau saya ke sana malah dibujuk, malah ditekan. Bisa goyah saya, bisa saya lepas tanah itu.”
“Andai kata rumah ini sudah saya jual, toh saya yakin sekarang uangnya sudah habis.”
Selain itu, Tukidi merasa bahwa proses negosiasi pasti melibatkan calo sehingga harga yang ditawarkan padanya sudah berkurang jauh.
Keputusan itu tidak ia sesali. Ia bahagia dengan rumah sederhananya. “Orang rumahnya pada bagus-bagus, tapi bukan dari keringat sendiri. Jual tanah terus, lalu setelah uangnya jadi rumah, ya punyanya hanya rumah itu. Mau beli rokok saja nggak bisa karena uangnya sudah habis,” Tukidi menggambarkan.
“Misalnya saya memilih jual tanah lalu dapat uang banyak, saya bisa beli mobil, bisa belanja ini-itu, tapi hidup saya jadi tidak bermakna. Saya seperti menjalani hidup dengan sesuatu yang cepat habis. Sementara tanah ini tidak akan habis,” lanjutnya.
“Orang tua zaman dulu ra nduwe (tidak berharta), tapi bisa mewarisi anak-anaknya. Sekarang rumahnya bagus-bagus, tapi sebenarnya tidak punya apa-apa,” ucapnya.
“Bagi saya, hidup itu yang penting dari hasil keringat sendiri. Nek omahku apik, aku ki anake sapa ta (Kalau rumahku bagus, memang aku ini anak siapa)? Lebih baik hidup apa adanya,” tutur Tukidi sambil tersenyum.
Walau tak terjadi kesepakatan jual beli tanah, proses negosiasi akhirnya berakhir dengan damai. Hotel Hyatt dibangun selama dua tahun sejak 1995, dan grand opening berlangsung tahun 1997.
Mengenang Jogja tempo dulu
Pembangunan Hotel Hyatt hanya satu dari sekian penanda perubahan yang terus terjadi di Jogja, kota yang makin hari makin metropolis.
Seingat Tukidi, sebelum Hyatt berdiri, pada awal ‘90-an hanya ada tiga hotel besar di kota ini, yakni Hotel Ambarrukmo (sekarang menjadi Royal Ambarrukmo Yogyakarta), Hotel Garuda (sekarang menjadi Grand Inna Malioboro), dan Hotel Mutiara (sekarang sudah dibeli Pemda DIY untuk dijadikan mal UMKM).
Jogja era ‘90-an di ingatan Tukidi adalah Jogja yang sepi. “Timur UGM yang sekarang jadi masjid itu, dulunya makam Tionghoa, lalu dipindah,” ingatnya. “Daerah Rumah Sakit Sardjito dulu juga masih sepi.”
Tukidi juga mengenang keberadaan bus Baker, transportasi umum yang sekarang sudah tidak beroperasi lagi. “Dulu adanya bus Baker jurusan Turi-Pakem, lalu berhenti, lalu muncul bus Aspada.”
Sekarang, Jogja sudah dipenuhi dengan kos-kosan, perumahan, kafe, pusat perbelanjaan, dan tentunya hotel. Di sekitar Jalan Palagan saja, selain Hyatt Regency Yogyakarta, kini ada hotel sangat besar lain seperti The Alana Yogyakarta Hotel & Convention Center dan Indoluxe Hotel Jogjakarta, keduanya bintang 4. Suasana jalan yang ramai menjadi makanan sehari-hari Tukidi.
“Karena sudah terbiasa ya nggak masalah. Dulu pertama kali ya kaget, kalau sekarang mau ada suara bising tetep bisa tidur,” ungkapnya.
Sebagai warga yang rumahnya nyempil di halaman, Tukidi mengaku baru pernah sekali masuk ke hotel tersebut. “Lupa dalam rangka apa, kalau tidak salah diundang untuk silaturahmi, istilahnya ya makan-makan. Yang lain malah ana sing gawa plastik mbungkusi panganan (ada yang membawa plastik untuk membungkus makanan),” Tukidi tertawa.
Sementara istri Tukidi, Lasiyem, belum pernah masuk hotel. “Belum pernah. Biasa saja, nggak kepingin. Buat apa?” kata Lasiyem enteng.
Penampilan Tukidi dan Lasiyem mencerminkan hidup mereka yang sederhana. Makanan di warung mereka pun ramah di kantong. Nasi lauk ayam plus minum seharga Rp10 ribu. Sayur dan nasi putih masing-masing Rp3 ribu, sementara tiga gorengan dihargai Rp2 ribu. “Ora larang, wong apa-apa larang je (tidak mahal, apalagi sekarang semuanya mahal),” tutur Lasiyem.
Walau warung makan Tukidi dan Lasiyem nyempil, ada saja pelanggan yang setia berkunjung. Mereka punya banyak langganan sejak lama. Termasuk pegawai Hotel Hyatt pun kerap makan di sini. Mungkin karena harganya murah.
“Warungnya sudah lama, jadi banyak yang langganan. Pokoknya yang sudah terbiasa lewat sini sudah hafal,” kata Tukidi. “Karyawan (Hotel Hyatt) malah suka makan di sini.”
Di Tiket.com, harga sewa kamar termurah di Hotel Hyatt per malam Rp1 juta, sudah dengan sarapan. Ongkos segitu jika dibayar menggunakan upah minimum provinsi DIY, masih ada kembalian Rp765 ribu. Kalau ditukarkan dengan nasi ayam plus minum di Warung Makan Bu Lasiyem, bisa untuk memberi makan 100 orang.
Jika kelak Tukidi meninggal, rumah beserta tanah itu akan ia berikan kepada anak-anaknya. Demikian pula keputusan apakah rumah dan tanah itu akan dijual. Ia membebaskan anak-anaknya, siapa tahu kelak mereka butuh uang dalam jumlah besar.
Kini harga tanah tersebut sekitar Rp20-30 juta per meter. “Ini pajak saja per tahun Rp2,5 juta per tahun,” katanya. Jika dijual, artinya harga tanah saja di kisaran Rp20-30 miliar.
Apa pun yang akan terjadi nanti, yang jelas saat ini Tukidi dan Lasiyem bisa hidup tenang. Mereka punya pekerjaan, meski penghasilannya tak besar-besar amat, dan terutama punya tempat berteduh milik sendiri. Lengkap dengan halaman, pepohonan, udara segar yang bebas keluar masuk, serta sinar matahari. Inilah kemewahan terbesar milik Tukidi dan Lasiyem yang sulit dicapai oleh anak muda Jogja sekarang.
BACA JUGA Lim Wen Sin, Tionghoa yang Memilih Bersama Petani di Kaki Merapi dan liputan Mojok lainnya.