Nasi minyak belakangan viral di Twitter dan TikTok. Salah satu hidden gem di Surabaya itu menuai pro dan kontra dari warganet. Banyak yang menyebut bahwa Nasi Minyak Surabaya adalah gambaran nyata makanan tak sehat yang sebaiknya tak dikonsumsi. Namun, bagi pecinta kuliner nasi minyak menjadi salah satu rekomendasi makanan yang harus dicoba di Kota Pahlawan.
Mojok berkunjung ke warung nasi minyak untuk bertemu pemiliknya yang bernama Pak Bukhori. Sudah 20 tahun ia jualan bebek goreng. Kepada Mojok, ia curhat tentang keinginan mengembangkan nasi minyaknya yang sampai saat ini nggak punya nama resmi.
***
Viralnya nasi minyak bermula saat akun TikTok @tiktok_kulineran mengunggah video reviewnya untuk lapak bebek goreng yang mangkal di Jl. Mojopahit No 26, Keputren, Surabaya itu.
Video yang sudah ramai komentar itu lalu diunggah ulang oleh akun Twitter @txtdrkuliner. Tak lama kemudian, banjir lah kolom komentar @txtdrkuliner dengan dominasi komentar-komentar nyelekit.
Saya akan membuka tulisan ini dengan mengutip beberapa komentar pedas warganet mengenai nasi minyak ini.
Disebut mirip ‘Vrindavan’, kotor dan jadi sumber penyakit
“Orang-orang kita sering ngatain masakan Vrindavan (India) kemproh-kemproh. Ngaca! wong kita juga suka sama masakan beginian.”
“Iku jenenge guduk nasi minyak min, tpi nasi penyakit!!! (Itu namanya bukan nasi minyak min, tapi nasi penyakit!!!).”
“Kolesterol dan stroke dalam satu sajian piring.”
“Welcome pala puyeng, gampang marah. Alias kolesterol dan darah tinggi. Baekbaek struk. Bapak gue udah soalnya.”
Dan tentunya masih ada sekian banyak komentar bernada serupa. Bahkan Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu Anak (GIZI KIA) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) Ni Made Diah dan Dokter spesialis penyakit dalam RSI Jemursari, dr Ardyarini Diah Savitri SpPD sampai ikut mengingatkan masyarakat terkait potensi penyakit yang pemicunya karena seringnya mengonsumsi makanan berminyak semacam nasi minyak tersebut.
“Bisa meningkatkan kadar kolesterol dan bisa mengakibatkan berbagai penyakit. Contohnya jantung koroner yang paling ditakutkan. Apalagi minyak jelantah. Minyak yang sering dipakai menggoreng itu bisa mengubah minyak dan bisa mengakibatkan kanker jika dikonsumsi,” kata dr Ardyarini dikutip dari Detik Jatim.
Memangnya separah itu kah masakan nasi minyak yang tengah viral ini? Jika membaca review di kolom komentar @txtdrkuliner, dikatakan kalau menu di lapak nasi memasaknya menggunakan minyak jelantah yang tak diganti. Dari videonya pun terlihat, minyak yang dipakai di wajan penggorengan terlihat sampai menghitam.
Tak hanya dalam hal goreng-menggoreng, bahkan untuk bumbu, sambal, hingga lalapan pun tak lepas dari baluran minyak.
Makin penasaran, saya akhirnya melipir ke lapak nasi minyak yang berada di pertigaan samping Universitas Widya Mandala, Surabaya, pada Selasa (17/01/2023).
Para pembeli yang menikmati
Mungkin karena malam itu hujan mengguyur Surabaya, lapak nasi minyak masih belum terlalu ramai saat saya tiba di lokasi pukul 20.00 WIB. Karena biasanya—lebih-lebih semenjak viral—pembeli akan menyerbu lapak nasi minyak sejak buka pukul 19.00 WIB.
Malam itu hanya beberapa pembeli saja yang tampak duduk menikmati sepiring menu pesanan masing-masing. Rerata dari kalangan mahasiswa dan karyawan-karyawan muda.
Tak hanya pembeli yang dine in dengan duduk di bangku plastik, ada juga beberapa pembeli yang memesan dan menikmati nasi minyak di dalam mobil. Kalau yang ini rerata dari kalangan Tionghoa.
Sebagai informasi, lapak nasi minyak memang hanya berupa rombong kecil yang mangkal di pinggir jalan. Bukan warung dengan dilengkapi meja-kursi untuk pembeli. Jadi jika sedang ramai, mau tak mau harus makan sambil ngemper kalau sudah tidak kebagian bangku plastik yang memang tak tersedia dalam jumlah banyak.
“Baru pertama ke sini, gara-gara viral di TikTok, jadi penasaran. Tapi sebenarnya nggak selebay yang dinarasikan di TikTok sih menurutku. Nggak yang berminyak-berminyak banget,” ungkap Ananda (23) usai menandaskan satu porsi nasi bebek yang ia pesan.
“Kalau makanan semacam ini disebut biang kolesterol, oke saya setuju. Tapi kita kan nggak setiap hari juga makan nasi minyak. Cuma pingin menikmati kuliner yang lagi viral saja, Mas,” ujar Nabil (25).
“Enak sih memang. Sambelnya pas, bumbu kuningnya, duh, enak lah pokoknya. Kalau soal sehat nggak sehat, tinggal bagaimana kita ngaturnya. Misalnya, kalau aku pribadi ya diimbangi dengan sehari-hari nerapin pola hidup sehat,” kata Risha (23)
Ya dunia ini kan pada dasarnya penuh paradoks. Justru dari makanan yang dicap “penuh dosa” karena tak sehat inilah Pak Bukhori (57), pemilik lapak Nasi Minyak, menyambung hidup selama bertahun-tahun.
Dari jualan buah banting setir ke bebek goreng
Dalam situasi lapak yang masih agak senggang, Pak Bukhori dengan antusias mempersilakan saya bertanya-tanya perihal perjalanan nasi minyak miliknya yang belakangan tengah viral dan banyak orang mencarinya. Kesempatan ngobrol ini sekaligus jadi kesempatan ia untuk menyampaikan suara hatinya.
Pria asal Madura itu bercerita, tahun-tahun sebelum 2002 ia masih jualan buah potong secara keliling. Hanya saja ia memutuskan berhenti karena merasa tak terlalu bisa mengambil banyak keuntungan.
“Apalagi kalau musim hujan, pemasukan kurang, tambah sepi. Akhirnya punya ide buka bebek goreng,” ungkapnya dengan logat khas Maduranya.
Kenapa langsung jualan bebek goreng yang terbesit di benak Pak Bukhori? Ia meniru kebanyakan orang Madura yang ternyata sukses dari buka warung bebek goreng (penyetan). Selain itu, menurutnya, jualan makanan seperti bebek goreng tak akan terpengaruh oleh musim. Baik hujan maupun panas, jika orang merasa lapar pasti akan tetap nyari makan.
Di awal-awal 2002, Pak Bukhori mulai jualan bebek goreng dengan keliling. Lama-kelamaan setelah ia mempunyai banyak pelanggan, ia lalu memilih mangkal di Jl. Mojopahit.
“Kalau saya terus keliling, kasihan pelanggan ada yang sering kecele, muter nyariin tapi nggak ketemu-ketemu. Jadi saya jualan di sini saja,” ujarnya.
Sebenarnya Pak Bukhori memiliki keinginan untuk membeli tanah yang nantinya ia mendirikan warung bebek goreng. Tentu agar para pembeli menjadi lebih nyaman. Akan tetapi, kata Pak Bukhori, jangankan membeli tanah, harga sewa saja menurutnya sangat tak terjangkau. Dengan begitu sementara ini ia masih harus bersabar jualan di pinggir jalan sambil sedikit demi sedikit menambah tabungan.