Hingga kini tak punya nama resmi
Untuk soal nama lapaknya, Pak Bukhori sendiri mengaku tak pernah memberinya nama resmi.
Adapun nama Nasi Minyak Surabaya seturut keterangannya adalah pemberian dari mahasiswa-mahasiswa Widya Mandala sejak 4 tahun yang lalu.
Nama tersebut merujuk pada sajian menu di lapak Pak Bukhori yang full minyak. Sudah bebek-ayam-jeroan digoreng pakai minyak, sambal dan bumbu kuning diguyur minyak. Kubis yang untuk lalapan juga tak luput dari minyak karena turut digoreng.
“Itu bedanya di sini sama warung lain. Di sini kubisnya digoreng,” jelas Pak Bukhori.
“Ada juga yang nyebut (lapak ini) bebek fitness, karena dulu pernah saya masak pakai bebek tua yang dagingnya alot kalau merebusnya nggak lama. Ada juga yang ngasih nama bebek BRI; Bebek Rombong Ijo karena rombong saya warnanya hijau. Terserah arek-arek lah,” tambahnya.
Guyuran minyak bikin makin nikmat
Di tengah-tengah obrolan kami, pembeli mulai berdatangan. Pak Bukhori momohon diri untuk membantu dua karyawannya, yang tidak lain adalah anaknya sendiri.
Saya pun mengikuti Pak Bukhori mendekat ke wajan penggorengan, melihat bagaimana ia menggoreng bebek-ayam-jeroan kemudian menyajikannya.
Sebelum memasukan ke wajan penggorengan yang sudah berisi minyak panas, Pak Bukhori terlebih dulu memasukan bebek-ayam-jeroan ke dalam sebuah stoples berisi air berwarna kuning. Menurut Pak Bukhori, air dalam stoples tersebut juga menjadi salah satu faktor yang membuat bebek-ayam-jeroannya terasa lebih gurih.
“Ini air garam sama bawang putih, untuk penyedap,” jelasnya sembari memasukkan beberapa potong daging bebek dan ayam pesanan ke dalam wajan penggorengan.
Pak Bukhori pun lantas membeberkan, lapaknya sebenarnya sudah ramai sejak tahun-tahun pertama ia jualan. Lalu bertambah ramai setelah mahasiswa Widya Mandala memperkenalkannya dengan brand “Nasi Minyak”. Dan belakangan menjadi buruan banyak orang karena viral di media sosial.
Minyak hitam karena lemak bebek
Ia menuturkan, ada sedikit rasa heran kenapa orang-orang seolah kaget dengan sajian masakan yang penuh minyak di lapaknya. Pasalnya, hal itu sudah ia lakukan bertahun-tahun sebelumnya.
“Kalau sambal sama bumbu kuningnya masih kental, rasanya agak kurang sedap. Kalau ada guyuran minyak, nah baru lebih nikmat,” tuturnya.
Berdasarkan pengakuan salah satu kawan saya yang asli Madura, kecenderungan orang Madura memang suka makanan yang agak oily. Termasuk sambal, bagi lidah Madura, akan terasa kurang sedap kalau tak mengguyurnya dengan minyak.
Lalu terkait minyak yang berwarna hitam, Pak Bukhori mengaku kalau minyak yang ia pakai adalah minyak dari lemak bebek, yang memang berwarna hitam dan agak kental. Secara tak langsung menjawab rasa ‘geli-geli jijik’ warganet saat melihat warna minyak yang digunakan untuk menggoreng.
Tersedia juga menu ayam goreng
Melihat Pak Bukhori menghidangkan pesanan demi pesanan untuk pembeli, lidah saya langsung kemecer, lambung saya meronta-ronta hebat. Saya pun memesan satu porsi nasi minyak dengan pilihan lauk paha ayam. (Duh sayang sekali bagian ayam favorit saya, yakni sayap, sudah ludes duluan).
Pak Bukhori tak banyak menyediakan potongan ayam goreng, karena menu utamanya memang bebek goreng.
“Dalam sehari itu bisa 20 sampai 25 potong bebek. Kalau ayamnya paling cuma 10 potong. Sisanya jeroan,” paparnya.
Untuk satu porsi nasi minyak, baik pakai ayam maupun bebek, harganya Rp20 ribu. Sementara untuk jeroan harganya Rp17 ribu. Kalau mau beli tanpa nasi, ayam dan bebek banderol harganya Rp15 ribu, sedangkan jeroan Rp12 ribu.
Untuk minumnya Pak Bukhori hanya menyediakan air mineral. Nah, air mineral itu punya dua fungsi, selain untuk minum juga untuk cuci tangan, karena di sini tidak menyediakan kobokan. Kecuali kalau Anda makannya pakai sendok. Tapi rasanya kurang afdal deh kalau nggak pakai tangan, biar ada minyak-minyaknya.
Sambal sengaja tak pedas
Sambal yang dalam satu porsi pun, menurut saya yang tak begitu suka pedas, sangat melimpah. Melihat warna merah merona dari sambalnya saya sebenarnya sudah bergidik, membayangkan bagaimana lidah dan lambung saya bakal jadi pesakitan jika mencecapnya.
Namun, setelah saya cicipi, ternyata sambalnya tak terlalu pedas. Seturut penjelasan Pak Bukhori, ia memang sengaja menakar sambalnya sedemikian rupa, agar orang-orang yang tak suka—atau tak tahan—dengan pedas masih tetap bisa menikmati.
“Kalau terlalu pedas nanti malah makannya nggak enak, malah kurang bisa menikmati,” ucapnya.
So far, sambal dan bumbu kuningnya memang mantap. Ya meskipun tekstur ayam goreng—yang saya pasan—tak terlalu empuk. Soal cara masak yang mirip ‘Vrindavan’, cap makanan tak sehat dan sumber penyakit, saya kembalikan ke masing-masing saja.
“Ina ini ita itu, enggak suka ya sudah enggak usah beli, repot banget.” kalau kata salah seorang warganet yang saya kutip di kolom komentar @txtdrkuliner.
Reporter: Muchammad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Menelusuri Bebek Purnama yang Pertama di Surabaya, Ternyata Tidak Buka Cabang dan liputan menarik lainnya di rubrik Liputan.