Ada beberapa warung makan dan kafe di Jogja yang tetap mempertahankan sistem pembayaran tradisional meski berisiko rugi. Pembeli bisa saja pergi tanpa bayar. Pengelola punya tujuan lain daripada sekadar mencari untung.
***
Kabar nombok Kopi Klotok jadi perbincangan. Pasalnya, hampir setiap hari ada ratusan item menu telur, ikan pindang, hingga tempe goreng yang raib tanpa terbayarkan ke kasir.
Selain Kopi Klotok, ada pula Mato Kopi yang tetap mempertahankan cara lama. Pembayarannya memang di awal. Namun, tanpa nota dan nomor meja, padahal kedai kopi yang punya beberapa cabang di Jogja ini terbilang ramai pembeli.
Sistem pembayaran warung dengan risiko kecolongan
Berangkat dari Kopi Klotok, warung ini punya lahan seluas 3.000 meter persegi. Area yang cukup luas membuat pelanggan bisa keluar masuk dengan fleksibel tanpa pemantauan.
Saya sempat berbincang dengan Tono (25), orang yang mengaku beberapa kali memesan menu tanpa membayar di warung tersebut. Ia biasanya datang bergerombol dengan beberapa temannya. Lantas ketika waktunya membayar, hanya salah satu di antara mereka yang ke kasir.
Pemilik warung bukannya tidak menyadari perilaku seperti itu. Pemiliknya, Sri Handayani mengaku paham banyak pelanggan yang tidak membayar sejak awal-awal warung ini buka.
“Sering dapat laporan, ada yang makan dibawa ke sebelah sana (menunjuk arah timur), setelah itu langsung pergi tidak bayar, tidak apa-apa, dari awal saya sudah ikhlas buka usaha ini,” kata ibu empat anak ini melansir Kompas.com.
Cerita lain datang dari Mato Kopi, pembayaran di awal tak membuat celah tertutup. Sebab kedai kopi ini tidak memberikan struk tagihan kecuali pembeli yang meminta secara khusus. Selain itu, tidak ada nomor antrean dan nomor meja untuk kedai yang cukup luas dan ramai pelanggan ini.
Setiap berkunjung ke sana, setelah memesan dan membayar saya akan menjumpai karyawan berkeliling. Sembari membawa pesanan di nampan, ia akan menyebut pesanan.
“Ada yang pesen makan? Ada yang pesen minum?” ucap karyawan sambil membawa baki penuh kopi dan makanan mengitari meja-meja pelanggan.
Potensi orang yang mengaku memesan padahal tidak membayar terbuka lebar. Namun, pemilik kedai ini, Hanafi Baedhowi mengaku tidak ambil pusing.
“Kami sejak awal tidak pakai bill dan nomor antrean. Memang begini ini yang sudah jadi ciri khas. Eman-eman (sayang) kalau dihilangkan,” katanya tertawa saat saya wawancara 2022 silam.
Risiko buat pelanggan
Sistem ini juga punya kelemahan lain yakni antrean yang kadang tidak tertata. Ada yang sudah memesan duluan, tapi dapatnya belakangan.
Setiap cabang memang punya rupa-rupa pelanggan yang berbeda. Mato Kopi Kaliurang misalnya, menurut Cak Hanafi kebanyakan pelanggannya mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII). Daya belinya tinggi dan terbiasa dengan kedai-kedai kopi modern sehingga kadang tak kaget dengan sistemnya yang tanpa bill dan nomor antrean.
“Di sini memang kami sering dapat protes tentang bill. Tapi alhamdulillah mereka jajannya banyak. Sekali duduk pesan kopi dan makan. Nanti habis beli lagi,” katanya. Kebetulan saat itu kami berbincang di cabang Mato Jalan Kaliurang.
Pada akhirnya, sistem ini akhirnya mengandalkan kepercayaan antara penjual dan pembeli. Nyatanya, dengan segala kekurangan dan kelebihan ciri khasnya, Mato Kopi tetap ramai pembeli.
Hanafi punya dua jenama kedai kopi yakni Secangkir Jawa dan Mato Kopi. Keduanya sebenarnya punya konsep yang nyaris serupa. Mulai dari tata ruang, menu, hingga sistem pelayanan.
Harga menunya memang terkenal terjangkau. Bermodalkan Rp6 ribu, pembeli sudah bisa menikmati secangkir kopi hitam pekat dengan jaringan WiFi yang lumayan untuk berselancar di dunia maya dan mengerjakan tugas.