Toples Tupperware Beri “Kesedihan Abadi” usai Ibu Tiada dan Rasa Iri pada Keluarga Teman Sendiri

Toples Tupperware bikin nelangsa usai ibu tiada dan rasa iri karena kemiskinan keluarga MOJOK.CO

Ilustrasi - Toples Tupperware bikin nelangsa usai ibu tiada dan rasa iri karena kemiskinan keluarga. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Tupperware, dengan produk rumah tangga seperti botol, toples, kotak makan, dan sejenisnya, memang melekat pada ingatan sebagian banyak orang Indonesia. Terutama antara ibu (emak-emak) dengan anaknya.

Karena itulah muncul anekdot: Kasih sayang ibu pada Tupperware jauh lebih besar ketimbang pada anaknya sendiri. Karena jika seorang anak membawa Tupperware milik si ibu, si ibu mesti berpesan, “Jangan sampai hilang!”.

Namun, tidak semua orang punya ingatan “menyenangkan” dengan produk asal Amarika Serikat tersbut.

Sebelumnya, Mojok menyimak cerita bagaimana Tupperware memberi trauma pada seseorang: betul-betul dimarahi ibu lantaran menghilangkan botol milik ibu di sekolah.

Jejak keramahan ibu pada toples dan botol Tupperware

Almarhumah ibu Kamal (26) adalah seorang guru berstatus PNS. Seingat Kamal, sudah sejak dia masih SMP, ibunya “mengoleksi” produk-produk Tupperware. Di antaranya toples, botol, dan kotak makan.

“Toples Tupperware itu nggak pernah kosong. Selalu diisi camilan. Kripik, marning, kacang polong. Itu selalu ditaruh di meja ruang tamu. Nggak usah nunggu lebaran. Kalau isinya habis, isi ulang,” ungkap Kamal, Senin (14/4/2025).

Sejak SMP hingga SMA, rumah Kamal memang selalu menjadi jujukan teman-teman sekolahnya. Bahkan setelah dia kuliah pun, tiap pulang ke kampung halamannya di Kediri, Jawa Timur, teman-teman SMA-nya masih sering main ke rumahnya.

Alih-alih terganggu, ibu Kamal malah merasa senang rumahnya jadi jujukan. Sebab, dengan begitu, dia tahu kalau Kamal punya banyak teman.

“Karena itu ibu suka nyepakke (nyiapin) camilan buat anak-anak. Kalau ngumpul tinggal nyemil. Kadang dibuatin es juga sama ibu. Kalau nggak ya minimal air dingin dalam botol (Tupperware),” tutur Kamal.

Daripada Kamal keluyuran, ibu Kamal lebih suka begitu: modal beli camilan biar Kamal dan teman-temannya nongkrong di rumah saja. Itu lebih baik karena lebih terkontrol.

Kotak makan untuk berbagi di sekolah

Semasa SMP hingga SMA, Kamal terhitung beruntung. Karena ketika kebanyakan temannya tidak ada yang membawa bekal, ibunya senantiasa membawakannya bekal dalam kotak makan Tupperware.

“Kadang nasi. Kadang roti tawar,” ungkap Kamal. “Tapi itu akhirnya buat kumakan bareng-bareng sama beberapa temen kelas.”

Bahkan, kadang Kamal tidak ikut makan. Dia bawa bekal dari ibunya memang untuk dibagikan ke teman-temannya.

Hingga kini, setiap ketemu dengan teman-teman SMA-nya dulu, momen-momen tersebut selalu terkenang. Ada perasaan lega di hati Kamal, karena ibunya terkenang baik dalam ingatan orang lain. Di saat bersamaan, ada perasaan nelangsa yang diam-diam menyelinap di batinnya.

Baca halaman selanjutnya…

Semua berubah usai ibu tiada dan rasa iri keluarga miskin pada keluarga teman sendiri

Semua berubah setelah ibu tiada

Ibu Kamal meninggal pada 2021 silam, di tengah gelombang pandemi Covid-19. Sejak hari duka itu, semua berubah. Gairah hidup Kamal berubah. Begitu juga suasana di atas meja ruang tamu rumahnya.

Beberapa toples Tupperware memang masih dia pertahankan di atas meja. Sementara sisanya tidak terpakai lagi. Tapi tidak seperti di semasa hidup ibunya, toples-toples itu kini lebih sering kosong.

“Lebaran demi lebaran, tiap aku ngisi toples itu dengan jajanan, setelahnya aku mesti terduduk sambil menatap toples-toples itu. Rasanya kosong sekali,” ungkap Kamal.

Lulus kuliah Kamal sudah tidak lagi merantau di luar Kediri. Dia merintis bisnisnya sendiri di Kediri. Artinya, dia punya banyak waktu di rumah.

Hal itu tentu saja membuat Kamal lebih sering nongkrong dengan teman-teman SMA-nya. Akan tetapi, Kamal justru lebih sering mengajak teman-temannya nongkrong di luar.

“Kalau temen-temenku ngumpul di rumah, suka bikin sedih. Ada aja yang nyeletuk, ‘Kangen suara ibumu. Kangen disuruh makan, dan lain-lain’,” beber Kamal.

Tupperware: bikin iri keluarga miskin (1)

Dari Kamal, Mojok pun berbincang dengan salah satu teman SMA-nya yang sering nongkrong di rumahnya: Septian (26).

Septian jelas merasa tidak relate dengan kabar bangkrutnya Tupperware. Dia bukan pengguna.

Namun, kalau ditanya kenangan, secara tidak langsung dia tentu saja punya. Mengingat, dia sering bersinggungan dengan toples-toples di rumah Kamal.

“Kalau toples di rumahku itu kan toples bekas makanan apa gitu. Misalnya, toples Khong Guan. Disimpan buat diisi rengginang. Toples bekas permen karet Yosan yang bulet itu buat diisi jajanan lain. Gitu-gitu lah,” beber Septian.

“Kotak makan apalagi. Ya nggak punya lah. Dulu zaman sekolah itu pilihannya dua, kalau nggak sarapan di rumah ya nggak sarapan sama sekali. Nggak ada bekal-bekalan,” sambungnya.

Septian mengaku baru ngeh betapa prestisnya “Tupperware” sejak lulus SMA. Sebelumnya, dia hanya tahu kalau kotak makan dan toples di rumah Kamal bernama itu. Sebatas itu. Tidak lebih.

Sejak tahu itu prestisnya merek tersebut, Septian malah makin sadar, betapa pas-pasannya kondisi keluarganya karena memegang prinsip: daripada beli toples mahal-mahal, kan mending pakai toples-toples bekas. Toh fungsinya sama saja: buat naruh camilan.

Bikin iri keluarga miskin (2)

“Dulu irinya sebatas: enak ya Kamal sekolah dibawain bekal ibunya. Enak ya di rumah Kamal, pasti ada camilan,” ucap Septian.

Lalu di kemudian hari, setelah Septian tahu betapa prestisnya Tupperware, irinya bertambah: dulu ternyata kehidupannya jauh dari “kemewahan.

Ada keinginan Septian membeli sejumlah produk Tupperware untuk istrinya (Septian menikah sejak usia 23 tahun. Lebih dulu ketimbang Kamal yang sampai saat ini masih belum niat menikah, meskipun memiliki pacar). Agar istri Septian punya kebanggan karena memiliki produk tersebut. Tapi belum juga terealisasi, Tupperware malah sudah kukut.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Selamat Jalan Tupperware, Terima Kasih Telah Memberikan Trauma Masa Kecil dalam Keluarga atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

 

 

Exit mobile version