Pakar UGM menilai, sikap Megawati atas retret adalah upaya menjaga kewibawaan PDIP agar tetap garang meski sedang babak belur.
Hingga Sabtu (22/2/2025) pukul 07.45 WIB, belum ada instruksi lanjutan dari Ketua Umum (Ketum) PDI Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputi, atas instruksi agar kepala daerah kader PDIP menunda keikutsertaan retret di Magelang.
Sehari sebelumnya (Jumat (21/2/2025)), hingga batas penutupan check-in retret, Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri), Bima Arya, menyebut ada sebanyak 53 kepala daerah yang absen dari retret. 47 di antaranya tanpa alasan, sementara sisanya mengirim surat ketidakhadiran.
Diketahui, instruksi Megawati pada kepala daerah kader PDIP tertuang dalam Surat Nomor 7294/IN/DPP/II/2025, Kamis (20/2/2025), menyusul ditahannya Sekjen DPP PDIP, Hasto Kristiyanto, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan suap dan menghalangi penyidikan kasus Harun Masiku.
Sejumlah kepala daerah kader PDIP memilih tegak lurus atas instruksi tersebut: menunda keberangkatan ke Magelang.
Megawati menjaga disiplin dan wibawa PDIP
Pakar Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Arga Pribadi Imawan, menilai sikap Megawati sebagai cerminan dari disiplin partai.
“Itu terwujud dengan: ketika kader partai ada masalah tertentu, maka kader partai yang lain harus ikut merasakan dan harus memikirkan jalan keluar masalah tersebut,” beber Arga kepada Mojok, Jumat (21/2/2025). Dalam konteks ini adalah bagaimana Megawati merespons ditahannya Sekjen DPP PDIP, Hasto Kristiyanto.
Dalam kontestasi politik 2024, posisi PDIP memang terkesan babak belur: kalah di Pilpres dan Pilgub Jawa Tengah (Jateng). Lalu petingginya (Hasto) terjerat kasus pidana.
“Ini (sikap Megawati atas retret) adalah bentuk bagaimana Megawati menjaga kewibawaan PDIP agar tetap “garang” meski sedang babak belur,” sambung Arga.
Kepala daerah kader PDIP tunduk pada Megawati, tidak pada rakyat?
Seperti sama-sama diketahui, instruksi Megawati tersebut terbukti “sakti”. Kepala daerah kader PDIP memilih menunda keberangkatan ke Magelang.
Di luar sana, sejumlah pihak menilai bahwa sikap kepala daerah tersebut semakin menunjukkan bahwa kepala daerah memang hanya bekerja atas kepentingan partai. Bukan atas kepentingan rakyat.
Namun, Arga punya pandangan berbeda. Dia mengimajinasikan posisi kepala daerah dengan bandul newton.
“Jika satu bola ditarik dan dilepas, akan ada tiga bola yang diam, ada satu yang terlontar. Yang terlontar itu akan balik lagi menghantam tiga bola, lalu membuat bola pertama terlontar,” begitu ilustrasi Arga.
Maksud Arga, kepala daerah yang berhasil menduduki jabatan publik posisinya seperti bandul. Satu sisi harus menjaga representasi kepentingan partai politik, di sisi yang lain juga harus menjaga representasi kepentingan rakyat.
“Kalau untuk kepentingan parpol, maka akan menjauh dulu dari kepeningan rakyat. Tapi nantinya akan kembali ke kepentingan rakyat dengan menjauh dulu dari kepentingan parpol,” beber Arga.
“Jadi tidak saklek kepentingan parpol saja, atau kepentingan rakyat saja,” sambung Pakar Politik UGM tersebut. Sebab, kepala daerah bagaimana pun adalah kader parpol, sekaligus juga dipilih (mendapat dukungan) dari rakyat.
Efektivitas retret tak kalah menarik
Selain drama politik retret yang kini riuh jadi pembahasan, bagi Arga, menyoal efeketivitas retret juga tak kalah menarik.
Pada dasarnya, retret diniatkan untuk sinkronisasi dan penyamaan visi antarinstitusi pemerintahan. Dulu antara Presiden (Prabowo) dengan jajaran Kementeriannya sekaligus penyamaan visi antarkementerian. Lalu sekarang adalah upaya harmonisasi antara pusat dengan daerah.
“Tapi itu tidak terlalu terlihat efektif selama ini (100 hari kerja Prabowo-Gibran). Belum tercermin dalam kerja-kerja secara kolaboratif,” papar Arga.
100 hari Prabowo-Gibran minim kejelasan
Pakar Politik UGM yang lain, Hendry Noor Julian memaparkan sejumlah ketidakjelasan kinerja Prabowo-Gibran dalam 100 hari masa kerjanya.
Di bidang supremasi hukum, Dosen Fakultas Hukum itu menyoroti melemahnya sistem check and balance dalam pemerintahan saat ini. Mengutip teori Donald Black dalam The Behavior of Law, Hendy menjelaskan bahwa kedekatan politik bisa membuat hukum kehilangan daya berlakunya.
Hal itu merujuk pada dominasi koalisi di parlemen yang berpotensi mengurangi efektivitas pengawasan terhadap kebijakan pemerintah.
“Alih-alih menjadi mekanisme kontrol, hubungan eksekutif dan legislatif saat ini cenderung bersifat partnership,” jelas Hendry dalam Diskusi Pojok Bulaksumur bertajuk “Dari Janji ke Aksi: 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran”, Jumat (7/2/2025).
Di awal pemerintahan, kata Hendry, ide Prabowo yang akan memaafkan koruptor menuai banyak kritikan dan kecaman. Sebab, menurut perspektif hukum, status seseorang sebagai koruptor harus didasarkan pada putusan hukum yang berkekuatan tetap.
“Jika benar ada mekanisme yang memungkinkan koruptor bebas setelah mengembalikan uang negara, hal ini akan menimbulkan banyak persoalan, terutama dalam hal penegakan hukum dan keadilan,” sambung Hendy.
Asta Cita tak terealisasi konkret
Sementara di waktu yang sama Mada Sukmajati dari Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM menilai bahwa janji-janji dalam Asta Cita (delapan program prioritas) pemerintahan Prabowo-Gibran masih belum terealisasi secara konkret.
Dia menyebut beberapa program seperti makan siang bergizi gratis, pemeriksaan kesehatan gratis, dan pembangunan sekolah unggul masih minim kejelasan dalam perencanaan dan eksekusi.
“Kenyataannya implementasi masih parsial dan bahkan dalam beberapa aspek kita tidak tahu bagaimana mekanismenya,” ujar Mada.
Belum lagi efisiensi anggaran yang menyebabkan puluhan ribu pekerja kehilangan mata pencaharian karena kena PHK.
Kebijakan-kebijakan di 100 hari kerja Prabowo-Gibran, seolah tidak mencerminkan lahir dari hasil perencanaan yang matang dan kolaboraitif. Malah lebih terkesan asal-asalan.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Solo Fighter vs Keroyokan di Kandang Banteng, Benarkah Jateng Tak “Merah” Lagi? atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












