Akademisi UGM menyebut ada ekstrakurikuler yang lebih penting dari Pramuka, menyusul pencabutan Pramuka dari status ekstrakurikuler wajib. Namun, di lain sisi, ada orang yang cukup bergantung pada ekstrakurikuler ini: pembina Pramuka. Pencabutan Pramuka dari status ekstrakurikuler wajib membuat pemasukan tambahannya terancam.
***
Polemik mengenai pencabutan Pramuka dari status ekstrakurikuler wajib masih terus jadi perbincangan sejak penetapan Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 pada 25 Maret 2024 lalu.
Untuk diketahui, merujuk pada Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 tersebut, Pramuka yang awalnya merupakan ekstrakurikuler wajib kini menjadi ekstrakurikuler sukarela. Artinya, setiap siswa boleh berpartisipasi, boleh juga tidak.
Beberapa elemen Kepramukaan sontak mempertanyakaan kebijakan tersebut. Bahkan Kwartir Nasional (Kwarnas) pun meminta agar Kemendikbudristek untuk meninjau ulang kebijakan itu, menimbang manfaat dari diwajibkannya ekstrakurikuler Pramuka bagi siswa-siswa di sekolah.
Di tengah hiruk-pikuk tersebut, Pengamat Kebijakan Pendidikan UGM, Dr. Subarsono, ikut buka suara. Subarsono merespons pencabutan Pramuka dari status ekstrakurikuler wajib dengan biasa-biasa saja. Ia tak menganggap hal tersebut sebagai sebuah masalah.
“Karena soal ekstrakurikuler ini memang ada yang wajib dan sukarela,” ujar Subarsono seperti yang Mojok kutip dari laman resmi UGM, Kamis (4/4/2024).
“Yang penting ekstrakurikuler apapun itu selalu diarahkan untuk membantu mencerdaskan anak,” sambungnya.
Pramuka masih dibutuhkan, tapi…
Bagi Subarsono, pencabutan Pramuka dari status ekstrakurikuler wajib di satu sisi memang akan berdampak minor. Akan tetapi, harus disadari bahwa kondisi saat ini sudah berubah.
Masyarakat saat ini hidup di era digital dan globalisasi, sehingga menurut Subarsono sudah sepatutnya ekstrakurikuler disesuaikan dengan kebutuhan zaman.
“Bagaimana menggunakan teknologi digital, membaca internet, X, big data dan seterusnya,” terang akademisi UGM tersebut.
“Tentunya mereka lebih mampu merespons perubahan global ini. Misal kemampuan membangun net working, berkolaborasi, kemampuan berkomunikasi dalam bahasa asing. Itu saya kira jauh lebih penting daripada Pramuka,” sambungnya.
Ekstrakurikuler harus menunjang soft skill
Salah satu poin yang Kwarnas sampaikan terkait pencabutan Pramuka dari status ekstrakurikuler wajib adalah karena Pramuka memiliki fungsi untuk melatih dan membentuk kemandirian siswa.
Bagi Subarsono selaku akademisi UGM, dengan bantuan piranti digital di era sekarang ini, para siswa sebenarnya sudah mendapat pelajaran perihal kemandirian hidup sebagaimana yang Pramuka ajarkan, Misalnya, tanpa diajari oleh siapun, anak-anak zaman sekarang sudah terbiasa mencari informasi sendiri melalui smartphone.
Dari piranti digital itu pula, dalam pandangan Subarsono, anak-anak zaman sekarang bisa mengakses pelajaran-pelajaran dalam Pramuka. Oleh karena itu, ia menilai akan lebih relevan jika ekstrakurikuler saat ini lebih banyak diarahkan pada penggunaan piranti digital.
“Jika perlu guru-guru Pramuka lama di-upgrade untuk bisa mengampu ekstrakurikuler yang baru,” ungkap akademisi UGM tersebut.
Menimbang infrastruktur digital di masing-masing daerah di Indonesia tidak sama, usul Subarsono untuk daerah yang jauh dari kota, ekstrakurikulernya pun bisa disesuaikan. Misalnya, untuk desa di pesisir ekstrakurikulernya bisa berupa bagaimana bisa berenang, menangkap dan mengolah ikan atau yang lain-lain.
“Saya kira dengan begitu mereka akan memiliki soft skill. S ehingga kalau mereka menjadi dewasa bisa mengelola alam di sekitarnya,” beber Subarsono.
“Artinya sebagai gantinya ekstrakurikuler Pramuka bisa yang sesuai tren kekinian atau ekstra-ekstra yang mampu menggali potensi di sekitarnya,” tekan akademisi UGM itu.
Baca halaman selanjutnya…
Pembina Pramuka nelangsa
Salah satu yang terdampak lantaran pencabutan Pramuka dari status ekstrakurikuler wajib adalah para Pembina Pramuka. Sebab, dalam sampel yang Mojok ambil, ekstrakurikuler Pramuka di sekolah-sekolah selama ini menjadi sumber pemasukan bagi pembina Pramuka.
Mojok sempat mewawancarai Angga (24), salah seorang pembina Pramuka di tiga sekolah di Surabaya.
Seturut pengakuan Angga, upah dari menjadi pembina Pramuka di tiga sekolah di Surabaya tersebut bisa ia gunakan untuk bertahan hidup selama kuliah sejak 2018. Setelah lulus pada 2023 lalu, upah sebagai pembina Pramuka pun menurutnya lumayan untuk sumber penghasilan tambahan.
Pasalnya, kata Angga, dari ngajar tiga kali dalam sepekan itu upah yang ia dapat lebih mending ketimbang gaji guru honorer yang sebulan cuma dapat Rp300 ribu hingga Rp500 ribu.
“Kalau nggak wajib, bisa jadi siswa yang ikut makin dikit. Kalau peserta dikit, sekolah bisa saja mengurangi jumlah pembina,” tutur Angga, Selasa (2/4/2024) malam WIB.
“Kalau wajib kan otomatis semua siswa ikut, alhasil sekolah butuh pembina banyak,” imbuhnya.
Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News