Senep. Itulah yang Angga (24) rasakan saat membaca berita soal pencabutan Pramuka sebagai ekstrakurikuler wajib. Pasalnya, mengiringi pencabutan tersebut, ada kemungkinan-kemungkinan buruk yang mengahantuinya.
Sebelumnya, Pramuka merupakan kegiatan ekstrakurikuler wajib seperti diatur dalam Permendikbud No. 63 Tahun 2014. Namun berdasarkan aturan Permendikbud No. 12 Tahun 2024 yang terbit pada 25 Maret 2024, kini Pramuka menjadi ekstrakurikuler pilihan alias tidak wajib.
Terancam tak jadi pembina Pramuka
Sejauh ini memang belum ada informasi lanjutan dari sekolah tempat Angga mengajar menyusul kebijakan baru tersebut. Akan tetapi, Angga merasa patut ketar-ketir jika Pramuka benar-benar tidak menjadi ekstrakurikuler wajib lagi.
“Kalau nggak wajib, bisa jadi siswa yang ikut makin dikit. Kalau peserta dikit, sekolah bisa saja mengurangi jumlah pembina,” tutur Angga getir saat Mojok hubungi, Selasa (2/4/2024) malam WIB.
“Kalau wajib kan otomatis semua siswa ikut, alhasil sekolah butuh pembina banyak,” sambung pemuda asal Bojonegoro, Jawa Timur itu.
Angga sendiri sejak kuliah dan bergabung dengan UKM Pramuka UINSA sudah menjadi pembina Pramuka di beberapa sekolah di Surabaya. Mulai dari SMP hingga SMA.
Hingga lulus kuliah pada Agustus 2023 lalu, Angga masih memegang tiga sekolah, yakni dua SMP satu SMA, dengan waktu ngajar merentang dari Kamis, Jumat, dan Sabtu. Dari menjadi Pembina Pramuka itulah ia selama ini bisa bertahan hidup di Surabaya.
“Karena sejak kuliah kan memang nggak minta orang tua,” kata Angga.
Pembina Pramuka di Surabaya lebih mending dari guru honorer
Mengajar Pramuka tiga kali seminggu menurut Angga gajinya lebih lumayan ketimbang gaji guru honorer yang beban kerjanya relatif lebih berat. Sehingga tak pelak jika Angga ketar-ketir kalau-kalau setelah ini jatahnya menjadi pembina Pramuka dikurangi dari tiga sekolah yang ia pegang saat ini.
“Karena pemasukan pastinya selama ini ya ngajar Pramuka. Per awal tahun 2024 lalu memang coba merintis usaha. Tapi kan belum kelihatan profitnya,” tutur Angga.
Di Surabaya dan Sidoarjo, umumnya guru honorer menerima gaji Rp300 ribu-Rp500 ribu per bulan. Itu dengan jam ngajar yang bisa dibilang penuh.
Sementara dari tiga kali pertemuan membina Pramuka, Angga bisa mendapat jauh lebih dari itu. Angga tak mau menyebut nominalnya, tapi yang jelas masih jauh lebih layak ketimbang gaji guru honorer.
“Ya karena itu aku nggak mau jadi guru honorer,” kata Angga.
Saat ini Angga masih menunggu sambil ketar-ketir perihal apa yang nantinya bakal terjadi dengan kariernya sebagai pembina Pramuka di Surabaya.
Baca halaman selanjutnya…
Mengungkap maksud sebenarnya Pramuka tidak wajib
Kwarnas minta peninjauan ulang
Kwartir Nasional (Kwarnas) pun telah memberi respons atas keluarnya kebijakan tersebut. Sekjen Kwarnas Pramuka, Mayjen TNI (Purn) Dr. Bachtiar Utomo meminta Kemendikbudristek meninjau kembali kebijakan tersebut.
Sebab, bagi Bachtiar, selama ini Pramuka menjadi salah satu variabel pendidikan Indonesia yang berperan penting dalam pembentukan karakter bagi para siswa. Sehingga sangat disayangkan jika kini justru bersifat tidak wajib.
“Perkembangan Gerakan Pramuka sampai sekarang sangatlah strategis dalam upaya pembangunan karakter bangsa,” ujar Bachtiar seperti Mojok kutip dari Detik.
“Terlebih dalam membantu pencapaian tujuan pendidikan nasional itu sendiri, yaitu menciptakan manusia Indonesia yang bermartabat, cerdas dan bertaqwa,” sambungnya.
Klarifikasi Kemendikbudreistek
Atas polemik yang timbul karena keluarnya kebijakan tersebut, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Anindito Aditomo buka suara.
Anindito menegaskan bawah kebijakan yang baru keluar hanyalah mengubah Pramuka dari ekstrakurikuler wajib menjadi ekstrakurikuler sukarela, alias tidak wajib. Bukan meniadakannya sama sekali. Ini yang, kata Anindito, harus dicermati.
Kebijakan ini, jelas Anindito, hanya merevisi bagian Pendidikan Kepramukaan dalam Model Blok yang awalnya mewajibkan perkemahan menjadi tidak wajib.
“Tapi jika satuan pendidikan akan menyelenggarakan kegiatan perkemahan, maka tetap diperbolehkan,” ujar Anindito dalam siaran persnya yang Mojok kutip dari CNN Indonesia.
“Pada intinya setiap sekolah tetap wajib menawarkan Pramuka sebagai salah satu ekstrakurikuler,” tegasnya.
Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News