MBG Jadi “Skandal Besar”, tapi Pemerintah Seolah Lepas Tangan: Kudu Dihentikan Sementara dan Dievaluasi Total

makan bergizi gratis MBG.MOJOK.CO

Ilustrasi - Skandal Besar MBG (Mojok.co/Ega Fansuri)

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali menuai kritik tajam. Dua kasus yang mencuat di SDN 17 Napo, Polewali Mandar, dan MTs Negeri 2 Brebes menunjukkan praktik janggal: orang tua diminta menandatangani surat pernyataan untuk tidak menuntut jika anak mereka sakit atau keracunan akibat MBG. 

Bahkan, mereka juga dilarang membicarakan kasus itu ke pihak luar, termasuk media.

Bagi Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), fenomena ini bukan sekadar salah prosedur, tetapi bukti ada masalah akut. 

“Ini bukti ada mekanisme yang keliru, tidak transparan, konflik kepentingan, hingga berpotensi melanggar hak anak,” ujar Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, dalam keterangannya kepada Mojok, Rabu (17/9/2025).

Menurut Ubaid, surat pernyataan semacam itu diduga sudah menyebar ke banyak sekolah dan madrasah. Hanya saja, klausul larangan membuka kasus membuat publik jarang mendengar keluhannya. 

“Ini bisa jadi skandal besar. Negara seolah lepas tangan, sementara anak-anak dijadikan korban. Surat itu pelecehan terhadap hak anak dan orang tua,” lanjut Ubaid.

Risiko Keracunan yang Nyata

Kekhawatiran JPPI bukannya tanpa dasar. Badan POM mencatat ada 17 kejadian luar biasa keracunan pangan yang berkaitan dengan MBG di 10 provinsi hingga Mei 2025. Penyebabnya beragam: bahan mentah tercemar, sanitasi dapur buruk, hingga distribusi yang terlambat sehingga makanan basi.

Dalam sebulan terakhir saja, misalnya, “ratusan siswa” di Lampung, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bengkulu dilaporkan keracunan setelah makan MBG. Kasus Kupang lebih dramatis: 200 siswa SMP mengalami gejala keracunan usai menyantap MBG, sementara di Bombana, Sulawesi Tenggara, 53 kotak makanan dinyatakan tidak layak konsumsi.

“Kalau sudah ada korban nyata, negara tidak boleh lagi pura-pura abai. BGN harus bertanggung jawab, bukan malah menyalahkan sekolah atau orang tua,” kata Ubaid.

MBG menjadi kebijakan yang cenderung “lempar tanggung jawab”

JPPI menilai MBG telah berubah menjadi kebijakan yang cenderung melempar tanggung jawab. Sekolah dan madrasah dijadikan “bumper” yang harus menanggung risiko, sementara Badan Gizi Nasional (BGN) pusat—sebagai pengendali program, bersembunyi di balik jargon politik.

Padahal, skala program ini sangat besar. APBN 2025 mengalokasikan Rp71 triliun untuk MBG, dengan target jutaan siswa penerima manfaat. Hingga Maret 2025, sudah ada 726 dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dioperasikan di 38 provinsi, melayani sekitar 2,5 juta anak.

“Dengan dana sebesar itu, mestinya ada jaminan mutu dan mekanisme pengawasan yang jelas. Bukan malah bikin surat pernyataan agar sekolah dan orang tua yang menanggung risiko,” tegas Ubaid.

Selain keamanan, persoalan gizi juga tak kalah serius. Laporan lapangan menunjukkan banyak menu MBG tidak sesuai standar gizi seimbang: porsi terlalu kecil, bahan berkualitas rendah, hingga variasi menu minim. Beberapa menu bahkan memakai pangan ultra-proses, yang bila dikonsumsi rutin justru berisiko bagi kesehatan.

Ini ironis, sebab tujuan utama MBG adalah menurunkan angka stunting. Padahal, data SSGI 2024 menunjukkan prevalensi stunting masih 19,8 persen, dan di kelompok termiskin mencapai hampir 30 persen.

Hentikan sementara dan evaluasi penuh MBG

JPPI pun menekankan bahwa langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah mencabut seluruh surat pernyataan bermasalah. Dokumen yang memaksa sekolah dan orang tua menanggung risiko kesehatan murid itu, menurut mereka, tidak hanya cacat secara hukum, tetapi juga merendahkan martabat anak.

Selain itu, pengawasan di daerah perlu diperkuat. Tidak cukup hanya dengan mengandalkan satuan teknis di sekolah. BPOM, dinas kesehatan, dan juga masyarakat sipil harus dilibatkan secara aktif, dari proses dapur hingga distribusi makanan. Dengan begitu, kualitas dan keamanan makanan bisa diawasi secara berlapis.

JPPI juga mendesak agar Badan Gizi Nasional tampil di depan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Selama ini, lembaga pusat itu dinilai kerap bersembunyi di balik sekolah dan madrasah. Padahal, program sebesar MBG seharusnya memiliki standar gizi yang jelas, mekanisme pengawasan yang transparan, dan jalur tanggung jawab yang tidak membingungkan.

Hal lain yang ditekankan adalah pentingnya keterbukaan informasi. Setiap kali ada kasus keracunan, pemerintah wajib mempublikasikan secara terbuka agar masyarakat tahu dan bisa ikut mengawasi. Menutup-nutupi kasus hanya akan memperbesar risiko dan menurunkan kepercayaan publik.

Akhirnya, JPPI mengajukan seruan yang paling tegas: program MBG perlu dihentikan sementara dan dievaluasi secara menyeluruh. Bagi mereka, lebih baik menunda sejenak ketimbang melanjutkan kebijakan yang belum matang dan justru membahayakan anak-anak. 

“Kalau pemerintah benar-benar serius, MBG harus menjadi kebijakan gizi anak yang kuat dan berkelanjutan, bukan proyek politik sesaat,” pungkas Ubaid.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Anggaran Pendidikan “Disunat” demi MBG, Pemerintahan Prabowo Abaikan Konstitusi atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Exit mobile version