Putusan Mahkamah Konsitusi (MK) terkait Pilkada pada Selasa (20/8/2024) lalu menjadi momen penting bagi demokrasi Indonesia. Putusan itu mendapat apresiasi publik sekaligus rawan “dibajak” oleh DPR yang hendak merevisi UU Pilkada.
Putusan tersebut yakni, pertama, syarat pencalonan kepala daerah dari jalur partai politik, terkait ambang batas (threshold), yakni Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024. Kedua, pemaknaan syarat usia pencalonan kepala daerah pada No. 70/PUU-XXII/2024.
Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) UII memberikan catatan tegas terkait keputusan tersebut. Direktur PSHK UII Dian Kus Pratiwi, dalam siaran persnya, menegaskan bahwa putusan MK terkait ambang batas pencalonan kepala daerah adalah bentuk konsistensi terhadap putusan MK No. 5/PUU-V/2007.
Putusan tersebut menyebutkan bahwa syarat pencalonan kepala daerah yang hanya didasarkan penghitungan perolehan kursi DPRD adalah inkonstitusional.
Kini, syarat pencalonan paslon kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak lagi menggunakan 2 (dua) alternatif syarat ambang batas berupa perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilu anggota DPRD yang bersangkutan. Akan tetapi hanya didasarkan pada hasil perolehan suara sah dalam Pemilu DPRD.
“Tuduhan standar ganda kepada MK yang dengan menggunakan purcell principle menyatakan pengadilan tidak boleh mengubah peraturan pemilu yang waktunya terlalu dekat juga tidak relevan,” tegas Dian dalam siaran persnya.
Selanjutnya, untuk keadilan yang proporsional, MK juga menyelaraskan syarat persentase treshold pencalonan Pilkada dengan syarat presentase dukungan calon perseorangan. Sebab mempertahankan persentase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016 tentang Pilkada sama artinya dengan memberlakukan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi bagi semua partai politik peserta Pemilu.
“Semangat putusan MK ini sekaligus untuk menghindari munculnya calon tunggal dan calon boneka dalam Pilkada,” ujarnya.
Putusan MK hindari Pilkada yang “main-main”
Sementara itu, PSHK UII juga memberikan catatan tentang putusan MK terkait pemaknaan syarat usia pencalonan kepala daerah. Putusan MA yang mengubah syarat usia pencalonan menjadi ketika pelantikan didasarkan pertimbangan hukum yang lemah.
Putusan MA tersebut harus dibatalkan atau demi hukum tidak dapat dilaksanakan karena telah ada putusan pengujian UU Pilkada oleh MK yang menegaskan norma syarat usia pencalonan.
MK telah memberikan pertimbahan hukum melalui pendekatan historis, sistematis, praktis, dan komparatif. MK tegas menyatakan bahwa syarat usia dihitung sejak penetapan pasangan calon kepala daerah, bukan sejak pelantikan. MK menyatakan bahwa pemaknaan demikian sudah terang benderang dan tidak perlu diberi penguatan dan penafsiran lain.
Langkah MK yang demikian telah mengembalikan demokrasi lokal ke dalam relnya setelah sempat mengalami penyelewengan hukum oleh putusan MA. MK dengan tegas memberi peringatan kepada penyelenggara Pemilu untuk tidak “main-main” mengabaikan putusan MK, khususnya berkenaan dengan pemberlakuan syarat usia calon yang harus diberlakukan sejak penetapan calon.
Sejalan dengan itu, PSHK UII berharap apresiasi terus diberikan kepada MK agar terus menjadi penjaga konsitusi dan demokrasi. Pembentuk UU juga harus menghindari manuver dengan cara merevisi UU No 10 Tahun 2016 dengan tidak mempedomani putusan MK.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Aly Reza
Keluh kesah dan tanggapan Uneg-uneg bisa dikirim di sini