MOJOK.CO – Kejadian pasien positif corona yang tidak jujur di Rumah Sakit Kariadi, Semarang, mengingatkan saya akan peristiwa beberapa tahun lalu yang hampir sama.
Beberapa waktu lalu, saya dikagetkan dengan berita puluhan tenaga medis Rumah Sakit (RS) Kariadi, Semarang, dinyatakan positif corona setelah merawat seorang pasien yang tak jujur dengan kondisinya.
Melihat itu, saya baru sadar kalau masalah yang dihadapi tenaga kesehatan saat ini, tidak hanya APD yang terbatas, tapi juga mengenai kejujuran pasien saat dilakukan screening oleh tenaga kesehatan.
Stigma yang muncul tentang corona, memang membuat masyarakat takut untuk menceritakan riwayat keluhannya. Ketidakjujuran pasien semacam ini, sebenarnya tidak hanya muncul sejak kasus positif corona seperti di Semarang itu, namun juga sudah ada dari dulu.
Perasaan takut, merasa bersalah, sampai khawatir berlebihan, membuat pasien akhirnya memilih untuk denial terhadap keluhan kesehatannya.
Kejadian pasien positif corona yang tidak jujur di Rumah Sakit Kariadi Semarang itu mengingatkan saya akan peristiwa beberapa tahun lalu. Ketika saya yang masih kinyis-kinyis, dinas di bagian perawatan umum.
Dalam sebuah pemeriksaan, dokter menegur saya ketika saya mecurigai ada yang tak beres pada seorang pasien. “Jangan suudzon, Lena,” kata dokter waktu itu.
Kecurigaan saya muncul karena ada diagnosis lain untuk seorang pasien tersebut. Termasuk dengan diagnosis awal Meningitis TB, stroke, tak mampu menggerakkan anggota tubuh, tapi masih kondisi sadar.
Pasien sudah kami pasangkan NGT (selang makan), Folley Catheter Urine (selang kencing), dan diapers. Keluhan pasien saat itu—awalnya—adalah diare sudah berbulan-bulan, mulut yang penuh sariawan, dan berat badan menurun.
“Saya yang menyeka seluruh tubuhnya pake air dan sabun, Dok.”
Jadi saya merasa cukup tahu, apalagi saya memang yang membersihkan BAB-nya.
Saya menemukan sesuatu yang tidak normal di tubuh si pasien. Sambil memandikannya, saya mengorek tentang riwayat hidupnya, dan bagaimana pergaulannya. Dari sana kecurigaan saya bukannya menurun, tapi malah semakin menguat.
“Melihat dari gejala yang dirasa, menunjukkan ke arah sana kan, Dok?” saya menjelaskan sembari memastikan.
Akhirnya dokter mengabulkan permintaan saya untuk dilakukan tes darah. Saat saya meminta persetujuan pasien, pasien menolak. Takut. Cemas. Barangkali cukup mirip dengan yang dirasakan pasien positif corona di RS Kariadi Semarang tempo lalu.
Si pasien beralasan sudah pernah melakukan pemeriksaan yang saya katakan, dan hasilnya negatif. Hanya saja, bukti pemeriksaan itu tertinggal di kampungnya yang jaraknya cukup jauh dari rumah sakit.
Tak menyerah, saya coba beri pengertian. Jika memang sudah pernah, saya akan menunggu surat yang menyatakan negatif, jika belum, ayo kita periksa, ini untuk memaksimalkan perawatan dan pengobatan. Pasien akan nyaman dan kami yang merawat pun akan aman.
Si pasien tetap bersikeras menolak, saya pun tak menyerah memberi penjelasan.
Saya katakan pasien memiliki hak untuk menolak perawatan dan pemeriksaan, asalkan menandatangani surat penolakan. Kami sebagai tenaga kesehatan pun sebenarnya berhak untuk menolak merawat, terutama jika pasien tidak bisa diajak kerja sama.
Akhirnya, setelah cukup lama kami berdebat, pasien pun mengatakan dengan takut-takut.
“Sebenarnya, hasil pemeriksaan saya itu positif HIV. Tapi saya takut RS menolak merawat saya jika saya katakan dari awal,” katanya merasa bersalah.
Saya tersenyum. Saya puas, karena kecurigaan saya benar.
Apakah saya kaget dan panik karena telah merawatnya dua hari? Tidak. Karena saya tahu bagaimana cara penularan HIV ini.
Saya lega? Iya, karena saya cepat curiga dan jeli, sehingga kami perawat yang merawat bisa aman dan berhati-hati saat akan mengamankan jarum suntik bekasnya.
Terus setelah itu apakah perlakuan kami berbeda pada pasien ketika kejujurannya datang terlambat? Tentu tidak.
Kami tetap menyekanya setiap pagi dan sore, membantunya dalam personal hygiene, memberinya obat, merawat seperti biasanya. Dengan kejujuran soal riwayatnya, si pasien malah beruntung, karena kami jadi bisa mendaftarkannya ke tim HIV RS sejak dini, sehingga dia bisa dapat obat gratis.
Masa pandemi wabah corona, jujur kepada tenaga kesehatan itu sangat mengutungkan. Bukan untuk Anda saja, tapi juga orang-orang di sekitar Anda. Tenang, kami bukan jaksa yang akan menghakimi Anda, kami justru ingin secepat mungkin bisa merawat Anda.
Saat tubuh menunjukkan gejala ke arah terserangnya virus, baru berpergian dari wilayah zona merah, bertemu dengan keluarga yang baru datang dari luar kota, atau bahkan baru berinteraksi dengan orang yang dicurigai positif corona—maka jujurlah, datanglah ke RS, gunakan masker, katakan kondisi kesehatan pada semua orang. Termasuk kepada satpam yang menerima pertama kali. Agar kami, tenaga kesehatan yang memeriksa, bisa tetap waspada dan menangani Anda dengan baik.
Sependek pengetahuan saya sebagai tenaga kesehatan, tak pernah ada dokter ataupun perawat yang mengusir pasiennya pulang karena penyakit berbahaya. Apalagi dengan pandemi corona ini, sekalipun Anda curiga Anda positif corona, tidak lantas kami malah tidak ingin merawat Anda.
Lagipula kami bekerja di bawah sumpah, dan meski kami bekerja untuk mencari nafkah, namun kami memilih pekerjaan ini karena sedari awal memang ingin menolong orang lain—termasuk Anda.
Dengan kejujuran Anda, tindakan kami juga jadi lebih mudah, menghentikan penularan lebih banyak lagi, dan syukur-syukur bisa membuat Anda bisa kembali semringah.
Kejujuran Anda tidak hanya membantu petugas kesehatan seperti kami, melainkan juga keluarga Anda sendiri. Semakin cepat Anda tahu yang sebenarnya, risiko penularan ke keluarga Anda pun bisa ditangani sejak dini.
Lagian, Anda tidak ingin keluarga Anda berisiko jadi pasien positif corona juga karena ketidakjujuran Anda bukan?
Demi kebaikan kita bersama, tak perlu takut untuk jujur jika Anda memang positif corona, sebab yang kami lawan itu penyakitnya, bukan Anda.
BACA JUGA Ketika Kita Punya Kecemasan yang Sama atau tulisan Perawat Arlena Arifin lainnya.