MOJOK.CO – Jumlah pemilih pemula dan anak muda diprediksi bakal mendominasi pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang, dengan perkiraan 60 persen dari total jumlah pemilih. Suara ini juga disebut dapat menjadi kunci kemenangan bagi para kandidat perempuan. Bagaimana penjelasannya?
Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebut, bahwa pada Pemilu 2024 nanti bakal ada 578.139 pemilih baru dari total 190 juta. Pemilih kategori ini merupakan warga negara yang pada pemilu sebelumnya belum memiliki hak pilih.
Selain itu, survei Center for Strategic and International Studies menemukan bahwa hampir 60 persen pemilih pada Pemilu 2024 merupakan anak-anak muda. Mereka, didominasi oleh Gen Z (lahir tahun 1996-2009) dan beririsan dengan pemilih pemula.
Laporan ini juga menyebutkan dengan adanya perubahan demografi pemilih tersebut, bakal berpengaruh pada lanskap politik 2024 nanti. Lalu, bagaimana situasi ini dapat mempengaruhi, atau bahkan menjadi kunci kemenangan kandidat perempuan?
Kecenderungan politik kolegialitas anak muda
Peneliti politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati menyebut bahwa sebagian besar anak muda Indonesia, memiliki pandangan politik kolegialitas. Mengutip penelitiannya dalam The Conversation, karakter kolegialitas terlihat dalam sikap mereka saat memberikan suara: cenderung mewakili kelompok, bukan individu.
Mereka, berupaya membangun eksistensi dan representasi dengan membentuk kelompok atau komunitas, yang digerakkan oleh penggunaan media digital. Dalam pandangan politik pun, karakter pemilih ini cenderung lebih kritis dan progresif.
“Kolegialitas juga bermakna sebagai perlawanan kultural terhadap sistem sosial yang telah mapan,” tulis Wasisto dalam risetnya.
“[Namun] sikap kolegialitas mereka juga rentan untuk diinflitrasi dan dibelokkan oleh kelompok masyarakat partisan dan loyalis figur tertentu guna menambah jumlah perolehan suara,” sambungnya.
Dengan demikian, karakter pemilih ini berbanding terbalik dengan pemilih tradisional. Jika pemilih tradisional cenderung mengedepankan aspek “figuristik” dalam memilih, anak-anak muda dengan pandangan kolegialitas lebih melihat ke “penawaran” kebijakan seperti apa yang bakal menguntungkan kelompok yang mereka wakili. Biasanya, mereka juga lebih suka mendobrak status quo, menginginkan tatanan baru alih-alih bertahan di sistem lama yang dianggap kurang ideal dengan cara memilih “sosok baru”.
Anak muda inginkan presiden perempuan
Melihat pandangan politik kolegialitasnya, lantas sosok seperti apa yang diinginkan anak muda sebagai cerminan “sosok baru” tersebut?
Sejumlah hasil survei menunjukkan, bahwa anak muda (Gen Z dan Gen Y)—demografi terbesar pada Pemilu 2024—menjadi kelompok usia yang paling banyak setuju dengan sosok presiden perempuan. Hal ini diperoleh dari Survei Opini Publik yang diselenggarakan lembaga KedaiKOPI sepanjang pertengahan tahun lalu.
Kategori Gen Z (17-24 tahun) menempati peringkat teratas terkait persetujuan presiden perempuan, dengan catatan 62,3 persen. Sementara Gen Y (25-40 tahun) meraih catatan 53,5 persen. Dengan demikian, mayoritas kelompok anak muda menginginkan Indonesia dipimipin sosok perempuan pada masa mendatang.
Hasil survei tersebut juga menemukan adanya peningkatan tren penerimaan publik terhadap presiden perempuan. Tren saat ini berada di angka 55,5 persen, meningkat 21,3 persen dibanding survei KedaiKOPI pada tahun sebelumnya pada 2021.
Temuan tersebut mempertegas survei sebelumnya yang dilakukan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI) bekerjasama dengan International NGO Forum on Indonesian Development.
Survei ini menemukan bahwa lebih dari 90 persen anak muda mendukung sosok perempuan sebagai presiden Indonesia. Sebanyak 46 persen dukungan berasal dari generasi Z (berusia 18-24 tahun) dan yang lain (42 persen) dari generasi milenial (berusia 25-40 tahun).
Pramelani dalam penelitian berjudul “Millenial’s Perceptions of the Leadership of Indonesian Presidential Candidates in 2024” (2021) menyebut, kecenderungan anak muda lebih menyukai kandidat perempuan merupakan konsekuensi logis dari proses demokratisasi itu sendiri. Khususnya juga, karena makin seringnya isu-isu nonpupuler dibicarakan, termasuk isu minoritas dan perempuan.
“Semakin terbukanya kanal diskusi, terutama terkait isu-isu perempuan, juga memperkuat kecenderungan tersebut,” tulis laporan tersebut.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi