MOJOK.CO – Kartini melawan poligami sepanjang hidupnya. Namun, seperti yang kita tahu, ia harus mengalah dan bersedia menjadi istri kedua. Lantas, apa yang bikin Kartini mau dipoligami?
Kartini lahir di lingkungan bangsawan, yang mana ayahnya adalah seorang Bupati Jepara. Sebagai perempuan dari keluarga priayi, ia juga diharuskan menikah dengan seorang berdarah biru pula.
Sebenarnya, Kartini memahami tradisi ini. Namun, ada satu hal yang ia tolak, yakni poligami. Dalam pandangan Kartini, tak ada perempuan yang bahagia dimadu. Baginya juga, seorang laki-laki akan kehilangan kehormatannya jika menikahi lebih dari satu perempuan.
Kartini yang menolak poligami
Sejak kecil, Kartini sudah paham betul bagaimana pahitnya hidup dalam lingkungan poligami. Ngasirah, sang ibu, pernah merasakan hidup dalam poligami sebab ayahnya harus menikahi perempuan lain.
Dalam surat-surat Kartini yang dihimpun dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang, dengan penuh menyayat hati, Kartini menuliskan bagaimana pandangannya soal cinta dan laki-laki yang memadu perempuan.
“Cinta! Apa yang kita ketahui tentang cinta? Bagaimana kita dapat mencintai seorang pria yang tak pernah kita kenal sebelumnya?” tulisnya, yang dikutip dalam buku terbit pertama kali dalam judul Door Duisternis tot Licht (1911) itu.
“Bagaimana pria itu dapat mencintai kita? Tentu saja mustahil. Perempuan dan laki-laki muda dipisahkan, dan tak pernah diizinkan untuk berjumpa,” sambungnya, dalam surat tertanggal 25 Mei 1899 tersebut.
Kalimat itu Kartini tulis dan kirimkan kepada sahabtnya, Rosa Abendanon, setelah sang ayah akan menjodohkannya dengan Bupati Rembang Raden Adipati Djojoadiningrat. Padahal, saat itu Djojoadiningrat sudah punya istri.
Kala itu, Kartini sendiri juga sedang dalam pingitan, alias “dikurung” di rumah sambil menunggu lamaran yang datang. Dengan demikian, saat menerima lamaran Djojoadiningrat, itu adalah pertemuan pertama mereka.
“Bagaimana mungkin seorang pria dan wanita dapat mencintai satu dengan yang lain ketika mereka baru berjumpa pertama kali dalam kehidupan ini setelah mereka terikat dalam pernikahan? Saya tak akan pernah, tak akan pernah jatuh cinta,” tulisnya.
“Mencintai, pertama-tama membutuhkan rasa hormat, menurut hemat saya; dan saya tidak dapat menghormati pemuda Jawa muda. Bagaimana saya bisa menghormati seseorang yang telah menikah dan menjadi seorang ayah, dan yang telah memiliki istri yang melahirkan anak-anaknya, membawa perempuan lain ke dalam rumahnya?” tegasnya, melalui surat tertanggal 6 November 1899 itu.
Namun, pada akhirnya, Kartini mengalah dari sikapnya itu. Ia menerima lamaran Adipati Djojoadiningrat dan menikah di usia 24 tahun.
Alasan mau dipoligami
Kerelaan Kartini untuk dipoligami bukan tanpa alasan. Meski poligami merupakan racun yang selama ini ia perangi, keinginannya untuk menjaga martabat sang ayah, RM Adipati Sosrodiningrat, bikin ia bersedia untuk jadi istri kedua.
Misalnya, beratnya keputusan Kartini ini pernah ditulis Krisnina Maharani dalam bukunya, Pikiran Kartini (2015). Ia mengutip surat Kartini kepada Abendanon tertanggal 14 Juli 1903.
“Saya telah berjuang, bergulat, menderita, dan saya tidak dapat menjadikan nasib celaka Ayah, dan dengan demikian membawa bencana bagi semua yang saya cintai,” tulisnya.
Nasib celaka, sebagaimana yang ia maksud, adalah kondisi sang ayah yang kerap dirundung dan jadi bahan gosip sesama koleganya lantaran Kartini tak kunjung menikah. Padahal, Kartini sudah 24 tahun, yang untuk masa itu dipandang sebagai perawan tua.
Ayahnya sendiri sebenarnya juga tak terlalu memaksakan kehendaknya. Namun, sikap Kartini yang ingin menjaga kehormatan sang ayah membuatnya keukeuh bahwa keputusannya menerima lamaran Adipati Djojoadingrat adalah pilihan tepat.
Toh, Bupati Rembang sendiri juga punya latar belakang pendidikan yang bagus. Ia pernah bersekolah di Belanda, dan selama menjabat sebagai bupati, ia tergolong berprestasi karena bisa mengendalikan peredaran opium yang membahayakan masyarakat kala itu.
Syarat mau dinikahi
Selain itu, ihwal lain yang tak banyak diungkap, rupanya Kartini juga mengajukan sejumlah “syarat” kepada calon suami yang akan memperistrinya.
Dalam buku Pikiran Kartini, syarat itu di antaranya membolehkan Kartini membuka sekolah dan mengajar para putri pejabat di Rembang. Ia juga boleh membawa ahli ukir Jepara ke Rembang untuk mengembangkan kerajinan itu secara komersial.
Syarat lain, misalnya, yakni terkait upacara pernikahan. Kartini menolak prosesi jalan jongkok, berlutut, menyembah kaki mempelai pria, dan akan berbicara dalam bahasa Jawa Ngoko (bahasa sehari-hari untuk sebaya), bukan Kromo Inggil (bahasa yang lebih halus; biasanya untuk berbicara dengan orang yang lebih tua.
Syarat-syarat ini, untuk ukuran zaman itu yang begitu feodal, termasuk progresif dan radikal.
Sayangnya, kehidupan Kartini di Rembang hanya berlangsung kira-kira satu tahun. Ia wafat pada 17 September 1904 pada usia 25 tahun, tepat empat hari setelah melahirkan putranya, Raden Mas Soesalit Djojodiningrat.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Surat Terbuka Kartini untuk Aurel Hermansyah dan tulisan menarik lainnya di Kanal Pemilu.