MOJOK.CO – Beberapa nama calon presiden (capres) pada Pemilu 2024 seperti Ganjar Pranowo, Anies Baswedan dan menyusul Prabowo Subianto sudah mengemuka. Kini giliran nama-nama calon wakil presiden (cawapres) ikut bermunculan.
Berbagai lembaga survei mulai merilis beberapa nama kandidat cawapres dengan elektabilitas yang tinggi. Sebut saja Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Menparekraf Sandiaga Uno, Menteri BUMN Erick Thohir, hingga Gubernur Jatim Kofhifah Indar Parawangsa.
Lembaga Survei Indonesia (LSI) misalnya pada 3 Mei 2023 menyebut elektabilitas Ridwan Kamil sebagai cawapres paling tinggi berada pada angka 19,5 persen. Lalu ada Sandiaga Uno dengan 14,4 persen, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan 11,6 persen, Erick Thohir dengan 10,5 persen, dan Khofifah Indar Parawansa dengan 6,8 persen.
Pengamat politik sekaligus pakar Ilmu Pemerintahan dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Zuly Qodir pun mengemukakan pendapatnya. Zuly mengungkapkan bahwa beberapa namca calon cawapres akan semakin mengemuka.
Bermunculannya kandidat cawapres dari berbagai survei, menurut Zuly maka ke depan akan terjadi komunikasi politik yang semakin intensif. Komunikasi politik yang semakin intensif itu menandakan terjadi dinamika di tingkat elit partai
“Cawapres seperti Ridwan Kamil, Khofifah, dan lain-lain tentu akan melakukan komunikasi politik secara intensif,” ujar Zuly, Kamis (04/5/2023)
Parpol banyak alternatif
Menurut Zuly, munculnya sejumlah kandidat cawapres saat ini menandakan banyaknya alternatif yang bisa parpol ambil untuk mendampingi capres yang sudah ada. Bahkan, bisa jadi parpol tidak lagi bersikukuh mengusung ketua umumnya untuk jadi cawapres.
Parpol bisa mencontoh Ganjar yang akhirnya PDIP usung sebagai capres alih-alih Puan Maharani karena elektabilitasnya dan aksebilitasnya yang tinggi. Kondisi serupa bisa terjadi, parpol lain bisa memilih kader mereka yang elektabilitasnya tinggi untuk bisa maju sebagai cawapres.
“Pimpinan parpol pasti juga melihat elektabilitas dan aksebilitas kandidat [cawapres]. Kalau dia jadi ketua partai kemudian elektabilitasnya rendah atau jadi kartu mati, maka tidak akan terpilih mendampingi capres. Namun sekalipun [kandidat] bukan ketua partai, lalu kemudian dia memiliki elektabilitas yang tinggi dan aksebilitas yang tinggi maka kemungkinan bisa maju [cawapres],” paparnya.
Zuly mencontohkan, Ridwan Kamil yang masuk Partai Golkar bukan merupakan ketua partai. Namun karena elektabilitasnya yang tinggi maka bisa saja maju jadi cawapres alih-alih Airlangga Hartanto yang merupakan ketum Partai Golkar. Apalagi dalam berbagai survei, elektabilitas Airlangga Hartanto lebih rendah dari Ridwan Kamil.
Partai Golkar akan realistis untuk mengajukan Ridwan Kamil sebagai cawapres. Begitu pula dengan partai lain yang sedang melakukan komunikasi politik. Baik di tingkat internal partai maupun dengan parpol lain dalam rangka untuk mengusung kader maupun sosok yang elektabilitasnya tinggi. Bila hal itu benar terjadi maka ke depan dinamika politik di Indonesia akan luar biasa.
“Bisa kita lihat PDIP yang mengusung Ganjar [jadi capres] dan bukan Puan [Maharani]. Dugaan saya selama ini untuk capres bukan puan, pasti orang lain karena bagaimanapun, survei meski bukan satu-satunya alat ukur yang bisa dijadikan patokan pasti terpilih [namun bisa jadi referensi]. Semua tergantung komunikasi politik dan elektabilitas di lapangan,” imbuhnya.
Reporter: Yvesta Ayu
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Menerka Sosok Cawapres Prabowo, Siapa ya Kira-kira? dan tulisan menarik lainnya di Kanal Pemilu