MOJOK.CO – Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II menghasilkan delapan rekomendasi yang diserahkan ke pemangku kepentingan. Dari delapan poin ini, isu yang disorot adalah seputar kekerasan terhadap perempuan, lingkungan, dan kemanusiaan.
Perhelatan KUPI II resmi ditutup pada Sabtu (26/11/2022) lalu. Selama empat hari berturut-turut, peserta kongres yang berlangsung di Ponpes Hasyim Asy’ari, Jepara, ini memberikan masukan dalam berbagai sesi diskusi, musyawarah keagamaan, dan refleksi paralel. Dari diskusi tersebut, dihasilkan delapan rekomendasi yang dibacakan bersamaan dengan penutupan KUPI II.
Ketua pelaksana Kongres Ulama Perempuan II, Nyai Masruchah, menyatakan bahwa rekomendasi tersebut mereka sampaikan sebagai masukan bagi pemerintah. Selain itu, rekomendasi ini sekaligus untuk mengimbau masyarakat secara umum, khususnya jaringan KUPI, agar berkomitmen dalam mengamal dan membawa misi KUPI ke wilayah dakwah masing-masing.
“Tugas kita semua bagian dari KUPI adalah memastikan bagaimana pengetahuan yang didapat di sini dibagikan ke ruang-ruang di mana kita berada,” ujar Nyai Masruchah, dikutip dari laman resmi KUPI.
Adapun, dari delapan rekomendasi ini yang pertama adalah rekognisi KUPI sebagai gerakan ulama perempuan telah diterima oleh masyarakat secara luas. Oleh karena itu, menurut kongres, negara harus melibatkan KUPI dalam kerja-kerja strategis dan menjadikan KUPI sebagai mitra kerja pemerintah.
Kedua, terkait kasus kekerasan seksual dan perkosaan, yang acapkali membuat penyintas tersudut, terstigma, dan terdiskriminasi oleh narasi patriarki. Alih-laih mendapatkan bantuan hukum, korban justru semakin terpinggirkan dan dikucilkan di tengah beban psikologis yang dialami. Oleh karena itu, KUPI merekomendasikan agar negara memprioritaskan regulasi yang berpihak pada korban.
Adapun, dalam konteks ini, KUPI menyebut UU TPKS sebagai salah satu perantara untuk merubah mindset kuno dan mulai membuka kesadaran untuk berpihak pada korban.
Ketiga, KUPI juga menyorot soal isu lingkungan. Menurut mereka, sampah bukan hanya permasalahan perempuan, tapi juga permasalahan global. Maka, negara perlu menjadikan isu sampah sebagai salah satu isu strategis negara. Masyarakat sipil juga diimbau untuk mulai menyadari bahaya sampah dan mengedukasi masyaraat di sekelilingnya.
“KUPI dan jaringannya juga harus banyak memproduksi pandangan keagamaan berkaitan dengan sampah,” seru KUPI.
Sementara yang keempat terkait gerakan ekstrimisme dan radikalisme, yang meletakkan perempuan sebagai korban. KUPI mendorong negara harus melindungi seluruh warga negaranya dari bahaya ekstrimisme, salah satunya dengan pendekatan moderasi beragama.
Kelima, KUPI menyoroti pemaksaan perkawinan anak yang mereka sebut sebagai “kezaliman bagi perempuan”. Maka, menurut kongres, negara harus bisa memastikan adanya sebuah regulasi untuk menghentikan praktik perkawinan anak.
Keenam, terkait P2GP atau Praktik Pemotongan dan Pelukaan Genetalia Perempuan tanpa ada pertimbangan medis mengandung mudharat bagi perempuan. Bagi mereka, negara hendaknya menyusun regulasi yang tegas untuk melarang P2GP tanpa pertimbangan medis.
Adapun yang ketujuh, KUPI menyorot soal krisis kemanusiaan di negara-negara konflik seperti Iran, Afghanistan, Myanmar, dan negara lainnya. Mereka pun mendorong negara harus terlibat aktif dalam membangun perdamaian dunia.
“Jaringan KUPI juga harus aktif menyuarakan narasi keagamaan tentang perdamaian untuk menjaga kemaslahatan masyarakat dan guna mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin,” sambungnya.
Sementara dalam rekomendasi yang terakhir, KUPI menyebut bahwa mereka tidak bekerja di wilayah elitis, tapi juga menyentuh gerakan di masyarakat lokal. Dengan demikian, pelibatan seluruh elemen masyarakat sangat diperlukan untuk mendorong tumbuhnya gerakan ulama perempuan di daerah.
“Pendekatan pengetahuan dan pengalaman perempuan tidak boleh pandang bulu dan harus berlaku untuk semua lini gerakan,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi