MOJOK.CO – Apakah masa depan NFT akan suram atau terang? Satu hal penting, teknologi ini jalannya semakin kencang di 2-3 tahun terakhir.
Mulai dari twit pertama CEO Twitter, sampai remake image dari Andy Warhol, perlahan tapi pasti, popularitas Non-Fungible Token (NFT) mulai merambah ke seluruh penjuru dunia. Tak terkecuali, di Indonesia, di mana hype NFT pelan-pelan mulai terasa.
Jujur, saya juga tidak tahu kapan tepatnya NFT ini mulai dilirik orang Indonesia. Namun, dari pengalaman pribadi saya, sudah sejak pertengahan 2020, isu NFT ini mampir di telinga saya dan mulai jadi bahan obrolan di tongkrongan.
Lalu, apa sebenarnya NFT dan bagaimana cara kerjanya? Nah, karena kebetulan saya juga masih awam dan masih di tahap awal nyebur ke NFT, mari kita bedah bersama di tulisan ini.
NFT dan keunikannya
Meski sudah setahunan dengar soal NFT, saya tetap merasa mak jegagik ketika baca berita di bulan Maret tahun ini ketika sebuah twit lawas CEO Twitter bisa laku mahal.
Lha piye, twit pertama Jack Dorsey yang dikirim ke Twitter pada 2006, sekaligus jadi twit pertama di dunia, bisa laku sebagai NFT seharga $267 ribu atau hampir sekitar Rp4 miliar. Bajigur, padahal mung twit, tapi bisa laku mahal.
Pasti pada mikir, kan, kok bisa twit jadi NFT dan bahkan ada wong gemblung yang mau bayar miliaran rupiah? Nah, ini uniknya NFT, sekaligus sedikit menunjukkan canggihnya peradaban manusia di masa depan yang kayaknya sudah di depan mata banget.
Saya pribadi suka NFT, selain faktor bisa cari cuan di dalamnya, juga karena sistemnya yang menjamin orisinalitas suatu karya. Di era digital kayak gini, di mana semua yang ada di dunia maya begitu mudah di-copypaste-kan dan dicolong tanpa izin, NFT hadir sebagai oase yang segar dan menguntungkan.
Di dunia maya ini, semua hal bisa diduplikasi jadi banyak dan bahkan kita sering tidak tahu mana karya yang asli, mana yang sudah diduplikasi. Meski sudah ada watermark sebesar kepala bayi, manusia selalu nemu cara untuk menghilangkan itu dan mengklaim karya orang seenak udelnya.
Nah, NFT hadir buat membasmi hal tengik macam itu. Di NFT, karya digital bisa dipastikan dan dijamin keasliannya meskipun duplikasinya beredar di mana-mana. Itu karena di NFT, keaslian file digital dari karya kamu diverifikasi oleh sebuah “buku catatan besar” bernama blockchain yang dilengkapi kode identifikasi unik serta metadata yang berbeda satu sama lain.
Nyaris semua hal bisa jadi NFT
Ketika awal belajar, saya sempat berpikir bahwa platform ini hanya untuk seniman. Sebab, contoh yang beredar di marketplace didominasi karya-karya digital ala pixel art yang mana saya saja nggak yakin bisa bikin itu.
Namun, ternyata NFT lebih dari itu. Selain twit Jack Dorsey, banyak hal di dunia digital yang ternyata bisa jadi sebuah karya NFT dan punya nilai jual. Saya lihat dengan mata kepala sendiri, foto permukaan es teh manis di dalam gelas yang difoto teman saya dengan modal kamera hape, bisa laku dijual seharga $54.
Selain foto, bisa juga meme, lukisan, video, puisi, atau apa saja karya kreasi kamu yang diunggah secara digital dan diubah menjadi NFT. Saya pribadi, karena tidak punya kemampuan ala seniman dan hanya punya skill design yang ala kadarnya, beberapa karya yang saya jual didominasi foto yang dijepret dari kamera hape Xiaomi. Iya, hape sejuta umat itu… hahaha.
Ada juga, sih, karya ala-ala pixel art yang coba saya jual. Ada aplikasi yahud yang bisa kalian manfaatkan untuk bikin pixel art yang lumayan woke, tapi itu kita bahas lain waktu saja.
Apa yang bikin NFT digilai komunitas digital?
Kalau menurut saya, yang bikin “mainan ini” spesial adalah sistem blockchain itu tadi yang memastikan sebuah karya itu benar-benar langka dan terasa eksklusif serta istimewa. Ya rasanya mungkin sama kayak orang yang berhasil membeli dan mengoleksi lukisan Monalisa, misalnya.
Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, NFT itu benar-benar membuat sebuah item jadi sesuatu yang spesial. Soalnya, sebagai si pembuat, kita berhak menentukan berapa banyak copy yang akan dijual. Saya pernah bikin coret-coretan gambar pedang pakai pixel art dan saya bikin lima copy. Tapi untuk yang lain, foto misalnya, saya cuma jual satu saja.
Kalau prinsip jualannya, sih, ya sama seperti digital marketing pada umumnya. Ada produk yang dijual, ada proses copywriting di sana untuk “menggoda” calon pembeli, lalu ada transaksi (offer, negosiasi, sampai deal).
Tak hanya itu, NFT yang kita bikin juga bisa kita tentukan besaran royaltinya. Jadi misal satu NFT kita laku dibeli orang dan kita sudah menetapkan royalti, katakan 5%, kelak ketika orang yang membeli dan mengoleksi NFT kita berminat menjual lagi, kita sebagai kreator aslinya akan kecipratan royalti.
Terkait cara jualannya, saya percaya kalau teknik dagang standar masih krusial. Teman saya, pas sukses jual foto es teh manis, dia nulis di deskripsi karyanya dengan kalimat “Mystical aura that comes from the surface of ice cold tea,” alias uopooo ndes ra mashook tenan hahaha… tapi terbukti laku. Padahal ya itu cuma foto iseng es teh manis, tapi dibuat agak lebay produknya lewat proses copywriting di deskripsinya.
Kalau ada pertanyaan, NFT kan produk digital, nggak bisa dipegang, nggak bisa dilihat langsung wujudnya, kenapa orang sudi membeli?
Untuk hal ini, saya paling suka mengibaratkan NFT seperti skin di Mobile Legends. Beberapa orang rela mengeluarkan uang sekian ratus ribu rupiah untuk membeli diamond dan menebus skin di Mobile Legends.
Tujuannya untuk apa? Tujuannya ya untuk main di Mobile Legends, lah. Selain itu, juga untuk membuat manusia memiliki rasa kepemilikan akan sesuatu yang ada di dunia maya atau digital.
Nah, saya rasa sekian dulu. Kalau kalian berminat, ada aplikasi dan situsweb yang lumayan enak dipakai untuk pemula. Untuk yang aplikasi, saya biasa pakai Curate. Sementara kalau lewat web, saya biasa berjualan di OpenSea.
Saya, sih, nggak mau takabur memprediksi apakah NFT akan jadi masa depan yang suram atau terang di dunia digital. Tapi satu yang saya percaya, teknologi ini jalannya semakin kencang di 2-3 tahun terakhir, terutama karena adanya pandemi yang bikin akselerasi digital begitu terasa.
Jadi apa yang kita ketahui dan pahami di 2021, bisa jadi sudah tidak relevan lagi di 2022 dan 2023. Kuncinya, sih, menurut saya ada dua; mau adaptasi dan mau terbuka pada perubahan zaman.
BACA JUGA 3 Aplikasi Belanja Sayur Online Terbaik bagi Kamu yang Mager ke Pasar dan ulasan soal teknologi di rubrik KONTER.