Tanya
Dear Om Haryo yang peduli dengan kondisi ekonomi masyarakat Indonesia.
Saya adalah pembaca Mojok yang sekarang lagi galau karena beberapa tawaran asuransi kesehatan yang masuk ke panggilan telepon saya.
Awalnya saya cuek, tapi karena kegigihan para marketing, hati saya mulai terusik (tapi saya masih setia kok menunggu jawaban dia). Singkat cerita, saya ingin mengambil salah satu tawaran yang masuk. Karena berdasarkan penawaran tersebut, setelah lima tahun jika saya sama sekali tidak menggunakan asuransi tersebut maka saya bisa “mencairkan-nya”. Semacam investasi gitulah.
Yang membuat saya masih bimbang:
1. Saya sudah mengikuti BPJS semenjak wacana pewajiban BPJS dikeluarkan (pemerintah mah bebas kan ya untuk mewajib-wajibkan). Apakah saya memang masih butuh asuransi kesehatan lainnya?
2. Apakah memang premi asuransi juga bisa digunakan sebagai investasi, sama halnya dengan membeli tanah atau emas, misalnya.
Demikian Om Haryo. Semoga pertanyaan saya jelas sejelas nasib saya dan dia. Hmmm ~
Jawab
Halo Nona Pembimbang yang lebih sering ditelpon telemarketer asuransi daripada pacar.
Di Indonesia, kata asuransi memang telanjur meracuni pikiran. Tidak saja dipandang merugikan secara keuangan, gambaran umum asuransi lebih sering diidentikkan dengan proses klaim berbelit, ingkar janji, tidak sesuai dengan yang ditawarkan dan bahkan melebar hingga ke persoalan merusak akidah. Ngeri nggak sih? Harusnya sih nggak.
Faktanya kamu luluh juga dengan rayuan mereka, para telemarketer atau pemasar, yang semangatnya tak kunjung padam menaklukkanmu. Semoga keputusanmu untuk memiliki asuransi tambahan karena memang membutuhkan produk tersebut. Bukan karena kasihan atau suara pemasarnya empuk dan hangat seperti roti keluar dari oven, dewasa, melindungi dan tidak sayang pulsa.
Keputusanmu untuk memikirkan memiliki asuransi selain BPJS, menurut Om sudah tepat. Karena pada dasarnya semua orang membutuhkan proteksi. Asuransi memang produk yang dapat kita beli saat masih sehat. Dengan kata lain kita beli produk asuransi ke perusahaan yang mau menanggung biaya-biaya yang timbul jika terjadi sesuatu atas diri kita kelak. Itu tidak dapat kita lakukan saat kita sudah sakit, seberapa pun besarnya uang kita dan semuda apa pun usia kita.
Kalaupun ada hal yang pantas disalahkan atas kekurangpahaman kita, itu tidak lepas dari tingkat melek asuransi kita yang masih terhitung rendah. Secara umum, para pemasar asuransi masih dianggap monster pengganggu yang meneror indera pendengaran kita. Serius, kalau diibaratkan, mereka tak ubahnya seperti cowok yang tidak diharapkan perempuan tapi terus berusaha mendekat dan menembak.
Dunia penuh ketidakpastian, hari ini kita masih dapat tersenyum dan dapat berjalan dengan tegak, belum tentu esok hari kita dapat berjalan karena sakit atau kecelakaan. Hari ini kita masih menghirup kepulan asap kopi di pagi hari yang sungguh menenangkan, esok hari bisa jadi kita sudah mangkat, menuju keabadian. Hari ini kita cekikikan baca tulisan-tulisan di Mojok, esok pagi mungkin keluarga akan menangisi diri kita.
“Om, tabunganku tuh banyak. Hasil dari kerja keras lembur bagai kuda dan hidup ngirit”
“Maksudmu?”
“Amit-amit ya, Om. Tapi kalau datang waktuku kelak sakit, toh sudah ada BPJS. Uang yang ada cukup untuk menghidupiku”
Begini, biaya sakit itu sangat mahal jauh lebih mahal dari yang mampu kamu bayangkan. Tabungan emas segunung pun akan tandas dengan mudah, kalau kita gerogoti terus tanpa ada pemasukan lagi. Kalau sakitnya masih seputar pilek dan mata sering belekan seperti Iqbal Aji Daryono, solusinya tidak pelik. Cukup makan enak dan istirahat, selesai. Malangnya, di dunia yang fana ini banyak penyakit dengan seribu wajah, dikira A ternyata B, dikira B ternyata C. Iya kalau diobati sembuh, kalau tidak?
Ini bukan persoalan menyebarkan rasa takut atau Om sudah menjadi kepanjangan tangan perusahaan asuransi. Tetapi ini membicarakan tentang risiko yang dihadapi seluruh manusia di muka bumi. Bukan di Indonesia saja, bukan hanya pembaca Mojok saja. Jadi kalau kita memang sayang terhadap diri sendiri dan orang-orang terdekat kita, lindungilah diri kita dengan produk asuransi. Duhhh malah tambah mirip agen asuransi.
BPJS Kesehatan, seperti yang sudah kamu miliki, merupakan asuransi milik negara untuk menjamin kesehatan warga negara dengan nilai iuran yang dapat dikatakan sangat murah. Kelebihannya, dengan nilai iuran premi begitu murah, kita dapat mengakses fasilitas kesehatan berupa rawat jalan. Itu hanya mungkin dapat dilakukan jika kita mempunyai asuransi dari perusahaan dengan nilai iuran per bulannya lebih dari 20 kali lipatnya iuran BPJS. Serius.
Kelebihan lain BPJS, tidak pernah membedakan besaran iuran antara peserta yang merokok atau bukan, lain halnya jika kita membeli asuransi di perusahaan swasta. Pertanyaan tersebut akan selalu ditanyakan, karena akan sangat mempengaruhi manfaat. Perokok dianggap memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit beraneka rupa. Om pernah mencoba ngeyel bahwa di keluarga om tidak ada yang sakit karena merokok, mereka hidup sehat sampai tua. Tapi tetap aja sia-sia, manfaat yang diterima tidak sebesar kalau kita bukan perokok.
Jadi, setelah melihat fantastisnya BPJS, walaupun beberapa pihak (pasien, dokter, rumah sakit) terkadang (untuk tidak mengatakan sering) mengeluhkan prosedurnya, perlukah kita mempunyai asuransi selain BPJS?
Tentu saja perlu! Karena BPJS tidak memberikan uang pertanggungan yang nominalnya besar jika seseorang mendapatkan musibah yang mengakibatkan kehilangan kemampuan mencari nafkah karena cacat tetap atau meninggal. Sekali lagi ini bukan forum untuk menjawab perlu tidaknya asuransi dikaitkan dengan apakah asuransi haram atau masuk klasifikasi riba. Tetapi soal kemampuan manusia mempersiapkan diri jika risiko menimpanya.
Saat ini orang Indonesia mulai sadar asuransi. Ya, meleknya sih masih setengah. Kriyip-kriyip, melek benar nggak merem juga nggak. Orang mulai merasakan perlu asuransi, tapi di sisi lain juga tidak siap kehilangan uang premi yang disetorkan tiap bulan atau tiap tahun (uang hangus). Sebagian besar dari kita selalu memikirkan pertanyaan jika sampai tahun tertentu tidak terjadi apa pun, dikembalikan tidak uang kita?
Kondisi psikologi orang Indonesia yang bimbang sepertimu: dibaca, ditangkap dan diolah oleh perusahaan menjadi beragam produk yang dibutuhkan masyarakat. Proteksi dapat, investasi pun dapat. Pertanyaan besarnya, benarkah itu yang kita inginkan? Benarkah kita memahami dengan baik jika embel-embel investasi ditempelkan pada produk asuransi yang kita ikuti?
Apakah pemasar asuransi yang menghubungimu sudah menjelaskan soal unit link?
Om akan bantu sedikit menjelaskan soal tersebut. Eh siapa tau ada bagian yang terlewat atau belum jelas benar. Investasi yang menempel pada asuransi memungkinkan sebagian nilai iuran dari premi yang kita setor sebagian dialokasikan untuk investasi di reksadana. Proteksi berupa asuransi jiwa dan kesehatan dapat, unit investasi pun jalan. Ada besaran nilai uang yang “dijanjikan” akan kita terima di masa yang akan datang, walaupun tidak terjadi risiko apa pun atas diri kita. Itulah unit link.
Bagus dong? Iyalah bagus, setidaknya kita dapat melakukan investasi secara disiplin tanpa perlu memelototi investasi di reksadana secara terpisah. Tetapi perlu dicatat, pemasar yang baik akan menjelaskan kepada calon nasabahnya soal risiko investasi dan hendak ditaruh di keranjang mana saja telor-telor (investasi) kita. Konsekuensi berikutnya, investasi yang menempel pada produk yang ditawarkan tersebut mengurangi manfaat jika risiko menimpa diri kita. Belum tentu juga return yang dijanjikan sesuai dengan ilustrasinya.
Maksudnya?
Kita harus sadar sepenuhnya kalau memiilih asuransi itu seperti memilih pasangan hidup. Mudah kalau kita tidak mempunyai rencana hidup, ribet jika kita mempunyai banyak rencana dalam hidup. Mudah jika kita tidak memahami risiko, sulit jika kita menimbang risiko. Unit link memang seperti cowok ganteng atau cewek cantik yang memukau, indah diilustrasikan tetapi belum tentu memenuhi harapan jika kita hidup bersamanya.
Begini, Nona yang semoga tidak akan tambah bingung. Om tidak anti unit link mengingat banyak kelebihan dari asuransi non konvesional tersebut yang dapat ditambahkan (rider), dari asuransi kesehatan, kecelakaan yang berakibat cacat tetap hingga asuransi penyakit kritis. Namun demikian, embel-embel investasi dalam produk asuransi berunit link mengandung risiko yang harus ditanggung sepenuhnya oleh pemegang polis. Selain sebagian nilai iuran yang tidak langsung diinvestasikan sejak awal karena ada banyak biaya (akuisisi misalnya, untuk membayar komisi pemasar), ada kemungkinan juga kita justru akan diminta top up (tambah setoran jika nilai investasinya mlotrok seperti celana kehilangan kelenturan kolor). Apa yakin akan dikembalikan dalam 5 tahun?
Kalau tidak setor bagaimana? nilai proteksinya bisa jadi berkurang atau malah hilang. Jadi permasalahannya bukan apakah unit link itu bagus atau tidak, tetapi seberapa paham kita baik manfaat maupun resikonya. Tentu sangat berbeda jika yang ditanyakan, apakah investasi (unit link) di perusahaan asuransi serupa dengan investasi emas atau tanah? Karena faktor kelangkaan, dua sumberdaya tersebut mempunya kecenderungan harga yang akan selalu naik.
Saran Om, sebelum memilih asuransi dan investasi, kita mengetahui tujuan keuangan kita. Kalau untuk proteksi beli asuransi, kalau menghendaki investasi beli produk reksadana. Kalau memang bersikeras membeli produk campuran, harus tau detil besaran preminya, alokasinya, biaya-biaya dan penalti. Tanya secara detil, kalau belum mendapatkan penjelasan yang cukup baik dari pemasarnya, tongkrongi langsung perusahaan asuransinya. Karena kesalahan mendasar para nasabah biasanya kurang memahami isi perjanjian di dalam polis.
Khusus soal investasi, pemahaman kita sejauh ini hanya terbatas pada reksadana saja. Tidak salah sepenuhnya sih, mengingat imbal hasilnya (return) memang lebih besar daripada jika kita “titipkan” pada unit link. Kalau kita jeli, sekarang ada beberapa perusahaan fintech (jasa keuangan berbasis teknologi) yang mempertemukan pemilik modal dengan pemilik usaha kecil menengah yang membutuhkan modal melalui internet, dengan skema peer to peer lending dan imbal hasil yang tidak kalah dengan reksadana. Mengapa tidak mencoba investasi jenis tersebut?
Huff… Om, mbok ya ingat ini tuh mojok. Jangan terlalu serius.
Loh memang tidak boleh sambal cengengesan kalau membicarakan asuransi. Ingat, asuransi itu sangat penting untuk memberikan perlindungan kepada diri kita dan orang-orang terdekat kita. Sementara investasi penting untuk merespon kenaikan penghasilan kita yang acap kali dikadali oleh laju inflasi baik kebutuhan sehari-hari maupun inflasi di bidang pendidikan yang persentase kenaikannya di atas persentase kenaikan penghasilan kita.
Semoga cukup jelas ya. Kalau belum cukup jelas, kejar perusahaan asuransinya dengan beberapa petunjuk yang sudah saya sampaikan mulai dari manfaat, target uang pertanggungan, biaya-biaya yang muncul dan risikonya. Ajak si dia untuk berdiskusi lebih lanjut tentang rencana keuangan yang akan kalian lakukan. Sekalian untuk melihat keseriusannya terhadap hubungan kalian.
Tambahan, kalau sama sekali belum mempunyai asuransi bagaimana? Selemah-lemahnya usaha, segera urus ke BPJS. ingat, mumpung masih sehat jangan ditunda. Nilai iurannya pun bisa jadi lebih kecil dari pada beli paket kuota internet kok. Bagi yang sudah cukup dana untuk membeli asuransi sebagai proteksi tambahan, segerakan mumpung masih muda dan nilai setoran preminya belum setinggi kalau sudah mulai menua.
Nah, selagi belum mempunyai asuransi, naik motor pelan saja walaupun motornya jenis yang cocok untuk balap, banyakin makan sayur, biasa ngrokok sebungkus kurangi jadi sebatang saja, kopi diencerin, banyakin olahraga, rajin berdoa dan bagi yang gampang deg-degan nggak usah nembak gebetan dulu.
Aha satu lagi, final piala dunia sudah dekat dan kemungkinan besar yang jadi pemenang adalah negara yang belum pernah menjadi juara dunia. Kalau kamu belum dicover asuransi dan tidak siap dengan kemungkinan itu, nggak usah nonton. Sangat membahayakan kesehatan!