MOJOK.CO – Salah satu kunci investasi adalah bisa membedakan keinginan dan kebutuhan. Misalnya memilih makan pecel ketika kamu bisa lunch mewah.
Sahabat celenger yang selalu ingin untung cepat dan tidak mau rugi di mana pun kalian berada,
Begitu buku Milenialnomics diterbitkan Buku Mojok, hal yang paling kerap ditanyakan para calon pembaca tidak lain apakah di buku tersebut ada kiat-kiat sukses berinvestasi?
Tidak keliru dan sah-saja orang bertanya demikian. Apalagi kalau dibarengi niat membeli bukunya. Apa lagi di subjudulnya tertulis sangat jelas “Mengatur Keuangan dengan Bahagia”. Bahagia dalam pandangan makhluk ekonomi lebih sering dibahasakan dengan pendekatan kesejahteraan.
Kapan manusia dianggap sejahtera? Kalau kebutuhan yang bersifat materi sudah terpenuhi. Lihat ponsel keluaran terbaru tidak mempermasalahkan harga, tetapi lebih memikirkan butuh atau tidak. Beli jelas mampu, tetapi untuk apa? Akan lebih baik uang yang ada dijadikan modal usaha atau untuk melakukan investasi. Dalam perspektif ekonomi, investasi seperti menjadi alat ukur kesejahteraan individu.
“Eh, lo masih gawe di tempat yang lama? Betah banget. Punya usaha sampingan atau investasi apa gitu?”
Pertanyaan semacam itu seperti menjadi standar percakapan ideal masyarakat hari ini. Seolah kerja yang baik di kantor saja masih kurang, berwiraswasta saja belum cukup. Dalam benak banyak orang seperti sudah terbentuk pemahaman ideal bahwa makhluk ekonomi itu sebisa mungkin punya usaha sampingan atau punya banyak kebebasan dalam menentukan instrumen investasinya.
Variasi percakapan di kesempatan lain menjadi, “Eh, aku sedang ada duwit 100 juta nganggur nih. Nggak sengaja nemu di lemari. Enaknya dibelikan reksadana atau kambing ya? Ada temen kantor yang nitipin kambing ke peternak, tiap hari kurban dia untung besar. Ada saran, kuy?”
Pertanyaan seperti itu sebenarnya menggambarkan bagaimana dunia investasi itu sebenarnya bekerja. Panjang, berliku, dan tak jarang menyesatkan. Sudah banyak tulisan diproduksi dalam bentuk artikel hingga buku. Mulai dari tantangan, peluang, kisah sukses, hingga cara berinvestasi. Tetapi orang masih selalu bertanya dan bertanya, “Kapan saya seharusnya melakukan investasi yang menguntungkan, sekarang apa besok?”
Investasi itu apa?
Investasi, secara umum, adalah serangkaian tindakan dalam bentuk penempatan dana atau penanaman modal dengan harapan untuk mendapatkan akumulasi keuntungan di masa yang akan datang. Kalau dibedah lebih lanjut sih ragam investasi sangatlah luas. Tidak melulu tentang reksadana, jual beli properti, jual beli emas, jual beli valuta asing tetapi juga tentang membangun usaha, penelitian dan pengembangan, hingga pendidikan.
Dalam sengkarut zonasi sekolah di beberapa daerah, banyak orang tua stres salah satu faktornya karena memandang sekolah merupakan investasi. Sekolah favorit yang dianggap punya rekam jejak bagus dan iklim kompetisi yang sehat, diharapkan akan menentukan nasib anaknya kelak. Jadi memang tidak sesederhana yang dipikirkan oleh pembuat kebijakan bahwa sekolah di mana saja itu sama baiknya dan tergantung kemampuan si anak.
Zaman moyang kita masih memegang teguh tradisi agraris, instrumen investasi tidak pernah serumit saat ini. Namun secara garis besar tetap sama. Kalau ingin menggandakan jumlah panennya, investasi yang dilakukan mulai dari penggunaan bibit unggul hingga sewa lahan tambahan untuk meningkatkan luas areal tanamnya.
Ingin menambah jumlah hewan ternak seperti sapi atau kambing bisa dengan “sistem gaduh” yang memanfaatkan modal sosial. Pemilik menyerahkan sebagian ternaknya untuk dirawat dan dikembangkanbiakkan oleh orang lain. Pembagian keuntungannnya tergantung kesepakatan. Cara paling umum, membagi dua anakan yang nantinya diperoleh atau dengan cara membagi keuntungannya saat ternak tersebut dijual.
Sekarang, pilihan yang ditawarkan jauh lebih beragam. Namun, belum tentu lebih cepat menghasilkan, dan jauh lebih besar pula risikonya. Kalau kalian di satu kesempatan mendapatkan paparan dari para pemasar pasar uang (forex) yang Anda kenal baik, besar kemungkinan Anda akan tertarik dengan keuntungannya yang seolah akan mudah diperoleh dengan cepat.
Ikut simulasinya pun selalu untung. Tetapi begitu menjalani, separuh kekayaan juga tidak perlu lama habisnya kalau mau dipertaruhkan atas nama investasi. Banyak buku atau artikel yang mengulas cara sukses trading forex untuk menebalkan rasa percaya diri, tetapi tidak ada buku penyeimbang yang memperingatkan orang untuk menghindari investasi yang cocok untuk memiskinkan diri tersebut berdasar pengalaman pribadi.
Mengapa? Karena orang punya kecenderungan untuk tidak mau danggap bodoh dalam melakukan investasi yang lebih banyak mendasarkan pada intuisi seorang penjudi. Seorang pengamat ekonomi enteng saja membuat peramalan satu mata uang akan mengalami apresiasi atau depresiasi berdasar tren dan analisis fundamental. Hasilnya akan presisi karena kita menelaah data secara series.
Namun, dalam dunia trading forex, pergerakan harga dalam detik, menit, dan jam bisa dengan mudah menjungkalkan kekayaan kita. Mau tahan posisi rugi dengan harapan posisinya akan berbalik harus setor dana lagi, kalau tidak ditahan dana kita akan tersedot habis dengan cepat.
Mahasiswa dan para pekerja awal, makhluk yang sedang berusaha belajar idealis, kerap terjebak dalam investasi seperti ini. Tipikal makhluk yang merasa punya bekal pengetahuan akan teknologi yang cukup, merasa mempunyai gudang informasi yang dapat diakses kapan pun, dan merasa akan untung dengan cepat seperti para maestro sekelas George Soros. Nyatanya? Gagal lagi dan gagal lagi. Rasa penasaran itu yang acap kali memiskinkan.
Apa pilihan investasi ini tidak menguntungkan?
Jangan salah. Banyak orang kaya jadi semakin kaya dengan pilihan investasi ini. Apa yang membedakan kaum kaya dan kaum misqueen yang merasa kaya? Kemampuan saat melakukan trading dan menahan diri. Orang kaya sadar bahwa trading forex dengan modal 10 miliar, cukup yang dimainkan 100 juta saja. Jika posisinya salah, dananya cukup untuk melindungi kejatuhannya dan masih berharap posisinya berbalik menguntungkan.
Lain halnya dengan sobat misqueen. Punya dana 10 miliar untuk investasi di pasar uang, 1 miliar dipertaruhkan. Hasilnya? Pake strategi hedging untuk melindungi risiko rugi karena salah posisi, dan justru tambah rugi karena mengurangi sisa dana kalau posisi kita sudah terlanjur salah. Jadi memang kaya dan miskin itu soal mental dan kepandaian mengukur risiko.
Bagaimana reksadana atau saham?
Mau tidak mau, suka atau tidak. Setiap membicarakan investasi, tak elok kalau tidak menyenggol Mbah Warren Buffet, profil investor tersukses sepanjang masa. Ia mulai beli saham saat umur 11 tahun, jauh sebelum jadi mahasiswa di salah satu sekolah ekonomi terbaik di dunia, Wharton School. Ia juga bukan tipikal investor yang grusa grusu, sekarang investasi besok pagi harus untung.
Dalam pandangan Buffet, membeli saham itu saat harganya murah atau rasio harga terhadap nilai bukunya rendah, ada deviden, dan fundamental perusahaannya kuat. Jadi tidak ada investasi dalam bentuk goreng menggoreng saham. Pagi beli siang jual. Potensi untung besar, tapi detak jantungnya juga bisa berhenti sewaktu-waktu.
Dalam dimensi yang kurang lebih sama, kita tengok saja bagaimana tiba-tiba seperti Go-Jek bisa jadi unicorn? Itu tak lepas dari penciuman tajam perusahaan investasi di luar negeri yang begitu tajam mencium prospek bisnis di luar ride hailing. Mereka memborong kepemilikan, saat investor di dalam negeri masih pikir-pikir.
Nah, kalau investasi properti seperti tanah bagaimana? Tidak ada ceritanya harga properti turun, kan?
Begini. Sebaiknya investasi itu jadikan pilihan terakhir dari tujuan finansial kita. Investasi bisa dilakukan dengan syarat “kalau”. Serius, investasilah kalau sudah mampu menabung teratur, kalau pekerjaannya sudah mapan, kalau usahanya lancar, kalau utangnya sudah terkendali (produktif), dan kalau sudah bisa membedakan kebutuhan dan keinginan.
Warren Buffett dikenal luas sebagai investor super kaya yang gaya hidupnya irit. Kalau kebutuhan makan cukup dipenuhi dengan pecel satu pincuk, tidak perlu makan siang di hotel yang duwitnya bisa untuk membeli seribu pincuk pecel. Ngirit ini termasuk perilaku luhur yang tidak semua investor sanggup melakukannya.
Tapi ya jangan pas pacaran di waktu makan siang berbisik ke pacarnya, “Ay, minum dawet aja sama gorengan satu ya. Uang makan siang kita kalau dikumpulin lima tahun kayaknya cukup untuk investasi bikin kafe deh. Kalau perlu makan pagi kita ganti dengan sarapan berita saja.” Kafe nggak kebangun, jadi pasien rumah sakit iya!
Jadi, carilah pasangan hidup yang bisa mendukungmu lahir dan batin. Pikirkan sejak masih pacaran, karena pasangan hidup adalah “investasi” terbesar manusia.