MOJOK.CO – Kalau kamu pengin jadi caleg, jangan percaya kalau ada yang bilang nyaleg bisa dilakukan tanpa keluar uang seperser pun. Berpolitik itu butuh uang. Berapa jumlah yang harus dikeluarkan? Tergantung, 2 Miliar bisa jadi kurang, 100 juta malah bisa cukup!
Sahabat Celenger yang isi rekeningnya kalau dicairkan jumlahnya langsung ketahuan melalui quick count,
Bagaimana perasaan kalian hari ini, satu hari setelah gelaran pemilihan umum yang dihelat 17 April 2019? Sehat tapi pilu karena hasil pemilihan umum tidak seperti yang diharapkan?
Bagaimana juga untuk kalian yang gembira karena hasilnya sesuai dengan harapan, apakah kira-kira pemerintahan baru yang terbentuk nanti akan membuat kalian semakin sejahtera; makan jadi lebih enak, pekerjaan tambah bagus, dan jadi punya pacar setelah gagal mendapatkannya di satu masa kepresidenan sebelumnya?
Hasil quick count atau hitung cepat untuk sementara sudah memberikan gambaran hasil akhir. Sampai lima tahun ke depan kita tidak akan mempunyai presiden baru. Hal yang harus selalu diingat, sebagai sebuah bangsa yang sudah sepakat hidup berdemokrasi, presiden terpilih akan tetap menjadi kepala negara untuk semua warga negara. Termasuk bagi siapa pun yang sebelumnya tidak memilihnya. Artinya, harusnya sih tidak perlu (lagi) ada drama hal-hal yang menjauhkan masyarakat dari prinsip demokrasi hanya karena pilihannya berbeda. Betul apa betul?
Sahabat Celenger yang langsung lupa dengan problema keuangannya begitu menonton ILC di tv merah,
Sebagai makhluk ekonomi, kalau disuruh memilih, setiap warga negara sebenarnya tidak memedulikan arah politik sepanjang rekeningnya tidak jatuh ke angka saldo yang tidak dapat ditarik lagi. Tetapi kalau jawabannya lain dari yang ditanyakan, ada kemungkinan di dalam dirinya telah mengalir deras darah seorang politikus. Tentu dengan menghilangkan asumsi tidak nyambung.
“Perubahan politik akan membuat bangsa ini lebih sejahtera dari sebelumnya. Kemajuan harus kita perjuangkan!”
Kalau kalian sudah berada pada tahap bahwa hidup tidak sekadar mencari nafkah belaka, menabung bukan hanya untuk menyalurkan hobi, tetapi juga demi kemajuan bangsa dan negara, maka sudah dapat dipastikan kalian telah menjadi makhluk politik.
Apalagi kalau sudah memberi pernyataan ingin menjadi bagian yang dapat memperbaiki atau menciptakan tatanan masyarakat yang adil, makmur, dan beradab. Itu berarti sudah waktunya masuk ke partai politik untuk jadi caleg!
Ini serius! Kurang kaya bagaimana saat konglomerat seperti Aburizal Bakrie masuk ke percaturan politik nasional? Kurang sejahtera bagaimana Jusuf Kalla, salah satu konglomerat terkaya di Indonesia bagian timur saat memutuskan masuk di partai yang sama dengan Aburizal? Kurang bersinar bagaimana Sandiaga Uno, Erick Tohir, Erwin Aksa, tiga pengusaha muda tersukses yang pernah ada di Indonesia saat memutuskan hijrah ke dunia politik?
Apa yang sering dituduhkan orang bahwa berpolitik merupakan upaya untuk memperlancar bisnis mereka melalui kekuasaan bisa jadi nggak benar. Kita perlu banyak minum dan banyak-banyak istighfar kalau membahas hal seperti ini.
Politik memang motifnya kekuasaan, tetapi jangan sampai kita berakhir di kubangan fitnah yang tidak terampunkan dengan berpikiran yang seperti itu. Pahami yaa, anggap saja ongkos politik itu memang mahal. Jadi memang hanya penguasaha yang bisa secara ideal berpolitik.
Bagaimana dengan orang yang masih gajian, buruh, pns, pengusaha kecil, dan bahkan mahasiswa yang ingin berpolitik? Apa saja yang harus disiapkan? Politik sebenarnya hanya menyaratkan 2 hal pokok saja, mental dan ongkos!
Mental
Mental sudah pasti yang pertama harus disiapkan. Berpolitik berarti harus siap mental ndableg, lambe turah, dan “menanggalkan nurani”. Itu syarat penting karena sering kali ketika jadi caleg, mereka harus selaras dengan kebijakan partai walaupun bertabrakan dengan keyakinan mereka selama ini.
Satu contoh semula menjadi aktivis lingkungan, tiba-tiba harus mengatakan bahwa kelapa sawit bermanfaat bagi ekonomi, mulai dari menciptakan banyak lapangan kerja hingga nilai ekonominya yang besar untuk negara. Tidak membahayakan lingkungan jika dikelola dengan baik.
Politisi yang bermental baik selalu mempunyai exit strategy. Dari bagaimana mengatasi kekurangan modal untuk ongkos politik, hingga memperoleh manfaat dari setiap langkah yang dilakukannya. Dalam beberapa hal mereka memiliki prinsip seperti pengusaha, bagaimana berpikir untung dan untung. Kalau pun gagal menjadi anggota legislatif di kesempatan pertama, mereka sudah cukup modal sosial untuk maju di waktu lain.
Berbeda dengan yang mentalnya kurang baik. Di dalam pikirannya, berpolitik adalah investasi yang keluarannya dalam bentuk untung dan rugi, seringkali ukurannya dengan jumlah rupiah. Kalau tidak untung di periode tersebut maka dia mengalami stress yang berujung gangguan jiwa.
Ongkos
Berpolitik tanpa uang itu mustahil. Pernah mendengar politisi yang mengatakan tidak menggunakan uang sepeser pun? Sudah pasti sering. Ada kekeliruan mendasar memahami antara politik uang dan ongkos atau biaya politik, sehingga orang memilih menjawab tidak menggunakan uang sepeser pun.
Mungkinkah orang tidak keluar ongkos untuk mengorganisasi massa? Sekali lagi mustahil! Setidaknya kan perlu uang untuk membelikan tahu goreng dan teh botol saat bertemu dengan tim sukses, juga perlu biaya bbm untuk menemui konstituennya. Ada orang mager yang bisa terpilih tapi tidak mengeluarkan biaya? Bisa jadi ada kalau anak raja atau keturunan pemimpin dinasti politik. Tapi itu pun tidak menjamin.
Makhluk politik sangat terampil mengeluarkan jawaban tidak mengeluarkan uang sepeser pun. Benar karena memang tidak keluar sepeser pun dari kantong atau rekeningnya. Untuk politisi berkelas, punya modal sosial yang bagus maka sponsornya yang akan antri mengeluarkan biaya untuk mereka. Tidak perlu repot jual pekarangan atau sawah untuk mengongkosi
Ambil contoh legenda penulis mojok seperti Iqbal Aji Daryono, seumpama didapuk jadi caleg DPR RI dari Yogyakarta, modal sosialnya sudah sangat bagus. Walaupun di forum Info Cegatan Jogja, ICJ, namanya tidak dianggap. Setidaknya namanya sangat harum di kalangan akademis, remaja masjid, ormas keagamaan, dan follower fanatik di media sosialnya yang mostly dedek-dedek emes dan emak-emak. Target 100 ribu suara pun ongkosnya akan disiapkan oleh para sponsor sambil tersenyum lebar.
Bandingkan dengan penulis mojok lain, Kokok Dirgantoro, yang seperti babat alas di medan laga yang tidak saja rumpil, tetapi juga juga berbahaya di Banten III. Walau pun program dan rekam jejaknya bagus, uang dari kocek sendiri tetap mengalir deras untuk mendongkrak elektabilitasnya. Modal sosial yang dipunyainya untuk “menaklukan Banten” sangat kurang kalau hanya sekadar mengandalkan statusnya sebagai selebtwit.
Tidak murah biaya untuk bergerilya dari pintu ke pintu penduduk yang sama sekali tidak mengenal namanya. Tidak mudah mengumpulkan tim sukses yang bisa jadi juga bukan penduduk asli. Di akhir tahun 2018, saat diwawancara Panji Pragiwaksono di kanal youtubenya, Kokok bahkan jujur mengatakan kalau harus menggadaikan rumah untuk keperluan jadi caleg. Nilainya berapa? Tentu tidak murah walau atas nama idealisme sekali pun.
Tidak ada nilai rupiah yang pasti, berapa nilai standar minimal yang diperlukan untuk menjadi anggota legislatif. 2 miliar bisa kurang, 100 juta bisa jadi cukup. Orang yang menjadi aktivis sejak mahasiswa seperti Fahri Hamzah, Nusron Wahid, Adian Napitupulu, Budiman Sujatmiko, sangat mungkin tidak mengeluarkan biaya sebesar yang dikeluarkan Roy Suryo, misalnya.
Intinya, semakin mempunyai banyak massa, maka semakin effortless. Cara masuk panggung politik dengan menjadi aktivis mahasiswa maupun perburuhan, sampai saat ini diyakini ongkos politiknya paling kecil. Hanya memang perlu juga disiapkan pos pengeluaran untuk konsultasi dengan psikolog atau psikiater jika kelak tidak dapat menerima hasil pemilu. Itu yang sering dilupakan.