MOJOK.CO – Bertahan hidup di tengah pandemi corona adalah usaha untuk kembali ke dasar, yaitu berhemat. Setelah itu, mencari alternatif pemasukan sesuai kemampuan diri sendiri.
Banyak tips keuangan dan bertahan hidup di tengah pandemi virus corona yang bisa kamu temukan di internet. Namun, menurut saya, semuanya kembali ke satu aksi penting, yaitu berhemat. Terutama bagi kamu yang sudah menikah dan punya anak. Perut seisi rumah harus diselamatkan.
Sejak WFH diberlakukan, semua pengeluaran yang berbau tidak penting dan masuk barang tersier dimusnahkan dari daftar pengeluaran rumah tangga. Pengeluaran hanya difokuskan pada makanan dan keperluan habis pakai seperti sabun, odol, dan lainnya.
Penghasilan saya terhitung pas-pasan saja. Kami sekeluarga tinggal di sebuah hunian kontrak. Jadi, mengencangkan ikat pinggang sudah bukan pilihan lagi, tetapi harus dilakukan. Saya berdoa semoga kamu semua yang juga mengalami situasi ini tetap sehat dan bahagia selalu.
Sebelum saya bercerita soal kiat bertahan hidup dengan mode hemat, saya ingin menegaskan bahwa kami sekeluarga punya satu prinsip. Kami tidak ingin menimbun kebutuhan seperti kebanyakan orang. Selain tidak elok, masih banyak orang yang membutuhkan, kami juga tidak punya kulkas, sih. Jadi, kami harus “cerdik” membeli kebutuhan.
Berhemat ketika pandemi virus corona
Mode hemat yang kami jalankan memang sederhana. Namun, yang penting basic needs terpenuhi dulu. Tujuannya biar kita bisa beradaptasi dengan kesulitan ekonomi yang akan datang di tengah pandemi virus corona.
Misalnya, jatah belanja harian keluarga kami sebelum WFH adalah Rp50.000 per hari. Sekarang, kami susutkan menjadi Rp20.000 per hari. Biasanya, sebelum WFH, anggaran makan di rumah tiap bulan adalah Rp500.000. Kini, anggaran tersebut saya kurangi tergantung kebutuhan bulan tersebut dan sisanya disimpan untuk kebutuhan lain.
Jatah kuota internet yang bisasanya per orang sebesar Rp100.000 per bulan dipotong menjadi Rp50.000. Sungguh sangat signifikan penurunan anggaran bulanan kami. Tapi kondisi ini memang jadi “keadaan normal yang baru”. Banyak orang yang gajinya dipangkas. Bahkan ada yang sampai kena PHK tanpa kompensasi. Kami sangat bersyukur, setidaknya masih ada pemasukan.
Saya dan suami adalah peneliti. Kami memiliki ketergantungan tinggi kepada komunikasi, interaksi, dan kehidupan sosial lintas pulau. Karena pandemi virus corona, banyak kerja penelitian yang ditangguhkan. Oleh sebab itu, kami bertumpu kepada jualan online, tabungan, dan berkebun.
Yes, berkebun….
Mencari alternatif
Kami menyebutnya sebagai usaha mencari alternatif pemasukan selama pandemi virus corona. Kamu nggak harus mencoba berkebun, kok. Mungkin bisa mencoba ternak kecil-kecilan hewan konsumsi.
Ide untuk berkebun datang begitu saja. Tiba-tiba berkebun menjadi jalan ninja hemat ala keluarga kami. Saya berterima kasih sekali kepada para petani yang gigih memasok bahan pangan bergizi tinggi ke masyarakat. Masa-masa seperti ini bikin saya semakin mengerti susahnya menjadi petani.
Jogja begitu ketat memberlakukan lockdown sejak kira-kira 27 Maret yang lalu. Saat itulah, kami mulai memperbanyak tanaman sayur. Kebutuhan dasar seperti cabai, seledri, kemangi, okra, sawi, bayam, selada, tomat, dan terong kami tanam mandiri. Kami harus bersabar menunggu 27 hari hingga sayuran dapat dipanen. Kecuali untuk cabai, terong, dan tomat yang harus menunggu tiga bulan. Setidaknya kami bisa menekan pengeluaran.
Masalahnya adalah lahan….
Kami harus kreatif karena lahan yang tersedia hanya berukuran tiga kali setengah meter. Sangat kecil untuk ukuran lahan kebun. Namun, ternyata solusinya sudah ada. Mungkin kita kurang aware saja selama ini kalau solusi sederhana itu bisa menyelamatkan keuangan keluarga di tengah pandemi virus corona.
Ini cara-cara yang saya yakin kamu pernah membacanya di suatu tempat:
Pertama, kami mengakali lahan sempit menggunakan poly bag. Bekas kemasan juga bisa dimanfaatkan sebagai media tanam. Kedua, sampah-sampah sayuran jangan dibuang. Ada yang bisa ditanam lagi. Ada juga yang bisa dijadikan pupuk organik. Air cucian beras yang biasa dibuang, kami manfaatkan untuk pupuk.
Akhir April 2020, kami sudah bisa memanen sawi, daun bawang, daun kemangi, dan seledri. Memang belum banyak mengurangi pengeluaran. Jika ditotal secara kasar, empat sayuran tersebut hanya mengurangi kurang lebih Rp5.000 saja.
Namun, biar cuma Rp5.000, tapi jika dikali 30 hari, kami bisa menahan laju pengeluaran sebesar Rp150.000. Di tengh pandemi virus corona, kami sepakat untuk menyebutnya: lumayan.
Faktor lain yang membuat mode hemat kami masih kuat berjalan adalah lockdown mandiri ketika pandemi virus corona. Di setiap pintu masuk kampung, pasti kamu disemprot disinfektan. Di kampung kami, biasanya ada dua pemuda yang berjaga di pintu masuk untuk menyemprot warga sebelum masuk kampung.
Dua remaja tanggung itu baru lulus SMA. Keduanya membawa peralatan. Satu orang membawa semprotan seperti semprotan parfum setrikaan yang sering saya pakai di rumah. Satunya membawa tangki pak tani untuk menyemprot hama di sawah.
“Pak, Bu, helmnya ditutup saja ndak papa,” kata remaja tanggung yang membopong tangki pak tani. Saya dan suami menurut dan rintik air yang berasal dari lubang selang tangki itu membasahi helm dan baju kami. Persis seperti wereng yang diusir dari batang padi oleh petani.
Suami saya iseng bertanya, “Ini cairan apa ya, mas?”
Salah satu pemuda menjawab “Sabun, Pak. Ini sudah racikan yang dikasih dari desa.”
Kami berdua hanya diam, menyimpan rasa tidak puas. Ada bau seperti salah satu merk pembersih lantai. Kami sama sekali tidak merasakan kehadiran alkohol 70% di tangan kami.
Saya merasa, yang disemprotkan melebihi takaran. Baunya menyengat. Ketimbang keracunan bahan kimia ketika pandemi virus corona, lebih baik kami membatasi diri untuk tidak keluar rumah. Nah, berkat kejadian itu, kami bisa menghemat bahan bakar kendaraan bermotor. Kami memilih jalan kaki ketika berbelanja.
Sekali lagi, ini pilihan yang sangat sederhana. Saya yakin kamu sudah tahu. Namun, namanya saja pilihan, terkadang dihiraukan. Budaya jalan kaki, saya percaya, memberi banyak manfaat. Berhemat bahan bakar sudah tentu. Kedua, sebagai alternatif olahraga. Meskipun hematnya dipandang tidak seberapa, tetapi akan terasa kelak di kemudian hari.
Saya tidak pandai memberi saran keuangan. Saya cuma bisa berbagi cara bertahan hidup di tengah pandemi virus corona ini. Memang, ini cara-cara yang teramat sederhana. Namun bagi saya, semuanya kembali ke intinya, yaitu bertahan hidup. Berhemat dan mencari solusi.
Banyak orang tidak punya modal untuk merintis usaha jualan online. Mungkin mereka tidak tahu caranya saja. Jadi, di tengah pandemi virus corona ini, memenuhi basic needs adalah yang utama. Saya kira, berhemat adalah dasarnya. Kalau ada sisa dari berhemat, bisa digunakan untuk investasi atau berbagi kepada sesama.
Berbagi, bagi saya, juga adalah usaha menabung. Kebaikan juga perlu menjadi perhatian kita. Dan pada akhirnya, kita tidak bisa hidup sendiri, kan.
Saya yakin, kebaikan membantu sesama, misalnya berbagi cabai atau tomat, membuat suasana kampung menjadi lebih asyik. Kalau rukun, sistem saling membantu akan terbentuk. Siapa tahu, kamu sedang lapar, lalu tiba-tiba tetangga datang membawakan sayur dan lauk. Bertahan hidup memang sebaiknya dilakukan secara kolektif.
BACA JUGA Pedoman Menabung bagi Milenial yang Gajinya Besar tapi Borosnya Minta Ampun atau tips keuangan lainnya di rubrik CELENGAN.