“Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengatakan pemerintah daerah telah diimbau membina para mantan aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), agar meninggalkan ajarannya yang bertentangan dengan Pancasila,” demikian pembukaan berita “Kemendagri Minta Pemda Bina Mantan Aktivis HTI”. Kedengaran akrab, ya?
SAYA SENANG PERPPU ORMAS
Ada bagian dari diri saya yang senang dengan pelarangan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Ada banyak hal yang membuat kita bisa belajar.
Sebab, belakangan orang makin enteng menyebut “sesat” keyakinan lain sehingga ibadahnya layak diganggu atau pengikutnya bisa dibunuh seperti warga Ahmadiyah di Cikeusik (2010).
Diaduk dengan kepentingan politik lokal, lima tahun lalu 300-an warga Syiah di Sampang, Madura, diusir dari kampung halamannya dan menjadi pengungsi di Sidoarjo. Hingga kini.
Kampanye pelarangan Syiah bahkan dilakukan secara terstruktur dan sistematis.
Kampung pengikut Gafatar dibakar di Kalimantan Barat. Sementara dengan dalih tak berizin, orang diusir dari rumah-rumah ibadahnya sembari siang malam pengusirnya berkhotbah bahwa “setiap jengkal tanah di bumi ini adalah tempat ibadah”. Orang-orang dengan pemikiran sefilosofis dan sedahsyat itu tiba-tiba ribut soal selembar IMB.
Jika ada pengikut atau simpatisan HTI yang mendukung pembubaran diskusi, nobar, atau pementasan teater yang dianggap “kekiri-kirian”, ada bagian dari diri saya yang berharap agar setelah Perppu Ormas ini keluar, polisi benar-benar melaksanakan ancamannya untuk membubarkan semua kegiatan HTI sekalipun kegiatan itu dilakukan secara damai dan tidak mengganggu kepentingan orang lain.
Ada bagian dari diri saya yang ikut bersorak ketika pendukung Jokowi mencibir para pendukung Khilafah dengan kalimat, “Menolak sistem hukum thaghut tapi mau pakai Mahkamah Konstitusi.”
Itu jleb banget.
Atau, “Mau membubarkan NKRI, tapi tidak mau dibubarkan.”
Itu juga jleb.
“Membenci sistem demokrasi tapi menolak dibubarkan dengan alasan tidak melalui cara-cara demokratis”.
Jleb, se-jleb-jlebnya jleb.
Namun, otak kita terlalu penting untuk dibiarkan terbuai dalam bully-bully-an seperti itu. Apalagi Perppu Ormas ini hakikatnya sama saja dengan Tap MPRS XXV/MPRS/1966 yang melarang ajaran Marxisme atau Komunisme.
Gus Dur sudah lama geram dengan Tap MPRS ini dengan alasan, “Kita harus mengacu kepada UUD 45. Karena UUD 45 memberikan kebebasan berfikir, berorganisasi, berkumpul dan menyatakan pendapat. Ini adalah hal-hal prinsipil yang harus digunakan dalam hidup berbangsa.”
Gus Dur benar. Bagaimana sebuah gagasan bisa dilarang? Entah itu Komunisme, Khilafah, NKRI Gemah Ripah, atau pun “Sekte Hari Kiamat”. Bagaimana bisa orang-orang dengan gagasan dan bahan bacaan yang sama ini dilarang berkumpul, berdiskusi, dan berkampanye mengajak orang lain sejauh tidak dilakukan dengan cara-cara kekerasan?
Inggris yang kerap diguncang teror bom tetap bisa membedakan antara aksi terorisme dan kebebasan berorganisasi. Hizbut Tahrir tidak dilarang di Inggris. Pelaku terornya yang tidak ditolerir.
Berbeda dengan NKRI yang membantai ratusan ribu hingga jutaan orang setelah peristiwa ‘65. Para korban itu tidak tahu-menahu peristiwa Lubang Buaya atau terlibat dalam perang dingin global antara blok Soviet atau China yang mendukung Sukarno melawan blok Amerika yang menyokong barisan jenderalnya Soeharto.
Tak puas dengan membantai para simpatisan, anak cucunya yang tak tahu hal ihwal juga dipersulit hidup. Tak bisa jadi PNS, KTP-nya ditandai, dan jalan rezekinya dihambat.
Kebodohan berlanjut hingga pelarangan simbol-simbol, seperti palu arit yang notabene menjadi simbol partai komunis seluruh dunia. Tidak hanya dipakai oleh PKI, tapi juga Partai Komunis Palestina yang sama kerasnya dengan Hamas dalam menentang zionisme Israel.
Bahkan lagu rakyat Banyuwangi seperti “Genjer-Genjer” atau “Tandur Jagung” yang sudah ada sejak 1946 dan tidak tahu-menahu soal aksi pasukan Tjakrabirawa ikut diseret-seret hingga hari ini.
Lantas dengan kekejaman para teroris ini, mengapa kita tidak melarang simbol-simbol Islam yang juga mereka gunakan? Mengapa kita tidak melarang lagu yang kebetulan ada di playlist ponsel teroris yang tumpas terkena bomnya sendiri?
Ada dua kemungkinan: pertama, mungkin karena kita berstandar ganda (“Beda dong komunis sama teroris.”).
Atau kedua, karena kita memang tidak ingin bodoh seperti Orde Baru dan pengikutnya.
Perppu Ormas ini harus ditolak. Namun, dalam prosesnya, mudahan-mudahan banyak yang menarik pelajaran bahwa memberangus gagasan atau keyakinan adalah tindakan semena-mena. Juga hak berserikat, berkumpul, dan mewujudkan gagasan tanpa melalui kekerasan.
“Jangan naiflah. Arab Saudi saja melarang Hizbut Tahrir.”
Silakan kalau ada yang senang standar demokrasinya disamakan dengan negara yang melarang perempuan menyetir mobil itu.
Dandhy Dwi Laksono: Unjuk rasa menolak Perppu Ormas ditolak polisi. Jadi setelah HTI, korban Perppu Ormas ini adalah kebebasan menyampaikan pendapat.
What next?