[MOJOK.CO] Siapa bisa jamin data kependudukan yang disetor ke provider tidak disalahgunakan?
Melalui Peraturan Menteri Kominfo, dari 31 Oktober 2017—28 Februari 2018 seluruh pemilik kartu SIM prabayar di Indonesia diwajibkan untuk mendaftarkan data diri berupa Nomor Induk Kependudukan dan Nomor Induk Kartu Keluarga lewat SMS ke nomor operator. Sedangkan untuk pengguna kartu pascabayar sendiri belum diwajibkan untuk mendaftar.
Jika hingga batas akhir waktu registrasi pelanggan belum mendaftarkan diri, nomor pelanggan akan diblokir secara bertahap hingga 28 April 2018. Apabila selepas 28 April belum juga menyelesaikan registrasi, nomor akan diblokir total.
Menurut Kemenkominfo, aturan baru ini bertujuan untuk mengurangi penipuan lewat komunikasi seluler dan memvalidasi data pengguna layanan seluler. Tapi, sejumlah keberatan datang dari konsumen. Misal soal privasi. Apakah registrasi yang menyetorkan NIK dan NIKK ini berarti provider kini memegang data kependudukan konsumennya? Kemudian, apa jaminan akan ada sanksi hukum jika data itu disalahgunakan?
Keberatan tersebut masuk akal. Sebelumnya konsumen sudah trauma dengan kasus e-KTP yang mana data 110 juta warga Indonesia kini justru dipegang perusahaan asing yang berlokasi di AS. Ini disebutkan sendiri oleh Mendagri Tjahyo Kumolo.
Itu problem bagi orang yang e-KTP-nya sudah jadi. Di Twitter, netizen bahkan menyindir bahwa bagaimana mereka disuruh menyetorkan data NIK jika KTP mereka tidak jadi-jadi.
Di kasus lain, dalam dua hari pertama masa registrasi, banyak konsumen yang mengeluhkan registrasinya ditolak tanpa tahu apa alasannya. Beberapa menanggapinya dengan membuat meme yang berisi SMS registrasi berbunyi “Saya Setya Novanto” dan registrasinya langsung diterima. (Tapi, hati-hati, kini bikin meme Setnov bisa dipolisikan lho.)
Kedua, ada preseden di mana Mendagri sendiri pernah membocorkan e-KTP seorang pengkritik presiden ke grup WhatsApp wartawan. Ini dianggap sebagai penyalahgunaan kekuasaan.
Berikut sejumlah komentar netizen yang terpantau Mojok perihal registrasi kartu SIM.
***
Bernando J. Sujibto: Yakin nih registrasi data personal juga data keluarga dijamin aman? Cek dulu ntar kayak eKTP silam. Data kita digondol negara lain.
Triwibowo Budi Santoso: Registrasi SIM Card tidak lancar. Ternyata banyak yang senasib. Terus pada bikin puisi di medsos. Netijen yang selow selalu punya cara untuk kezel dengan lucu tanpa nesu-nesu. Ini contohnya, sajak yang dimodifikasi dari sajak Gus Mus.
Kau suruh aku SMS ke 4444
Aku SMS ke 4444 kau diam saja
kau ini bagaimana atau
Aku harus bagaimana!
-eto Mundane: Mata dan sidik jari sudah dipindai, data pribadi dan data keluarga sudah terhubung. Apa lagi? Nomor hp, melalui kecanggihan gawai dan keleluasaan operator jaringan adalah pintunya. Yang demikian itu menjadi jalan kesempurnaan bagi rezim paranoid ini untuk menunaikan laku selanjutnya. Dan selamat, seperti ini yang ada di depan kalian.
Berlindunglah di bawah pohon daripada beringin, niscaya itu menjadiken kesaktianmu bertambah.
Muhammad Jawy: Beberapa jam sesudah Masyarakat Anti Fitnah Indonesia menyelenggarakan deklarasi serentak gerakan anti hoax di 6 kota, saya dan mas Khairul Anshar diundang untuk diskusi terbatas di rumah Chief RA, panggilan akrab Pak Rudiantara Menkominfo. Beliau termasuk yang sangat apresiasi atas gerakan komunitas yang mempertemukan para concerned citizens dalam suatu langkah yang lebih teratur. Beliau pula yang secara tegas ingin melindungi eksistensi dari komunitas ini dengan cara tegas, tidak boleh ada aliran dana dari Kementerian Kominfo ke komunitas, sehingga independensi bisa lebih terjaga.
Dalam pertemuan itu, salah satu bahasan adalah mengapa sebagian masyarakat kita mudah sekali memyebar hoax. Selain bahasan literasi yang rendah, polarisasi akibat isu politik dan SARA, juga karena kepemilikan kartu SIM yang begitu mudah dan murah, sehingga orang bisa mudah berganti-ganti tanpa ada konsekuensi. Betul, sudah ada mekanisme registrasi sejak era Pak Tif, tapi masih sangat lemah karena tidak ada verifikasi yang memadai, NIK belum terbangun, sehingga data bodong pun masuk.
Sedikit banyak hal itu menyebabkan orang merasa “aman” dalam melakukan aktivitasnya di media sosial dan per-SMS-an. Dia merasa tidak mungkin terlacak. Dia merasa postingan apa pun yang ia buat tidak akan memiliki konsekuensi apa-apa. Dan juga para penipu, mulai dari sindikat mama minta pulsa, hingga penipuan berkedok hadiah atau lowongan kerja. Juga para penyebar fitnah, kebencian, hoax.
Bahkan mereka merasa bebas menyebar tulisan bodoh, tanpa mereka akan dianggap bodoh, karena merasa tidak akan ketahuan.
Mereka keliru. Pertama di negeri yang masyarakat percaya kepada Allah Swt., mereka lupa kalau Allah Swt. tidak bisa ditipu. Kedua, Polri sebenarnya sudah dilengkapi teknologi yang sudah memungkinkan mereka melakukan pelacakan yang canggih. Terbukti beberapa kasus penyebaran fitnah oleh anak muda yang tinggal di pelosok, tertangkap juga.
Karena itu, kami sangat mengapresiasi program registrasi kartu SIM yang akan di cross check dengan NIK dan nomor KK ini.
Penipuan, penyebaran hoax tentu tidak akan kemudian langsung hilang. Tetapi langkah ini penting untuk mengurangi sense of anonymity, yaitu perasaan dia bisa bersembunyi dan bebas melakukan apapun melalui gadgetnya.
Celah tentu masih ada, yaitu menggunakan NIK dan KK orang lain. Tapi setidaknya registrasi ini bisa mempersulit ruang gerak para penyalah guna kartu SIM ini.
Bahwa ya, ada banyak hoax yang menyertai program registrasi SIM ini, ya wajar saja. Penyebar hoax paling risau dengan program ini. Mereka semakin terdesak. Segala cara dipakai untuk menghambat program ini. Abaikan saja kebodohan mereka.
Har Wib: Menurut Permenkominfo 21/2107 (perubahan ke-2 permen sebelumnya nomor 12/2016), registrasi pelanggan jasa telekomunikasi bertujuan/dimaksudkan untuk melindungi informasi yang bersifat pribadi.
Nah kalau memang maksudnya melindungi hak-hak pribadi (privacy rights) mengapa caranya justru dengan mensyaratkan pendaftaran Nomor Induk Kartu Keluarga (NIKK)? Kita tahu, KK bukan hanya memuat identitas lengkap dan susunan keluarga batih setiap anggota keluarga, tapi juga memuat lengkap identitas kedua orang tua kandung dari pasangan keluarga, meskipun salah satu atau kedua ortunya sudah meninggal.
Sejak perubahan format KK sekitar tahun 2010, pencantuman identitas ayah dan ibu kandung dalam KK saja sudah bermasalah, tidak jelas untuk maksud/kepentingan apa?
Kita tahu juga bahwa nama ibu kandung setiap orang digunakan sebagai kunci rahasia (password) untuk memverifikasi identitas nasabah perbankan. Apalagi kini ditambah dengan kewajiban setiap pelanggan kartu ponsel prabayar untuk mendaftarkan ulang dengan tambahan persyaratan wajib mencantumkan NIKK. Artinya memberi perusahaan jasa telekomunikasi akses lebih terperinci dan luas terhadap data pribadi seseorang dan anggota keluarganya.
Sudah 72 tahun merdeka, RI tidak memiliki UU khusus yang bertujuan menghormati dan melindungi hak-hak pribadi.
Di tengah-tengah tiadanya jaminan UU terhadap salah satu hak-hak sipil yang paling mendasar tersebut, dengan mudah kita melihat kontradiksinya: antara tujuan yang didaku dalam sebuah regulasi/kebijakan seperti Permen tsb. dengan cara yang digunakan untuk mencapai tujuannya. Alih-alih melindungi data pribadi. pemerintah malah memaksa orang untuk memberikan akses data keluarganya kepada korporasi telekomunikasi.
Seenak kuasanya, aparat negara membuat kebijakan yang bukan hanya nggak jelas juntrungannya, namun penuh kontradiksi di dalamnya. Tidak dihormati dan dilindunginya hak asasi kita tak jarang karena kebodohan dan vested interest para penentu kebijakan publik.