MOJOK.CO – Penyakit gagal ginjal akut masih jadi masalah serius di Indonesia. Kasusnya terus saja meningkat dari hari ke hari di berbagai daerah. Bahkan wacana penetapan Kejadian Luar Biasa (KLB) untuk kasus gagal ginjal akut pun mengemuka.
Ahli kesehatan asal Yogyakarta, Dyah Firstya mengemukakan, kasus gagal ginjal akut tidak hanya terjadi pada anak-anak usia 18 tahun ke bawah. Penyakit ini juga bisa mengancam orang dewasa bila tak tak hati-hati dalam menjaga pola hidup.
“Memang kasus gagal ginjal akut marak pada anak-anak saat ini, tapi tidak menutup kemungkinan kasus pada orang dewasa juga terjadi. Selama ini gagal ginjal kronis paling besar itu disebabkan bad lifestyle (pola hidup yang buruk-red),” papar Dyah usai bertemu Komunitas Penyintas Gagal Ginjal, Kanker dan Lupus, I Can Enterprise di Yogyakarta, Sabtu (29/10/2022) malam.
Kalau dalam kasus gagal ginjal akut pada anak-anak dimungkinkan terjadi akibat konsumsi tiga zat kimia berbahaya yakni ethylene glycol (EG), diethylene glycol (DEG), dan ethylene glycol butyl ether (EGBE) pada obat sirop, kasus pada orang dewasa diakibatkan habit pola makan yang buruk. Misalnya saja terlalu banyak mengkonsumsi makanan yang tinggi protein ataupun minuman penambah tenaga secara berlebihan.
Konsumsi menu tinggi protein tersebut seringkali tidak dibarengi dengan olahraga yang cukup. Akibatnya terjadi penumpukan di tubuh sehingga merusak fungsi ginjal.
“Selain itu riwayat penyakit hipertensi dan DM (diabetes melitus-red) juga meningkatkan resiko gagal ginjal akut,” ujarnya.
Sama halnya dengan anak-anak, keluhan gejala gagal ginjal juga dialami orang dewasa. Diantaranya mual, diare, demam dan warna urin yang keruh atau pekat. Gejala bisa semakin parah dengan sesak nafas atau anggota tubuh, terutama kaki yang mulai bengkak.
Bila sudah mengalami gagal ginjal, mereka pun akhirnya harus melakukan hemodialisa atau cuci darah seumur hidup. Kalau bisa melakukan transplantasi ginjal, hal itu bukan perkara mudah. Selain biaya yang cukup mahal, pendonor darah juga tak banyak ditemukan.
“Biasanya saat sudah bengkak baru diperiksakan dan diketahui sudah mengalami gagal ginjal kronis yang terminal, ini yang harus diwaspadai,” jelasnya.
Perawatan penyintas Gagal Ginjal
Bagi pasien gagal ginjal, lanjut Dyah, perubahan fisik seringkali membuat mereka tidak percaya diri. Meski cuci daerah sudah dapat ditanggung BPJS, banyak pasien atau penyintas gagal ginjal mengalami kerusakan kulit akibat cuci darah.
Sebab efek samping dari cuci darah membuat kulit menjadi kering, mengelupas, gelap dan menghitam. Selain itu muncul jerawat yang banyak yang membuat para penyintas kehilangan kepercayaan diri dan kualitas hidup.
Karenanya Dyah yang memiliki klinik LaJolie Aesthetic mencoba mengambil peran meningkatkan kualitas hidup para penyintas gagal ginjal. Diantaranya melalui edukasi perawatan kulit bagi pasien-pasien gagal ginjal.
Perawatan kulit untuk penyintas gagal ginjal tidak bisa sembarangan. Menurut Dyah, perawatan khusus dengan bahan-bahan yang aman sangat dibutuhkan agar mereka tidak mengalami sekresi ginjal, termasuk pada anak-anak.
“Kami disini untuk membantu para penyintas ginjal biar dia juga memiliki semangat positif untuk melanjutkan hidup dan memperbaiki kualitas hidup dengan merawat kulit,” paparnya.
Sementara salah seorang pendiri I Can Enteprise, Listi Budiharjo mengungkapkan, dukungan banyak pihak sangat dibutuhkan penyintas gagal ginjal. Hal ini dirasakan Listi yang juga merupakan penyintas gagal ginjal yang menjalani hemodialisa seminggu dua kali.
“Dan tahun ini adalah tahun keenam saya menjalani cuci darah,” ujarnya.
Menurut Listi, dukungan banyak pihak, termasuk dari komunitas dan stakeholder lain memang sangat penting. Di komunitas, Listi mencoba menyemangati diri sendiri dan penyintas lainnya untuk tetap semangat hidup.
Melalui komunitas penyintas gagal ginjal, kanker dan lupus yang didirikannya, dia menggandeng para penyintas dan difabel untuk tetap berdaya apapun kondisi mereka. Diantaranya dengan memberikan keterampilan yang memiliki nilai jual dan bisa memberdayakan serta memberikan tambahan penghasilan.
“Syukur-syukur jadi ladang untuk mencari nafkah, kalaupun tidak ya bisa dijadikan sarana meditasi, terapi, relaksasi dengan melakukan aktivitas atau ketrampilan tersebut,” paparnya.
Reporter: Yvesta Ayu
Editor: Purnawan Setyo Adi